Share

Stories 02 Desember 2022

Stigma HIV Terparah Bukan dari Lingkungan,Tapi Keluarga

Bahkan di keluarga sendiri aja, jujur ya, stigma paling besar bukan ada di masyarakat tapi di keluarga".

Ilustrasi dokter yang peduli akan HIV/AIDS. - Freepik -

Context.id, JAKARTA - “Bahkan di keluarga sendiri aja, jujur ya, stigma paling besar bukan ada di masyarakat tapi di keluarga,” - Vivi, seorang dengan HIV (ODIV).

Setiap tahunnya, angka paparan HIV semakin meningkat. Menurut epidemiologi UNAIDS, sampai pada 2021 sudah ada 38,4 juta jiwa orang yang terpapar HIV di dunia. Sayangnya, informasi yang salah mengenai penyakit HIV masih merajalela di masyarakat. Masih banyak orang yang masih salah kaprah mengenai penyakit yang masih belum dapat disembuhkan ini.

Pada sebuah pemaparan yang diadakan oleh Bumame dan bekerjasama dengan Yayasan AIDS Indonesia (YAIDS), Ibu Vivi yang merupakan orang dengan HIV (ODIV) menceritakan tentang peliknya menjadi seorang dengan HIV pada zamannya. 

Pada saat itu, ia baru saja melahirkan anak pertamanya saat ia mengetahui bahwa anaknya tertular HIV dan tertular dari dirinya serta suaminya. Oleh karena itu, ia mencoba sebisa mungkin untuk memberikan pengobatan untuk membuat HIV ini tidak bertambah parah di tubuh bayi kecilnya.

Masalahnya, kocek yang dikeluarkan untuk pengobaran tidak sedikit. Pada 2002, ia menghabiskan sekitar Rp2 juta untuk membeli obat HIV. 

Beruntungnya, kondisi sang buah hati berangsur-angsur membaik. Namun, pada saat itu, kondisi Ibu Vivi yang memburuk. Hal ini kemudian diperparah dengan alergi obat yang dialaminya. Akan tetapi, Ibu Vivi pada saat itu tidak patah harapan dan hebatnya di saat itulah ia memulai untuk berjuang untuk mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma yang ada di masyarakat. 

Pasalnya, stigma yang didapatkan para ODIV ataupun orang dengan AIDS (ODA) tidak main-main. Mulai dari perlakuan yang berbeda tetangga sekitar, dihindari lingkungan sekolah, dicemooh perawat saat melakukan pengecekan darah, hingga dihindari keluarga dekat. 

Menurut Vivi, bahkan di keluarga dekatnya saja, piring dan gelasnya dilabeli nama yang cukup besar dan dibedakan dengan anggota keluarga lainnya. Lalu, pada suatu saat, anaknya yang merupakan ODIV menggigit dan tidak berdarah (dalam konteks bercanda) sepupunya. Akan tetapi, ibunya sang anak langsung panik dan langsung meminta dilakukannya tes HIV.

“Di masyarakat pun aku bahkan banyak cemoohan, itu kenapa bisa ketularan? Emang salahnya apa? Emang main apa, perempuan nakal. Pokoknya itu, stigma-stigma itu masih gede banget,” ujar Vivi. 

Masalahnya, stigma ini pun secara tidak langsung membuat penyakit HIV menjadi semakin parah. Vivi bahkan bercerita bahwa ia harus kehilangan putrinya karena HIV yang diperparah dengan komplikasi dan depresi akibat perlakuan buruk di tempatnya menimba ilmu. 

Hal itu pun menjelaskan alasan banyaknya orang yang masih menyembunyikan status HIV positifnya dan malu untuk memeriksakan kesehatannya. Alhasil, sebenarnya data yang tersedia merupakan fenomena gunung es, di mana masih banyak masyarakat yang mungkin sebenarnya terkena HIV tetapi belum di tes. 


 

Mengenal HIV/AIDS

Dikutip dari CDC, HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Adapun penularan HIV hanya bisa melalui darah, cairan seksual, serta air susu ibu (ASI). Dengan demikian, HIV hanya dapat menular dengan transfusi darah yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak bersih, hubungan seksual, serta ibu yang menularkan ke anaknya. 

Namun, seringkali masyarakat mengira bahwa virus ini dapat ditularkan melalui sentuhan fisik, menggunakan pakaian atau alat makan yang sama dengan ODIV atau ODA, serta hidup bersama mereka. Hal inilah yang membuat banyak orang mencemooh dan menghindari adanya kontak langsung dengan ODIV ataupun ODA. 

Apalagi, saat ini masih belum ditemukan obat yang ampuh untuk menyembuhkan seseorang dari HIV. Pasalnya, virus ini memiliki cara kerja yang cukup unik yakni dapat membuat salinan dari sel kekebalan tubuh dan bersembunyi di sana. Oleh karena itu, virus ini sering tidak terdeteksi dan sulit dihilangkan.

Beruntungnya, saat ini sudah ada obat yang mencegah agar virus ini tidak bertambah banyak dan dapat mengurangi penularan. Sehingga para ODIV ataupun ODA dapat mengonsumsi obat tersebut secara rutin dan bisa tetap memiliki keturunan serta mengurangi risiko penularan.

Adapun pada dasarnya ada tiga tahapan dari HIV. Tahapan pertama adalah infeksi HIV akut, dimana HIV ini sudah ada di dalam darah mereka dan dapat dengan mudah menular jika orang tersebut melakukan kegiatan yang berisiko menularkan. Adapun gejalanya adalah flu.

Kemudian tahapan yang lebih berat lagi adalah infeksi HIV kronis. Dalam tahapan ini, ODIV justru tidak bergejala, tetapi HIV masih aktif dan terus berkembang biak di dalam tubuh. Namun, jika pasien dalam waktu yang lama tidak diobati, akan membuat jumlah HIV dalam darah meningkat dan dapat berpindah ke tahap selanjutnya.

Adapun tahap terakhir dalam infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Pada titik ini, sistem kekebalan tubuh ODA akan rusak parah. Mereka akan mengalami peningkatan jumlah infeksi oportunistik, seperti kandidiasis, kanker serviks, herpes, tuberkulosis, dan lainnya. Sedihnya, ODA biasanya hanya dapat bertahan hingga sekitar tiga tahun. 



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Context.id

Stories 02 Desember 2022

Stigma HIV Terparah Bukan dari Lingkungan,Tapi Keluarga

Bahkan di keluarga sendiri aja, jujur ya, stigma paling besar bukan ada di masyarakat tapi di keluarga".

Ilustrasi dokter yang peduli akan HIV/AIDS. - Freepik -

Context.id, JAKARTA - “Bahkan di keluarga sendiri aja, jujur ya, stigma paling besar bukan ada di masyarakat tapi di keluarga,” - Vivi, seorang dengan HIV (ODIV).

Setiap tahunnya, angka paparan HIV semakin meningkat. Menurut epidemiologi UNAIDS, sampai pada 2021 sudah ada 38,4 juta jiwa orang yang terpapar HIV di dunia. Sayangnya, informasi yang salah mengenai penyakit HIV masih merajalela di masyarakat. Masih banyak orang yang masih salah kaprah mengenai penyakit yang masih belum dapat disembuhkan ini.

Pada sebuah pemaparan yang diadakan oleh Bumame dan bekerjasama dengan Yayasan AIDS Indonesia (YAIDS), Ibu Vivi yang merupakan orang dengan HIV (ODIV) menceritakan tentang peliknya menjadi seorang dengan HIV pada zamannya. 

Pada saat itu, ia baru saja melahirkan anak pertamanya saat ia mengetahui bahwa anaknya tertular HIV dan tertular dari dirinya serta suaminya. Oleh karena itu, ia mencoba sebisa mungkin untuk memberikan pengobatan untuk membuat HIV ini tidak bertambah parah di tubuh bayi kecilnya.

Masalahnya, kocek yang dikeluarkan untuk pengobaran tidak sedikit. Pada 2002, ia menghabiskan sekitar Rp2 juta untuk membeli obat HIV. 

Beruntungnya, kondisi sang buah hati berangsur-angsur membaik. Namun, pada saat itu, kondisi Ibu Vivi yang memburuk. Hal ini kemudian diperparah dengan alergi obat yang dialaminya. Akan tetapi, Ibu Vivi pada saat itu tidak patah harapan dan hebatnya di saat itulah ia memulai untuk berjuang untuk mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma yang ada di masyarakat. 

Pasalnya, stigma yang didapatkan para ODIV ataupun orang dengan AIDS (ODA) tidak main-main. Mulai dari perlakuan yang berbeda tetangga sekitar, dihindari lingkungan sekolah, dicemooh perawat saat melakukan pengecekan darah, hingga dihindari keluarga dekat. 

Menurut Vivi, bahkan di keluarga dekatnya saja, piring dan gelasnya dilabeli nama yang cukup besar dan dibedakan dengan anggota keluarga lainnya. Lalu, pada suatu saat, anaknya yang merupakan ODIV menggigit dan tidak berdarah (dalam konteks bercanda) sepupunya. Akan tetapi, ibunya sang anak langsung panik dan langsung meminta dilakukannya tes HIV.

“Di masyarakat pun aku bahkan banyak cemoohan, itu kenapa bisa ketularan? Emang salahnya apa? Emang main apa, perempuan nakal. Pokoknya itu, stigma-stigma itu masih gede banget,” ujar Vivi. 

Masalahnya, stigma ini pun secara tidak langsung membuat penyakit HIV menjadi semakin parah. Vivi bahkan bercerita bahwa ia harus kehilangan putrinya karena HIV yang diperparah dengan komplikasi dan depresi akibat perlakuan buruk di tempatnya menimba ilmu. 

Hal itu pun menjelaskan alasan banyaknya orang yang masih menyembunyikan status HIV positifnya dan malu untuk memeriksakan kesehatannya. Alhasil, sebenarnya data yang tersedia merupakan fenomena gunung es, di mana masih banyak masyarakat yang mungkin sebenarnya terkena HIV tetapi belum di tes. 


 

Mengenal HIV/AIDS

Dikutip dari CDC, HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Adapun penularan HIV hanya bisa melalui darah, cairan seksual, serta air susu ibu (ASI). Dengan demikian, HIV hanya dapat menular dengan transfusi darah yang tidak aman, penggunaan jarum suntik yang tidak bersih, hubungan seksual, serta ibu yang menularkan ke anaknya. 

Namun, seringkali masyarakat mengira bahwa virus ini dapat ditularkan melalui sentuhan fisik, menggunakan pakaian atau alat makan yang sama dengan ODIV atau ODA, serta hidup bersama mereka. Hal inilah yang membuat banyak orang mencemooh dan menghindari adanya kontak langsung dengan ODIV ataupun ODA. 

Apalagi, saat ini masih belum ditemukan obat yang ampuh untuk menyembuhkan seseorang dari HIV. Pasalnya, virus ini memiliki cara kerja yang cukup unik yakni dapat membuat salinan dari sel kekebalan tubuh dan bersembunyi di sana. Oleh karena itu, virus ini sering tidak terdeteksi dan sulit dihilangkan.

Beruntungnya, saat ini sudah ada obat yang mencegah agar virus ini tidak bertambah banyak dan dapat mengurangi penularan. Sehingga para ODIV ataupun ODA dapat mengonsumsi obat tersebut secara rutin dan bisa tetap memiliki keturunan serta mengurangi risiko penularan.

Adapun pada dasarnya ada tiga tahapan dari HIV. Tahapan pertama adalah infeksi HIV akut, dimana HIV ini sudah ada di dalam darah mereka dan dapat dengan mudah menular jika orang tersebut melakukan kegiatan yang berisiko menularkan. Adapun gejalanya adalah flu.

Kemudian tahapan yang lebih berat lagi adalah infeksi HIV kronis. Dalam tahapan ini, ODIV justru tidak bergejala, tetapi HIV masih aktif dan terus berkembang biak di dalam tubuh. Namun, jika pasien dalam waktu yang lama tidak diobati, akan membuat jumlah HIV dalam darah meningkat dan dapat berpindah ke tahap selanjutnya.

Adapun tahap terakhir dalam infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Pada titik ini, sistem kekebalan tubuh ODA akan rusak parah. Mereka akan mengalami peningkatan jumlah infeksi oportunistik, seperti kandidiasis, kanker serviks, herpes, tuberkulosis, dan lainnya. Sedihnya, ODA biasanya hanya dapat bertahan hingga sekitar tiga tahun. 



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Context.id


RELATED ARTICLES

China dan India Negara Maju dan Harus Berkontribusi di Pendanaan Iklim

Delegasi dari negara-negara miskin mengatakan klasifikasi yang sudah ada sejak tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi dan kedua negara \'harus berkon ...

Context.id . 20 November 2024

Aktivis Demokrasi Hong Kong Dipenjara: Siapa Mereka dan Apa Kasusnya?

Aktivis Hong Kong 47 pertama kali ditangkap pada tahun 2021 karena menyelenggarakan pemilu tidak resmi yang oleh pihak berwenang disamakan dengan ...

Context.id . 20 November 2024

HRW Sebut Dana Kekayaan Arab Saudi Digunakan untuk Membungkam Kritik

Lembaga investasi Arab Saudi menjadi investor global yang siap memberi kucuran dana jumbo asalkan tidak mengkritik negara itu

Context.id . 20 November 2024

Apa yang Bisa dan Tidak Bisa Mematikan E-coli? Hal yang Perlu Diketahui

Di McD AS, wabah E.Coli membuat gempar karena membuat ratusan orang keracunan bahkan merenggut korban jiwa. Lalu apa itu E.coli dan bagaimana peny ...

Context.id . 20 November 2024