Krisis Ekonomi Terparah, Semua Menteri Sri Lanka Mundur
Krisis ekonomi yang menghantam Sri Lanka terjadi karena meningkatnya inflasi, keuangan negara yang memburuk, dan efek dari pandemi Covid-19.
Context.id, JAKARTA - Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya pada 74 silam. Mirisnya, seluruh menteri di kabinet justru mengundurkan diri.
Menurut Menteri Pendidikan Sri Lanka, Dinesh Gunawardena, pengunduran diri massal bertujuan agar presiden dan perdana menteri dapat menyusun daftar kabinet baru untuk mengatasi masalah ini.
“Semua menteri telah mengirimkan surat pengunduran diri mereka agar presiden dapat membentuk kabinet baru,” ujar Dinesh melansir dari DW.
Krisis ekonomi yang menghantam Sri Lanka terjadi karena meningkatnya inflasi, keuangan negara yang memburuk, dan efek dari pandemi Covid-19.
Dilansir dari DW, cadangan mata uang asing di negara tersebut anjlok sekitar 70 persen sejak Januari 2020, menjadi hanya sekitar $2,3 miliar atau sekitar Rp33 triliun. Padahal negara itu masih harus membayar hutang hingga $4 miliar atau sekitar Rp57,4 triliun.
Selain itu, utang publik yang sebelumnya sudah di luar batas sebelum pandemi, semakin diperparah dengan adanya pandemi. Tercatat, pada 2019 utang negara sudah meningkat hingga 94 persen dari PDB, tetapi akan kembali meningkat hingga 119 persen pada 2021.
Hal ini disebut-sebut imbas dari pengurangan pajak yang diterapkan oleh Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa sebelum pandemi, untuk mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
“Pengurangan pajak dan penambahan lebih banyak uang melalui pembiayaan bank sentral membuat krisis yang tak terhindarkan menjadi lebih buruk,” ujar Chayu Damsinghe, Ekonom Frontier Research Kolombo.
Alhasil, negara yang berada di bagian selatan India ini hanya dapat membayar impor untuk satu bulan. Sri Lanka juga sulit untuk membayar biaya impor dari komoditas utama seperti makanan, obat-obatan, serta bahan bakar yang ikut naik karena perang Ukraina-Rusia.
Hal ini juga mengakibatkan Sri Lanka dilanda inflasi makanan di Sri Lanka mencapai 25 persen di Januari 2022, adanya pemadaman listrik hampir 20 jam per hari, hingga panjangnya antrean di depan SPBU.
Krisis ekonomi terbesar ini membuat masyarakat menyalahkan pemerintah. Banyak dari mereka yang melakukan unjuk rasa di depan rumah Presiden Rajapaksa, Kolombo hingga berakhir rusuh.
RELATED ARTICLES
Krisis Ekonomi Terparah, Semua Menteri Sri Lanka Mundur
Krisis ekonomi yang menghantam Sri Lanka terjadi karena meningkatnya inflasi, keuangan negara yang memburuk, dan efek dari pandemi Covid-19.
Context.id, JAKARTA - Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya pada 74 silam. Mirisnya, seluruh menteri di kabinet justru mengundurkan diri.
Menurut Menteri Pendidikan Sri Lanka, Dinesh Gunawardena, pengunduran diri massal bertujuan agar presiden dan perdana menteri dapat menyusun daftar kabinet baru untuk mengatasi masalah ini.
“Semua menteri telah mengirimkan surat pengunduran diri mereka agar presiden dapat membentuk kabinet baru,” ujar Dinesh melansir dari DW.
Krisis ekonomi yang menghantam Sri Lanka terjadi karena meningkatnya inflasi, keuangan negara yang memburuk, dan efek dari pandemi Covid-19.
Dilansir dari DW, cadangan mata uang asing di negara tersebut anjlok sekitar 70 persen sejak Januari 2020, menjadi hanya sekitar $2,3 miliar atau sekitar Rp33 triliun. Padahal negara itu masih harus membayar hutang hingga $4 miliar atau sekitar Rp57,4 triliun.
Selain itu, utang publik yang sebelumnya sudah di luar batas sebelum pandemi, semakin diperparah dengan adanya pandemi. Tercatat, pada 2019 utang negara sudah meningkat hingga 94 persen dari PDB, tetapi akan kembali meningkat hingga 119 persen pada 2021.
Hal ini disebut-sebut imbas dari pengurangan pajak yang diterapkan oleh Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa sebelum pandemi, untuk mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
“Pengurangan pajak dan penambahan lebih banyak uang melalui pembiayaan bank sentral membuat krisis yang tak terhindarkan menjadi lebih buruk,” ujar Chayu Damsinghe, Ekonom Frontier Research Kolombo.
Alhasil, negara yang berada di bagian selatan India ini hanya dapat membayar impor untuk satu bulan. Sri Lanka juga sulit untuk membayar biaya impor dari komoditas utama seperti makanan, obat-obatan, serta bahan bakar yang ikut naik karena perang Ukraina-Rusia.
Hal ini juga mengakibatkan Sri Lanka dilanda inflasi makanan di Sri Lanka mencapai 25 persen di Januari 2022, adanya pemadaman listrik hampir 20 jam per hari, hingga panjangnya antrean di depan SPBU.
Krisis ekonomi terbesar ini membuat masyarakat menyalahkan pemerintah. Banyak dari mereka yang melakukan unjuk rasa di depan rumah Presiden Rajapaksa, Kolombo hingga berakhir rusuh.
POPULAR
RELATED ARTICLES