Area Khusus Wanita di Transportasi Umum, Efektif Kah?
Dalam waktu dekat, Dinas Perhubungan DKI Jakarta berencana akan memisahkan tempat duduk wanita dan pria di angkot.
Context, JAKARTA - Dalam waktu dekat, Dinas Perhubungan DKI Jakarta berencana akan memisahkan tempat duduk wanita dan pria di angkot. Pemisahan tempat duduk ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya pelecehan seksual di transportasi umum.
Khusus untuk angkot, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan jika nantinya tempat duduk pria ada akan ditempatkan di barisan sebelah kanan dan wanita di barisan sebelah kiri. Kebijakan ini rencananya akan dikeluarkan menyusul banyaknya kasus pelecehan seksual yang viral akhir-akhir ini, salah satunya terjadi di dalam angkot M-44 yang beroperasi di sekitar Tebet.
Untuk mencegah pelecehan seksual di angkot, Dishub sudah membuat beberapa kebijakan, seperti melarang penggunaan kaca film agar lebih transparan, membatasi minimal 40 lux untuk pencahayaan di halte, dan penggunaan CCTV di angkot yang sudah terintegrasi dengan program Jaklingko.
Sudah Pernah Diterapkan Sebelumnya
Kebijakan untuk menyediakan area khusus wanita ini sebelumnya sudah pernah diterapkan di Jakarta, yaitu pada transportasi umum Transjakarta dan Kereta Commuter Line (KRL). Penerapan penyediaan area khusus wanita di Transjakarta pertama kali diterapkan pada 12 Desember 2011. Di dalam Bus, area khusus wanita ditempatkan di bagian depan bus, tepatnya dari kursi di dekat pintu bagian tengah hingga kursi di belakang kursi.
Menurut Kepala Badan Layanan Umum Transjakarta saat itu, Muhammad Akbar, kebijakan ini dibuat agar penumpang wanita bisa menggunakan Transjakarta lebih aman dan nyaman.
“Sebenarnya yang kami batasi ruang laki-laki. Penumpang perempuan boleh di mana saja. Bagian belakang masih boleh untuk perempuan, tapi yang datang bersama suami, keluarga, atau pacar,” kata Akbar.
Lanjut Akbar, kebijakan ini dibuat berdasarkan dua hal. Pertama, dari hasil survei Badan Layanan Umum (BLU) tahun 2008 yang menghasilkan 90 persen penumpang wanita setuju untuk disediakan area khusus.
Selain itu, BLU juga ingin menekan tingkat pelecehan seksual di Transjakarta, terutama pada saat kondisi penuh. Sebelum kebijakan ini diterapkan pada 2011, kasus pelecehan seksual memang sedang meningkat pada tahun yang sama. Dari 6 kasus di tahun 2010, kasus pelecehan seksual meningkat menjadi 8 di tahun 2011.
Sedangkan untuk KRL, penyediaan Kereta Khusus Wanita (KKW) mulai dilakukan pada 19 Agustus 2010. Saat itu, Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan jika pemisahan gerbong ini bisa membuat penumpang wanita bisa lebih aman dan nyaman saat ingin pergi bekerja, sekolah, dan lain-lain.
Dalam penerapan KKW di KRL ini, penumpang wanita disediakan gerbong khusus di area depan dan belakang rangkaian kereta. Jadi, khusus di gerbong tersebut, penumpang pria dilarang menempati.
Selain KKW, PT Kereta Api Indonesia juga pernah menerapkan kebijakan Rangkaian Khusus Wanita (RKW). Bedanya dengan KKW, kebijakan RKW menyediakan satu rangkaian yang terdiri dari 8 gerbong khusus untuk penumpang wanita. Namun, kebijakan ini harus dihentikan karena dinilai kurang efektif.
Pelecehan Seksual di Transportasi Umum
Transportasi umum kerap menjadi tempat para predator seksual melakukan aksinya. Tidak peduli transportasi umum tersebut penuh, maupun kosong. Beberapa kali, kasus pelecehan seksual viral di internet, membuat transportasi umum seakan menjadi berbahaya bagi penumpangnya.
Seperti salah satunya pada tahun 2014, kasus pelecehan seksual pernah terjadi di Transjakarta jurusan Pluit-Pinang Ranti. Saat itu, korbannya ada dua orang, yaitu wanita berinisial D dan A.
Menurut laporan korban, seorang pria yang naik di dalam bus yang sama, selalu mencoba untuk mendekati mereka. Setelah berhasil menghimpit, pria tersebut dilaporkan menjalankan aksinya dengan menggesekkan kemaluannya di bokong korban-korbannya.
Kemudian pada tahun 2017, sempat viral kasus pelecehan seksual yang diterima oleh seorang mahasiswi di Transjakarta. Menurut laporan korban, ia dilecehkan oleh seseorang yang menyentuh pahanya dengan sengaja.
Akhir-akhir ini, kasus pelecehan seksual yang cukup menghebohkan media sosial beberapa kali terjadi. Seperti contohnya pada Juli 2022 lalu, seorang pria tertangkap sedang masturbasi di dalam KRL, kemudian yang terakhir adalah pelecehan yang terjadi di angkot M-44 yang beroperasi di sekitar Tebet.
Apakah Kebijakan ini Efektif?
Pemisahan tempat duduk antara wanita dan pria untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Kebijakan ini memang bisa mengurangi kasus pelecehan seksual. Namun faktanya hingga kini pelecehan seksual tetap terjadi, meskipun di luar area khusus wanita,
Karena itu, perlu adanya penerapan kebijakan lain yang mendampingi kebijakan ini. Menurut Sexual Phsycology and Interpersonal Relationship UNAIR Dr. M.G. Ani Putra, setiap manusia itu memiliki 3 komponen utama yang bisa mempengaruhi perilakunya.
Komponen pertama adalah Id, seperti dorongan dan libido. Komponen kedua adalah Ego, artinya realita rasional berdasarkan status individu, dan yang ketiga adalah Super Ego, yang berarti norma-norma yang ada.
Dalam setiap kasus pelecehan seksual, pelaku pelecehan biasanya memiliki Id atau libido yang tinggi, sehingga pelaku nekat melakukan apa saja untuk melancarkan aksinya. Dalam kasus ini, bisa saja pelaku nekat beraksi tanpa memikirkan pemisahan area pria dan wanita.
Karena itu, menurut psikolog Lia Sutisna Latif M.Psi, perlu ada cara-cara lain untuk mencegah dan mengurangi pelecehan seksual, salah satunya adalah dengan melakukan edukasi pertahanan diri.
"Penting untuk mengedukasi masyarakat dan berbagai kalangan, sehingga mereka tahu 'Oh ini yang harus aku lakukan.' Karena boleh saja kita memiliki pertahanan diri dari orang asing, itu harus dan sangat perlu," ujar Lia.
Kemudian, menanggapi kebijakan pemisahan tempat duduk di angkot, anggota DPRD DKI Jakarta Eneng Malianasari mengatakan jika kebijakan ini benar-benar ingin diterapkan, pemerintah harus menyertakan pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang lebih tegas agar kasus pelecehan seksual tidak lagi terjadi.
“Pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot. Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi,” ujar Eneng.
RELATED ARTICLES
Area Khusus Wanita di Transportasi Umum, Efektif Kah?
Dalam waktu dekat, Dinas Perhubungan DKI Jakarta berencana akan memisahkan tempat duduk wanita dan pria di angkot.
Context, JAKARTA - Dalam waktu dekat, Dinas Perhubungan DKI Jakarta berencana akan memisahkan tempat duduk wanita dan pria di angkot. Pemisahan tempat duduk ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya pelecehan seksual di transportasi umum.
Khusus untuk angkot, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan jika nantinya tempat duduk pria ada akan ditempatkan di barisan sebelah kanan dan wanita di barisan sebelah kiri. Kebijakan ini rencananya akan dikeluarkan menyusul banyaknya kasus pelecehan seksual yang viral akhir-akhir ini, salah satunya terjadi di dalam angkot M-44 yang beroperasi di sekitar Tebet.
Untuk mencegah pelecehan seksual di angkot, Dishub sudah membuat beberapa kebijakan, seperti melarang penggunaan kaca film agar lebih transparan, membatasi minimal 40 lux untuk pencahayaan di halte, dan penggunaan CCTV di angkot yang sudah terintegrasi dengan program Jaklingko.
Sudah Pernah Diterapkan Sebelumnya
Kebijakan untuk menyediakan area khusus wanita ini sebelumnya sudah pernah diterapkan di Jakarta, yaitu pada transportasi umum Transjakarta dan Kereta Commuter Line (KRL). Penerapan penyediaan area khusus wanita di Transjakarta pertama kali diterapkan pada 12 Desember 2011. Di dalam Bus, area khusus wanita ditempatkan di bagian depan bus, tepatnya dari kursi di dekat pintu bagian tengah hingga kursi di belakang kursi.
Menurut Kepala Badan Layanan Umum Transjakarta saat itu, Muhammad Akbar, kebijakan ini dibuat agar penumpang wanita bisa menggunakan Transjakarta lebih aman dan nyaman.
“Sebenarnya yang kami batasi ruang laki-laki. Penumpang perempuan boleh di mana saja. Bagian belakang masih boleh untuk perempuan, tapi yang datang bersama suami, keluarga, atau pacar,” kata Akbar.
Lanjut Akbar, kebijakan ini dibuat berdasarkan dua hal. Pertama, dari hasil survei Badan Layanan Umum (BLU) tahun 2008 yang menghasilkan 90 persen penumpang wanita setuju untuk disediakan area khusus.
Selain itu, BLU juga ingin menekan tingkat pelecehan seksual di Transjakarta, terutama pada saat kondisi penuh. Sebelum kebijakan ini diterapkan pada 2011, kasus pelecehan seksual memang sedang meningkat pada tahun yang sama. Dari 6 kasus di tahun 2010, kasus pelecehan seksual meningkat menjadi 8 di tahun 2011.
Sedangkan untuk KRL, penyediaan Kereta Khusus Wanita (KKW) mulai dilakukan pada 19 Agustus 2010. Saat itu, Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan jika pemisahan gerbong ini bisa membuat penumpang wanita bisa lebih aman dan nyaman saat ingin pergi bekerja, sekolah, dan lain-lain.
Dalam penerapan KKW di KRL ini, penumpang wanita disediakan gerbong khusus di area depan dan belakang rangkaian kereta. Jadi, khusus di gerbong tersebut, penumpang pria dilarang menempati.
Selain KKW, PT Kereta Api Indonesia juga pernah menerapkan kebijakan Rangkaian Khusus Wanita (RKW). Bedanya dengan KKW, kebijakan RKW menyediakan satu rangkaian yang terdiri dari 8 gerbong khusus untuk penumpang wanita. Namun, kebijakan ini harus dihentikan karena dinilai kurang efektif.
Pelecehan Seksual di Transportasi Umum
Transportasi umum kerap menjadi tempat para predator seksual melakukan aksinya. Tidak peduli transportasi umum tersebut penuh, maupun kosong. Beberapa kali, kasus pelecehan seksual viral di internet, membuat transportasi umum seakan menjadi berbahaya bagi penumpangnya.
Seperti salah satunya pada tahun 2014, kasus pelecehan seksual pernah terjadi di Transjakarta jurusan Pluit-Pinang Ranti. Saat itu, korbannya ada dua orang, yaitu wanita berinisial D dan A.
Menurut laporan korban, seorang pria yang naik di dalam bus yang sama, selalu mencoba untuk mendekati mereka. Setelah berhasil menghimpit, pria tersebut dilaporkan menjalankan aksinya dengan menggesekkan kemaluannya di bokong korban-korbannya.
Kemudian pada tahun 2017, sempat viral kasus pelecehan seksual yang diterima oleh seorang mahasiswi di Transjakarta. Menurut laporan korban, ia dilecehkan oleh seseorang yang menyentuh pahanya dengan sengaja.
Akhir-akhir ini, kasus pelecehan seksual yang cukup menghebohkan media sosial beberapa kali terjadi. Seperti contohnya pada Juli 2022 lalu, seorang pria tertangkap sedang masturbasi di dalam KRL, kemudian yang terakhir adalah pelecehan yang terjadi di angkot M-44 yang beroperasi di sekitar Tebet.
Apakah Kebijakan ini Efektif?
Pemisahan tempat duduk antara wanita dan pria untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Kebijakan ini memang bisa mengurangi kasus pelecehan seksual. Namun faktanya hingga kini pelecehan seksual tetap terjadi, meskipun di luar area khusus wanita,
Karena itu, perlu adanya penerapan kebijakan lain yang mendampingi kebijakan ini. Menurut Sexual Phsycology and Interpersonal Relationship UNAIR Dr. M.G. Ani Putra, setiap manusia itu memiliki 3 komponen utama yang bisa mempengaruhi perilakunya.
Komponen pertama adalah Id, seperti dorongan dan libido. Komponen kedua adalah Ego, artinya realita rasional berdasarkan status individu, dan yang ketiga adalah Super Ego, yang berarti norma-norma yang ada.
Dalam setiap kasus pelecehan seksual, pelaku pelecehan biasanya memiliki Id atau libido yang tinggi, sehingga pelaku nekat melakukan apa saja untuk melancarkan aksinya. Dalam kasus ini, bisa saja pelaku nekat beraksi tanpa memikirkan pemisahan area pria dan wanita.
Karena itu, menurut psikolog Lia Sutisna Latif M.Psi, perlu ada cara-cara lain untuk mencegah dan mengurangi pelecehan seksual, salah satunya adalah dengan melakukan edukasi pertahanan diri.
"Penting untuk mengedukasi masyarakat dan berbagai kalangan, sehingga mereka tahu 'Oh ini yang harus aku lakukan.' Karena boleh saja kita memiliki pertahanan diri dari orang asing, itu harus dan sangat perlu," ujar Lia.
Kemudian, menanggapi kebijakan pemisahan tempat duduk di angkot, anggota DPRD DKI Jakarta Eneng Malianasari mengatakan jika kebijakan ini benar-benar ingin diterapkan, pemerintah harus menyertakan pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang lebih tegas agar kasus pelecehan seksual tidak lagi terjadi.
“Pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum, terutama angkot. Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi,” ujar Eneng.
POPULAR
RELATED ARTICLES