Ada Tuntutan Bubarkan DPR, Secara Hukum Indonesia Bisa?
Tuntutan pembubaran DPR menggaung saat aksi demonstrasi 25 Agustus 2025. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut hal itu secara hukum tidak bisa dilakukan.
_20250825053042117.jpg)
Context.id, JAKARTA - Pada 25 Agustus 2025 lalu sejumlah lapisan masyarakat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI. Aksi unjuk rasa yang berujung kericuhan ini berakar dari rasa frustasi masyarakat atas kinerja para anggota legislatif.
Terlebih, beredarnya wacana pemberian tunjangan rumah senilai Rp50 juta bagi tiap anggota DPR. Menurut publik, angka tersebut berlebihan di tengah gejolak perekonomian Tanah Air.
Bukannya menenangkan masyarakat, sejumlah anggota DPR justru memberikan tanggapan yang dinilai nirempati. Bahkan, anggota DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni yang saat ini dinonaktifkan pernah melontarkan makian kepada masyarakat.
Kemarahan dan kekecewaan publik pun berujung pada tuntutan pembubaran DPR. Namun, apakah secara hukum tata negara hal itu mungkin dilakukan?
Gagasan pembubaran DPR pernah dicanangkan oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gusdur lewat dekrit Presiden 23 Juli 2001. Berikut tiga poin dekrit tersebut:
1. Membekukan MPR dan DPR
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan MA
Namun, putusan itu tidak sampai terwujud lantaran Gusdur terlanjur dimakzulkan dari posisinya sebagai presiden.
Sementara itu, Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menjelaskan pembubaran DPR tidak mungkin dilakukan sejak amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan pasal 7C dalam amandemen tersebut disebutkan Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kendati begitu, Bivitri tidak menampik kekuatan sipil untuk membubarkan institusi legislatif. Tetapi, Bivitri mewanti-wanti agar publik tetap berhati-hati lantaran DPR dibutuhkan guna mengontrol elit eksekutif.
“Betapapun kita punya banyak kritik pada DPR, jangan lupa kalau bicara eksekutif, legislatif, yudikatif yang mengontrol langsung eksekutif itu sebenarnya legislatif,” jelas Bivitri pada Senin (8/9/2025).
Bivitri menekankan apabila tidak ada DPR, elit eksekutif bisa berbuat seenaknya tanpa ada badan yang bisa mengawasi. “In this economy menurut saya, bahaya untuk membiarkan pemerintahan tanpa kontrol.”
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu menilai gagasan pembubaran DPR merupakan simbolisasi dari kemarahan publik yang menumpuk. Sebab, langkah tersebut secara hukum tidak mungkin dilakukan dan justru bisa merugikan masyarakat sipil.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Ada Tuntutan Bubarkan DPR, Secara Hukum Indonesia Bisa?
Tuntutan pembubaran DPR menggaung saat aksi demonstrasi 25 Agustus 2025. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut hal itu secara hukum tidak bisa dilakukan.
_20250825053042117.jpg)
Context.id, JAKARTA - Pada 25 Agustus 2025 lalu sejumlah lapisan masyarakat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR RI. Aksi unjuk rasa yang berujung kericuhan ini berakar dari rasa frustasi masyarakat atas kinerja para anggota legislatif.
Terlebih, beredarnya wacana pemberian tunjangan rumah senilai Rp50 juta bagi tiap anggota DPR. Menurut publik, angka tersebut berlebihan di tengah gejolak perekonomian Tanah Air.
Bukannya menenangkan masyarakat, sejumlah anggota DPR justru memberikan tanggapan yang dinilai nirempati. Bahkan, anggota DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni yang saat ini dinonaktifkan pernah melontarkan makian kepada masyarakat.
Kemarahan dan kekecewaan publik pun berujung pada tuntutan pembubaran DPR. Namun, apakah secara hukum tata negara hal itu mungkin dilakukan?
Gagasan pembubaran DPR pernah dicanangkan oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gusdur lewat dekrit Presiden 23 Juli 2001. Berikut tiga poin dekrit tersebut:
1. Membekukan MPR dan DPR
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan MA
Namun, putusan itu tidak sampai terwujud lantaran Gusdur terlanjur dimakzulkan dari posisinya sebagai presiden.
Sementara itu, Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menjelaskan pembubaran DPR tidak mungkin dilakukan sejak amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945.
Berdasarkan pasal 7C dalam amandemen tersebut disebutkan Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kendati begitu, Bivitri tidak menampik kekuatan sipil untuk membubarkan institusi legislatif. Tetapi, Bivitri mewanti-wanti agar publik tetap berhati-hati lantaran DPR dibutuhkan guna mengontrol elit eksekutif.
“Betapapun kita punya banyak kritik pada DPR, jangan lupa kalau bicara eksekutif, legislatif, yudikatif yang mengontrol langsung eksekutif itu sebenarnya legislatif,” jelas Bivitri pada Senin (8/9/2025).
Bivitri menekankan apabila tidak ada DPR, elit eksekutif bisa berbuat seenaknya tanpa ada badan yang bisa mengawasi. “In this economy menurut saya, bahaya untuk membiarkan pemerintahan tanpa kontrol.”
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu menilai gagasan pembubaran DPR merupakan simbolisasi dari kemarahan publik yang menumpuk. Sebab, langkah tersebut secara hukum tidak mungkin dilakukan dan justru bisa merugikan masyarakat sipil.
POPULAR
RELATED ARTICLES