Citayam Fashion Week Fenomena Apa?
Devie Rahmawati, Pengamat Sosial UI menyatakan jika fenomena Citayam Fashion Week bisa terjadi karena berkembangnya ruang digital.
Context, JAKARTA - Saat ini, kawasan Dukuh Atas, tepatnya di sekitar Stasiun BNI City, selalu diramaikan oleh anak remaja yang berasal dari sekitaran Jakarta, seperti Citayam, Bojong Gede, hingga Bekasi.
Di sana, mereka tidak hanya berkumpul, namun melakukan berbagai kegiatan seperti membuat konten Tiktok, Youtube, bertemu teman baru, hingga berkomunitas. Tak hanya itu, setiap remaja yang datang juga terlihat mengenakan fashion yang bisa dibilang unik. Karena itu, keberadaan mereka juga dijuluki sebagai fenomena “Citayam Fashion Week”.
Aksi-aksi seperti ini lah yang membuat mereka menjadi bahan obrolan di media sosial. Ada yang senang dengan aksi mereka, namun tidak sedikit juga yang kontra. Karena hal ini jarang terjadi, banyak netizen yang bertanya kalau sebenarnya, ini fenomena apa, sih?
Penjelasan Pengamat Sosial
Devie Rahmawati, Pengamat Sosial UI menyatakan jika fenomena “Citayam Fashion Week” bisa terjadi karena diakibatkan oleh berkembangnya ruang digital. Menurutnya, ruang digital lah yang membuat mereka bisa mengekspresikan gaya mereka di panggung nasional, bahkan global.
Menurut Devie, para remaja yang sebagian besar berasal dari Citayam dan Bojong Gede ini sedang berada di fase pencarian jati diri. Dalam sebuah pencarian jati diri, tentunya mereka akan terus mencari sebuah referensi.
Saat ini tempat untuk mencari referensi yang paling mudah adalah melalui ruang digital, yang juga dianggap Devie sebagai supermarket budaya. Kebetulan, referensi-referensi yang ada di supermarket budaya tersebut adalah budaya metro atau kota.
Hal ini membuat para remaja yang berasal dari luar kota tersebut ingin meniru budaya kota. Menurut Devie, hal ini juga bisa dijuluki sebagai tren metrosentrik.
“Sehingga, yang terjadi adalah semua anak, semua remaja ketika ingin menjadi remaja yang sempurna, mereka akan meniru apa pun yang membuat mereka bisa kelihatan seperti anak kota,” ujar Devie.
Mempraktikkan Referensi Budaya
Lanjut Devie, jika sudah mendapatkan referensi dari digital, tentu para remaja ini ingin mempraktikkan apa yang selama ini mereka lihat di ruang digital. Pada akhirnya, lokasi yang menjadi “tempat praktik” mereka adalah sekitar Stasiun BNI City hingga Stasiun Sudirman.
Menurut Devie, lokasi ini dipilih karena aksesnya dari luar kota itu murah dan juga mudah. Sehingga, para remaja ini tidak perlu menggunakan kendaraan lain yang membutuhkan ongkos yang lebih mahal.
“Bahkan dari temuan saya di lapangan, bahkan sebagian ada yang menginap di situ, karena tanpa perlu mengeluarkan biaya, mereka bisa ada di sana,” kata Devie.
Praktik yang dilakukan oleh remaja-remaja tersebut adalah sebuah penerjemahan dari referensi yang mereka lihat di ruang digital. Tentu dalam penerapannya, ada kebiasaan atau budaya dari diri mereka sendiri yang terbawa, hingga akhirnya tercampur dengan budaya referensinya.
Hal inilah yang menciptakan sebuah minimarket budaya atau subkultur baru yang kita kenal sekarang dengan julukan “Citayam Fashion Week”.
Uniknya, karena ruang digital, subkultur ini kemudian menyebar, menjadi viral, dan pada akhirnya kembali ditiru oleh remaja-remaja lainnya. Artinya, subkultur “Citayam Fashion Week” ini sudah menjadi sebuah kiblat referensi baru, terutama dalam berfashion.
Apakah hal ini salah?
Keberadaan anak remaja ini dalam berkumpul, berfashion, dan lain sebagainya bukanlah sesuatu yang negatif. Namun, hal ini akan menjadi salah jika mereka mencoba meniru gaya hidup dewasa yang seharusnya belum boleh mereka tiru, misalnya seperti berpacaran di depan umum.
Karena itu menurut Devie, harus ada orang dewasa, termasuk institusi sosial untuk terus mendampingi mereka.
“Artinya kita harus pastikan, apapun yang mereka lakukan itu tetap dalam koridor, tetap dalam ruang yang positif dan produktif, seperti memproduksi gaya fashion. Tapi bukan gaya hidup yang mereka belum layak untuk mengadopsinya,” kata Devie.
Tanggapan Julid Netizen
Keberadaan para remaja di sekitar Stasiun BNI City dan Sudirman ini mengundang berbagai tanggapan di media sosial. Meskipun banyak yang merasa senang dengan aktivitas para remaja tersebut, namun banyak juga yang merasa kegiatan mereka menimbulkan kekumuhan dan menurunkan derajat “elit” kawasan Sudirman.
Dalam unggahan seorang pengguna Tiktok dengan username @jeona9798, banyak netizen yang berkomentar jika kawasan tersebut saat ini sudah terkesan kumuh.
“Jadi kumuh gak sih sekarang Sudirman?” ujar seorang pengguna bernama Nurfidina dalam kolom komentar.
Komentar mengenai kawasan sekitar Stasiun BNI City yang menjadi kumuh berdasarkan pada banyaknya sampah yang terlihat pada video Tiktok tersebut. Hal ini membuat banyak Netizen menganggap Sudirman sudah tidak High Class seperti dulu.
“Sudirman vibes-nya dulu High Class sampai gue minder kalau mau ke sana. Kaget sekarang jadi kayak Kota Tua,” tulis seorang pengguna Tiktok bernama Remita.
Menanggapi hal ini, Devie berpendapat jika institusi sosial atau dalam hal ini pemerintah juga harus ikut andil untuk memberikan pendekatan kepada mereka agar keberadaan “Citayam Fashion Week” tidak mengotori lingkungan.
Namun, Devie mengatakan jika pendekatan yang dilakukan harus lah sebuah pendekatan yang baik, bukan dengan paksaan, atau teguran keras.
“Saya yakin bukan karena anak-anak itu tidak mengetahui adab, tapi jangan-jangan mereka memang belum pernah diajari, sehingga kita sebagai orang dewasa perlu menciptakan struktur, agar terbentuk kultur yang baik,” kata Devie.
Selain itu, Dari pada julid di media sosial, Devie beranggapan jika kita seharusnya bangga. Karena, para remaja ini bisa menciptakan budaya subkultur, yang bahkan menjadi poros baru dalam segi fashion maupun gaya hidup.
RELATED ARTICLES
Citayam Fashion Week Fenomena Apa?
Devie Rahmawati, Pengamat Sosial UI menyatakan jika fenomena Citayam Fashion Week bisa terjadi karena berkembangnya ruang digital.
Context, JAKARTA - Saat ini, kawasan Dukuh Atas, tepatnya di sekitar Stasiun BNI City, selalu diramaikan oleh anak remaja yang berasal dari sekitaran Jakarta, seperti Citayam, Bojong Gede, hingga Bekasi.
Di sana, mereka tidak hanya berkumpul, namun melakukan berbagai kegiatan seperti membuat konten Tiktok, Youtube, bertemu teman baru, hingga berkomunitas. Tak hanya itu, setiap remaja yang datang juga terlihat mengenakan fashion yang bisa dibilang unik. Karena itu, keberadaan mereka juga dijuluki sebagai fenomena “Citayam Fashion Week”.
Aksi-aksi seperti ini lah yang membuat mereka menjadi bahan obrolan di media sosial. Ada yang senang dengan aksi mereka, namun tidak sedikit juga yang kontra. Karena hal ini jarang terjadi, banyak netizen yang bertanya kalau sebenarnya, ini fenomena apa, sih?
Penjelasan Pengamat Sosial
Devie Rahmawati, Pengamat Sosial UI menyatakan jika fenomena “Citayam Fashion Week” bisa terjadi karena diakibatkan oleh berkembangnya ruang digital. Menurutnya, ruang digital lah yang membuat mereka bisa mengekspresikan gaya mereka di panggung nasional, bahkan global.
Menurut Devie, para remaja yang sebagian besar berasal dari Citayam dan Bojong Gede ini sedang berada di fase pencarian jati diri. Dalam sebuah pencarian jati diri, tentunya mereka akan terus mencari sebuah referensi.
Saat ini tempat untuk mencari referensi yang paling mudah adalah melalui ruang digital, yang juga dianggap Devie sebagai supermarket budaya. Kebetulan, referensi-referensi yang ada di supermarket budaya tersebut adalah budaya metro atau kota.
Hal ini membuat para remaja yang berasal dari luar kota tersebut ingin meniru budaya kota. Menurut Devie, hal ini juga bisa dijuluki sebagai tren metrosentrik.
“Sehingga, yang terjadi adalah semua anak, semua remaja ketika ingin menjadi remaja yang sempurna, mereka akan meniru apa pun yang membuat mereka bisa kelihatan seperti anak kota,” ujar Devie.
Mempraktikkan Referensi Budaya
Lanjut Devie, jika sudah mendapatkan referensi dari digital, tentu para remaja ini ingin mempraktikkan apa yang selama ini mereka lihat di ruang digital. Pada akhirnya, lokasi yang menjadi “tempat praktik” mereka adalah sekitar Stasiun BNI City hingga Stasiun Sudirman.
Menurut Devie, lokasi ini dipilih karena aksesnya dari luar kota itu murah dan juga mudah. Sehingga, para remaja ini tidak perlu menggunakan kendaraan lain yang membutuhkan ongkos yang lebih mahal.
“Bahkan dari temuan saya di lapangan, bahkan sebagian ada yang menginap di situ, karena tanpa perlu mengeluarkan biaya, mereka bisa ada di sana,” kata Devie.
Praktik yang dilakukan oleh remaja-remaja tersebut adalah sebuah penerjemahan dari referensi yang mereka lihat di ruang digital. Tentu dalam penerapannya, ada kebiasaan atau budaya dari diri mereka sendiri yang terbawa, hingga akhirnya tercampur dengan budaya referensinya.
Hal inilah yang menciptakan sebuah minimarket budaya atau subkultur baru yang kita kenal sekarang dengan julukan “Citayam Fashion Week”.
Uniknya, karena ruang digital, subkultur ini kemudian menyebar, menjadi viral, dan pada akhirnya kembali ditiru oleh remaja-remaja lainnya. Artinya, subkultur “Citayam Fashion Week” ini sudah menjadi sebuah kiblat referensi baru, terutama dalam berfashion.
Apakah hal ini salah?
Keberadaan anak remaja ini dalam berkumpul, berfashion, dan lain sebagainya bukanlah sesuatu yang negatif. Namun, hal ini akan menjadi salah jika mereka mencoba meniru gaya hidup dewasa yang seharusnya belum boleh mereka tiru, misalnya seperti berpacaran di depan umum.
Karena itu menurut Devie, harus ada orang dewasa, termasuk institusi sosial untuk terus mendampingi mereka.
“Artinya kita harus pastikan, apapun yang mereka lakukan itu tetap dalam koridor, tetap dalam ruang yang positif dan produktif, seperti memproduksi gaya fashion. Tapi bukan gaya hidup yang mereka belum layak untuk mengadopsinya,” kata Devie.
Tanggapan Julid Netizen
Keberadaan para remaja di sekitar Stasiun BNI City dan Sudirman ini mengundang berbagai tanggapan di media sosial. Meskipun banyak yang merasa senang dengan aktivitas para remaja tersebut, namun banyak juga yang merasa kegiatan mereka menimbulkan kekumuhan dan menurunkan derajat “elit” kawasan Sudirman.
Dalam unggahan seorang pengguna Tiktok dengan username @jeona9798, banyak netizen yang berkomentar jika kawasan tersebut saat ini sudah terkesan kumuh.
“Jadi kumuh gak sih sekarang Sudirman?” ujar seorang pengguna bernama Nurfidina dalam kolom komentar.
Komentar mengenai kawasan sekitar Stasiun BNI City yang menjadi kumuh berdasarkan pada banyaknya sampah yang terlihat pada video Tiktok tersebut. Hal ini membuat banyak Netizen menganggap Sudirman sudah tidak High Class seperti dulu.
“Sudirman vibes-nya dulu High Class sampai gue minder kalau mau ke sana. Kaget sekarang jadi kayak Kota Tua,” tulis seorang pengguna Tiktok bernama Remita.
Menanggapi hal ini, Devie berpendapat jika institusi sosial atau dalam hal ini pemerintah juga harus ikut andil untuk memberikan pendekatan kepada mereka agar keberadaan “Citayam Fashion Week” tidak mengotori lingkungan.
Namun, Devie mengatakan jika pendekatan yang dilakukan harus lah sebuah pendekatan yang baik, bukan dengan paksaan, atau teguran keras.
“Saya yakin bukan karena anak-anak itu tidak mengetahui adab, tapi jangan-jangan mereka memang belum pernah diajari, sehingga kita sebagai orang dewasa perlu menciptakan struktur, agar terbentuk kultur yang baik,” kata Devie.
Selain itu, Dari pada julid di media sosial, Devie beranggapan jika kita seharusnya bangga. Karena, para remaja ini bisa menciptakan budaya subkultur, yang bahkan menjadi poros baru dalam segi fashion maupun gaya hidup.
POPULAR
RELATED ARTICLES