Bapak Pramuka Indonesia, Ini Dia Sosoknya!
Siapa sangka, bapak dari gerakan kepanduan di Indonesia ini adalah seorang Sultan Yogyakarta
Context, JAKARTA - Dari duduk di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK), masyarakat di Indonesia pasti pernah merasakan menjadi seorang Pramuka. Siapa sangka, 'bapak' dari gerakan kepanduan di Indonesia ini adalah seorang Sultan Yogyakarta, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Gusti Raden Mas Dorodjatun memang sudah aktif dalam organisasi gerakan kepanduan sejak kecil. Mulai sejak menempuh pendidikan di HIS Yogyakarta, kemudian MULO di Semarang, AMS di Bandung, hingga saat ia menempuh pendidikan kuliah di Rijksuniversiteit (Universitas Leiden) pada 1930-an di Belanda.
Tidak hanya sebatas hobi atau untuk menjadikan organisasi gerakan kepanduan sebagai ekstrakurikuler saja, Hamengkubuwono IX bahkan menyebarkan nilai-nilai gerakan kepanduan di masa-masa perjuangan. Akibat kontribusinya dalam menyebarkan semangat kepanduan tersebut, setelah perang kemerdekaan usai, tepatnya sebelum 1960, Hamengkubuwono IX diangkat menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan).
Setelah menjadi Pandu Agung, ia sering melakukan diskusi dengan presiden pertama RI Sukarno mengenai gerakan kepanduan di Indonesia. Hamengkubuwono IX juga telah mengusulkan untuk menyatukan semua gerakan kepanduan yang ada di Indonesia. Usulannya ini juga sejalan dengan apa yang dipikirkan Sukarno.
Terbentuknya Pramuka Indonesia
Akhirnya pada 9 Maret 1961, Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka, dan Hamengkubuwono IX pun menjadi salah satu anggotanya. Selain itu, ada juga Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, dan Achmadi. Setelah terbentuk, panitia ini yang kemudian bertanggung jawab pada Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI nomor 238 Tahun 1961 (20/5/1961).
Empat orang ini lah yang bisa dibilang sebagai pendiri Pramuka di Indonesia. Kemudian, ditetapkanlah 14 Agustus 2022 sebagai Hari Pramuka Indonesia. Pramuka sendiri diambil dari kata Poromuko yang mempunyai arti prajurit yang terdepan dalam suatu peperangan. Pramuka juga merupakan singkatan dari Praja Muda Karana yang berarti jiwa muda yang suka berkarya.
Di waktu yang bersamaan, karena jasanya kepada gerakan kepanduan di Tanah Air, Hamengkubuwono IX ditetapkan sebagai Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) dan Wakil Ketua 1 Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas).
Tidak hanya satu periode saja, dilansir dari Tempo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama empat periode atau selama 13 tahun, yaitu dari 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, hingga 1970-1974.
Selama kepemimpinannya yang cukup lama itu, gerakan kepanduan di Indonesia mengalami banyak perubahan dan menerima banyak gagasan baru. Salah satunya adalah peralihan nilai ‘kepanduan’ menjadi ‘kepramukaan’.
Berkat jasanya dalam membangun gerakan Pramuka di Indonesia ternyata juga telah membuatnya mendapatkan pujian internasional. Bahkan pada 1973, Ia juga sempat mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM).
Bronze Wolf Award sendiri merupakan penghargaan paling tinggi yang diberikan oleh WOSM kepada orang-orang yang dianggap sangat berjasa dalam pengembangan organisasi kepanduan atau Pramuka.
Atas jasa-jasanya tersebut, pada 1998 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur (Sekarang Timor Leste), Sri Sultan Hamengkubuwono IX ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.
Pada tahun yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di Washington DC, Amerika Serikat pada usia 76 tahun. Sebagai penghormatan terhadap jasanya kepada Pramuka Indonesia, hari kelahiran Hamengkubuwono IX pada 12 April diperingati sebagai Hari Bapak Pramuka Indonesia.
Sejarah Pramuka di Indonesia
Gerakan Pramuka sendiri awalnya dicetuskan oleh Lord Baden-Powell. Dilansir dari Solopos, ia merupakan seorang angkatan darat Inggris. Pada tahun 1906-1907, Powell menulis buku Scouting for Boys yang isinya adalah panduan bagi anak muda untuk melatih keterampilan, cara bertahan hidup, dan pengembangan dasar-dasar moral.
Nilai-nilai yang dicetuskan oleh Powell ini akhirnya menyebar ke seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Kemudian, untuk menghormati jasanya, pada 22 Februari, yang juga hari kelahirannya, ditetapkan sebagai Hari Pramuka Internasional.
Di Indonesia sendiri, sebenarnya gerakan kepanduan ini sudah ada pada zaman Kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1912 telah dibentuk cabang Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO). Kemudian pada 1916, Mangkunegoro VII tercatat pernah mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie, yaitu organisasi kepanduan di Jawa.
Semenjak itu, muncul gerakan-gerakan kepanduan lainnya yang dikelola oleh berbagai macam organisasi yang ada di Hindia Belanda. Contohnya seperti Hizbul Wathan (Muhammadiyah), Sarekat Islam Afdeling Padvinderij (Sarekat Islam), Nationale Padvinderij (Boedi Oetomo), Nationale Islamietische Padvinderij (Jong Islamieten Bond), dan masih banyak lagi.
Namun, gerakan-gerakan kepanduan tersebut hanya mewakili organisasi atau lembaga pembuatnya saja. Sedangkan gerakan kepanduan nasional baru muncul pada 1923 dengan berdirinya Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) di Bandung Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO) di Batavia. Kemudian, kedua gerakan ini dilebur menjadi satu dalam Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) pada 1926.
Hingga akhirnya, pada 14 Agustus 1961, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan tiga anggota Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka mengukuhkan nama Pramuka sebagai gerakan kepanduan di Indonesia.
RELATED ARTICLES
Bapak Pramuka Indonesia, Ini Dia Sosoknya!
Siapa sangka, bapak dari gerakan kepanduan di Indonesia ini adalah seorang Sultan Yogyakarta
Context, JAKARTA - Dari duduk di jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK), masyarakat di Indonesia pasti pernah merasakan menjadi seorang Pramuka. Siapa sangka, 'bapak' dari gerakan kepanduan di Indonesia ini adalah seorang Sultan Yogyakarta, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Gusti Raden Mas Dorodjatun memang sudah aktif dalam organisasi gerakan kepanduan sejak kecil. Mulai sejak menempuh pendidikan di HIS Yogyakarta, kemudian MULO di Semarang, AMS di Bandung, hingga saat ia menempuh pendidikan kuliah di Rijksuniversiteit (Universitas Leiden) pada 1930-an di Belanda.
Tidak hanya sebatas hobi atau untuk menjadikan organisasi gerakan kepanduan sebagai ekstrakurikuler saja, Hamengkubuwono IX bahkan menyebarkan nilai-nilai gerakan kepanduan di masa-masa perjuangan. Akibat kontribusinya dalam menyebarkan semangat kepanduan tersebut, setelah perang kemerdekaan usai, tepatnya sebelum 1960, Hamengkubuwono IX diangkat menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan).
Setelah menjadi Pandu Agung, ia sering melakukan diskusi dengan presiden pertama RI Sukarno mengenai gerakan kepanduan di Indonesia. Hamengkubuwono IX juga telah mengusulkan untuk menyatukan semua gerakan kepanduan yang ada di Indonesia. Usulannya ini juga sejalan dengan apa yang dipikirkan Sukarno.
Terbentuknya Pramuka Indonesia
Akhirnya pada 9 Maret 1961, Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka, dan Hamengkubuwono IX pun menjadi salah satu anggotanya. Selain itu, ada juga Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, dan Achmadi. Setelah terbentuk, panitia ini yang kemudian bertanggung jawab pada Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI nomor 238 Tahun 1961 (20/5/1961).
Empat orang ini lah yang bisa dibilang sebagai pendiri Pramuka di Indonesia. Kemudian, ditetapkanlah 14 Agustus 2022 sebagai Hari Pramuka Indonesia. Pramuka sendiri diambil dari kata Poromuko yang mempunyai arti prajurit yang terdepan dalam suatu peperangan. Pramuka juga merupakan singkatan dari Praja Muda Karana yang berarti jiwa muda yang suka berkarya.
Di waktu yang bersamaan, karena jasanya kepada gerakan kepanduan di Tanah Air, Hamengkubuwono IX ditetapkan sebagai Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) dan Wakil Ketua 1 Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas).
Tidak hanya satu periode saja, dilansir dari Tempo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama empat periode atau selama 13 tahun, yaitu dari 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970, hingga 1970-1974.
Selama kepemimpinannya yang cukup lama itu, gerakan kepanduan di Indonesia mengalami banyak perubahan dan menerima banyak gagasan baru. Salah satunya adalah peralihan nilai ‘kepanduan’ menjadi ‘kepramukaan’.
Berkat jasanya dalam membangun gerakan Pramuka di Indonesia ternyata juga telah membuatnya mendapatkan pujian internasional. Bahkan pada 1973, Ia juga sempat mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM).
Bronze Wolf Award sendiri merupakan penghargaan paling tinggi yang diberikan oleh WOSM kepada orang-orang yang dianggap sangat berjasa dalam pengembangan organisasi kepanduan atau Pramuka.
Atas jasa-jasanya tersebut, pada 1998 dalam Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur (Sekarang Timor Leste), Sri Sultan Hamengkubuwono IX ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.
Pada tahun yang sama, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di Washington DC, Amerika Serikat pada usia 76 tahun. Sebagai penghormatan terhadap jasanya kepada Pramuka Indonesia, hari kelahiran Hamengkubuwono IX pada 12 April diperingati sebagai Hari Bapak Pramuka Indonesia.
Sejarah Pramuka di Indonesia
Gerakan Pramuka sendiri awalnya dicetuskan oleh Lord Baden-Powell. Dilansir dari Solopos, ia merupakan seorang angkatan darat Inggris. Pada tahun 1906-1907, Powell menulis buku Scouting for Boys yang isinya adalah panduan bagi anak muda untuk melatih keterampilan, cara bertahan hidup, dan pengembangan dasar-dasar moral.
Nilai-nilai yang dicetuskan oleh Powell ini akhirnya menyebar ke seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Kemudian, untuk menghormati jasanya, pada 22 Februari, yang juga hari kelahirannya, ditetapkan sebagai Hari Pramuka Internasional.
Di Indonesia sendiri, sebenarnya gerakan kepanduan ini sudah ada pada zaman Kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1912 telah dibentuk cabang Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO). Kemudian pada 1916, Mangkunegoro VII tercatat pernah mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie, yaitu organisasi kepanduan di Jawa.
Semenjak itu, muncul gerakan-gerakan kepanduan lainnya yang dikelola oleh berbagai macam organisasi yang ada di Hindia Belanda. Contohnya seperti Hizbul Wathan (Muhammadiyah), Sarekat Islam Afdeling Padvinderij (Sarekat Islam), Nationale Padvinderij (Boedi Oetomo), Nationale Islamietische Padvinderij (Jong Islamieten Bond), dan masih banyak lagi.
Namun, gerakan-gerakan kepanduan tersebut hanya mewakili organisasi atau lembaga pembuatnya saja. Sedangkan gerakan kepanduan nasional baru muncul pada 1923 dengan berdirinya Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) di Bandung Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO) di Batavia. Kemudian, kedua gerakan ini dilebur menjadi satu dalam Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) pada 1926.
Hingga akhirnya, pada 14 Agustus 1961, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan tiga anggota Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka mengukuhkan nama Pramuka sebagai gerakan kepanduan di Indonesia.
POPULAR
RELATED ARTICLES