Share

Home Stories

Stories 20 Agustus 2025

Sejarah dalam Memori Penyintas Tahanan Politik 1965

Merangkai kepingan sejarah dari sudut pandang korban kekerasan negara di masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Para peserta kegiatan penelusuran sejarah bertajuk Anti-tur yang diselenggarakan Perempuan Mahardika dan Kolektif Arungkala sedang berkumpul/Dokumentasi YLBHI

Context.id, JAKARTA - Dari dalam kaca bus Transjakarta yang melintasi jalan Kramat Raya menuju Matraman, Jakarta Timur, langit sudah terlihat gelap digelayuti awan mendung. Saat bus berhenti di halte Matraman 1, saya bersama sekitar 30 orang penumpang lainnya turun. 

Kami berjalan menuju bangunan yang tua yang saat ini difungsikan sebagai rumah makan khas Minang, Rumah Makan Padang Sederhana. Walaupun sedikit lapar, tujuan kami ke rumah makan ini bukan untuk mengisi perut, melainkan napak tilas peristiwa politik kekerasan budaya yang terjadi di periode 60-an. 

Bersama puluhan orang lain dari berbagai latar belakang, Senin (18/8) siang, saya mengikuti kegiatan penelusuran sejarah bertajuk Anti-tur yang diinisiasi Kolektif Arungkala bersama organisasi Perempuan Mahardhika. 

Lestari, anggota Kolektif Arungkala menjelaskan RM Padang Sederhana yang berada tepat di seberang Toko Buku Gramedia Matraman ini dulunya kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi pergerakan perempuan yang dianggap sebagai underbow atau bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Saat turbulensi politik di periode 65-66, militer mulai mengambil alih panggung politik dari Soekarno dan partai pendukungnya, termasuk PKI. Gerwani yang dekat dan seiring sejalan dengan PKI ikut terkena imbasnya. 

Tudingan kudeta dan ingin mengganti ideologi negara membuat aktivis, anggota dan simpatisan PKI maupun Gerwani diburu tentara untuk dipenjarakan. Aset-aset mereka, termasuk kantor diambil alih dan dikuasai oleh militer. 

Perampasan hak hidup perempuan yang berafiliasi dengan Gerwani ini, kata Lestari, yang coba digugat sekaligus dimaknai melalui kegiatan ini.  

“Peserta diajak menelusuri sejarah melalui memori penyintas tahanan politik yang ditangkap tanpa pengadilan oleh pemerintah saat itu. Ini bagian dari upaya merekonstruksi sejarah 1965 yang narasi utamanya disetir penguasa,” kata Lestari. 

Lestari mengajak kami membayangkan suasana saat aktivis Gerwani sedang menggelar rapat dan berdebat mengenai strategi memperjuangkan hak perempuan yang bekerja sebagai buruh dan tani.

Dari depan RM Padang Sederhana, kami berjalan sekitar 350 meter menuju Kampung Melayu. Rintik hujan mulai turun, kami berhenti di sebuah komplek ruko-ruko lawas di Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. 

Jauh sebelum ruko-ruko itu dibangun, berdiri Rumah Tahanan Chusus Wanita (RTCW) Bukit Duri. Mudjiati, anggota perempuan Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) yang ikut dalam rombongan bercerita dirinya pernah mendekam di sana. 

“Di Pemuda Rakyat saya di bagian seni-nya, saya suka tampil [berkesenian] aja makanya masuk organisasi itu,” ceritanya kepada peserta tur yang berdiri mengelilinginya.

Kegemarannya kepada dunia seni tidak hilang meskipun harus menjalani masa-masa kelam. Saat ini Mudjiati menyalurkan minat seninya di paduan suara Dialita yang didirikan oleh eks tahanan politik serta anak-anak dari korban tragedi 1965.

Meski rambutnya telah memutih dimakan waktu, Mudjiati masih mengingat secara jelas bagaimana masa mudanya direnggut paksa dan harus merasakan getirnya hidup di balik tembok tinggi dekat kali Ciliwung itu. Saat ditangkap ia baru berusia 17 tahun. 

“Di (RTCW), kami dipaksa ngaku nyilet-nyilet, nyiksa (pahlawan revolusi) kayak adegan di film G30S PKI itu. Kalau tetap diam, dipukuli sampai dijedotin ke tembok.”

Menurutnya, rumah tahanan tersebut jauh dari kata layak. Selama enam tahun ia ditahan di sana, jumlah tahanan politik perempuan pernah mencapai 170 orang. Sampai-sampai satu kamar yang seharus ditempati satu orang, justru diisi oleh tiga orang tahanan.

Mudjiati masih menyimpan memori bagaimana sesama tahanan perempuan saling menguatkan dan menunjukkan solidaritas. Di tengah suasana yang mencekam dan penyiksaan yang datang bertubi-tubi, mereka menjaga kewarasan dengan saling mengajari keterampilan semisal menjahit.

Dari Matraman ke Jatinegara, lewat memori yang dibagikan Mudjiati maupun penyintas lainnya, cerita mereka terus terdengar dan bergaung menyelinap dari sejarah penguasa yang tak pernah memihak orang-orang lemah dan kalah.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 20 Agustus 2025

Sejarah dalam Memori Penyintas Tahanan Politik 1965

Merangkai kepingan sejarah dari sudut pandang korban kekerasan negara di masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Para peserta kegiatan penelusuran sejarah bertajuk Anti-tur yang diselenggarakan Perempuan Mahardika dan Kolektif Arungkala sedang berkumpul/Dokumentasi YLBHI

Context.id, JAKARTA - Dari dalam kaca bus Transjakarta yang melintasi jalan Kramat Raya menuju Matraman, Jakarta Timur, langit sudah terlihat gelap digelayuti awan mendung. Saat bus berhenti di halte Matraman 1, saya bersama sekitar 30 orang penumpang lainnya turun. 

Kami berjalan menuju bangunan yang tua yang saat ini difungsikan sebagai rumah makan khas Minang, Rumah Makan Padang Sederhana. Walaupun sedikit lapar, tujuan kami ke rumah makan ini bukan untuk mengisi perut, melainkan napak tilas peristiwa politik kekerasan budaya yang terjadi di periode 60-an. 

Bersama puluhan orang lain dari berbagai latar belakang, Senin (18/8) siang, saya mengikuti kegiatan penelusuran sejarah bertajuk Anti-tur yang diinisiasi Kolektif Arungkala bersama organisasi Perempuan Mahardhika. 

Lestari, anggota Kolektif Arungkala menjelaskan RM Padang Sederhana yang berada tepat di seberang Toko Buku Gramedia Matraman ini dulunya kantor Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi pergerakan perempuan yang dianggap sebagai underbow atau bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Saat turbulensi politik di periode 65-66, militer mulai mengambil alih panggung politik dari Soekarno dan partai pendukungnya, termasuk PKI. Gerwani yang dekat dan seiring sejalan dengan PKI ikut terkena imbasnya. 

Tudingan kudeta dan ingin mengganti ideologi negara membuat aktivis, anggota dan simpatisan PKI maupun Gerwani diburu tentara untuk dipenjarakan. Aset-aset mereka, termasuk kantor diambil alih dan dikuasai oleh militer. 

Perampasan hak hidup perempuan yang berafiliasi dengan Gerwani ini, kata Lestari, yang coba digugat sekaligus dimaknai melalui kegiatan ini.  

“Peserta diajak menelusuri sejarah melalui memori penyintas tahanan politik yang ditangkap tanpa pengadilan oleh pemerintah saat itu. Ini bagian dari upaya merekonstruksi sejarah 1965 yang narasi utamanya disetir penguasa,” kata Lestari. 

Lestari mengajak kami membayangkan suasana saat aktivis Gerwani sedang menggelar rapat dan berdebat mengenai strategi memperjuangkan hak perempuan yang bekerja sebagai buruh dan tani.

Dari depan RM Padang Sederhana, kami berjalan sekitar 350 meter menuju Kampung Melayu. Rintik hujan mulai turun, kami berhenti di sebuah komplek ruko-ruko lawas di Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. 

Jauh sebelum ruko-ruko itu dibangun, berdiri Rumah Tahanan Chusus Wanita (RTCW) Bukit Duri. Mudjiati, anggota perempuan Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) yang ikut dalam rombongan bercerita dirinya pernah mendekam di sana. 

“Di Pemuda Rakyat saya di bagian seni-nya, saya suka tampil [berkesenian] aja makanya masuk organisasi itu,” ceritanya kepada peserta tur yang berdiri mengelilinginya.

Kegemarannya kepada dunia seni tidak hilang meskipun harus menjalani masa-masa kelam. Saat ini Mudjiati menyalurkan minat seninya di paduan suara Dialita yang didirikan oleh eks tahanan politik serta anak-anak dari korban tragedi 1965.

Meski rambutnya telah memutih dimakan waktu, Mudjiati masih mengingat secara jelas bagaimana masa mudanya direnggut paksa dan harus merasakan getirnya hidup di balik tembok tinggi dekat kali Ciliwung itu. Saat ditangkap ia baru berusia 17 tahun. 

“Di (RTCW), kami dipaksa ngaku nyilet-nyilet, nyiksa (pahlawan revolusi) kayak adegan di film G30S PKI itu. Kalau tetap diam, dipukuli sampai dijedotin ke tembok.”

Menurutnya, rumah tahanan tersebut jauh dari kata layak. Selama enam tahun ia ditahan di sana, jumlah tahanan politik perempuan pernah mencapai 170 orang. Sampai-sampai satu kamar yang seharus ditempati satu orang, justru diisi oleh tiga orang tahanan.

Mudjiati masih menyimpan memori bagaimana sesama tahanan perempuan saling menguatkan dan menunjukkan solidaritas. Di tengah suasana yang mencekam dan penyiksaan yang datang bertubi-tubi, mereka menjaga kewarasan dengan saling mengajari keterampilan semisal menjahit.

Dari Matraman ke Jatinegara, lewat memori yang dibagikan Mudjiati maupun penyintas lainnya, cerita mereka terus terdengar dan bergaung menyelinap dari sejarah penguasa yang tak pernah memihak orang-orang lemah dan kalah.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Siap-Siap, Indonesia Bisa Jadi Primadona Baru Pabrik China

Pemerintah perlu memangkas hambatan regulasi dan menyediakan infrastruktur yang lengkap serta memastikan rantai pasok industri yang lengkap untuk ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 20 August 2025

Sejarah dalam Memori Penyintas Tahanan Politik 1965

Merangkai kepingan sejarah dari sudut pandang korban kekerasan negara di masa lalu yang tak pernah diselesaikan.

Renita Sukma . 20 August 2025

Hujan Pecahan Meteor Bisa Mengancam Satelit

Puing-puing tabrakan meteor dapat mengancam satelit dan memicu hujan meteor yang luar biasa dahsyat. r n r n

Noviarizal Fernandez . 18 August 2025

Rangkaian HUT ke-80 RI Nyatanya Hasilkan Hampir 80 Ton Sampah

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta menurunkan sebanyak 1.800 personel yang bekerja hingga pukul 03.00 WIB dini hari untuk mengangkut puluhan ton ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 18 August 2025