Share

Home Stories

Stories 14 Agustus 2025

Kebijakan Tak Konsisten dan Kepemimpinan Heroik Populis Prabowo

Kebijakan Prabowo sering dicabut setelah mendapat protes publik, mencerminkan gaya kepemimpinan yang lebih populis

Prabowo sedang berpidato di hadapan buruh yang ikut perayaan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2025/JIBI

Context.id, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kerap mencabut kebijakan setelah gelombang protes dari masyarakat. Hal ini menimbulkan kesan kepemimpinannya lebih mengutamakan popularitas dan reaksi kritik publik ketimbang pertimbangan kebijakan jangka panjang.

Tagline "No viral, no justice" yang ramai di media sosial menggambarkan fenomena ini. Warganet beranggapan kebijakan yang dianggap tidak adil hanya akan didengar dan diperbaiki jika mendapat perhatian masif di dunia maya.

Spekulasi ini bukan tanpa dasar. Sejak dilantik pada Oktober 2024, pemerintah Prabowo telah beberapa kali menarik kebijakan karena tekanan publik, terutama dari kalangan anak muda yang aktif di media sosial. 

Salah satunya soal pembatalan kenaikan PPN 12. Protes besar, baik melalui aksi di jalan maupun kampanye digital, memaksa pemerintah untuk mengurungkan niat tersebut.

Tak lama setelah itu, kebijakan larangan pengecer menjual gas elpiji 3 kilogram juga dibatalkan. Keputusan yang dikeluarkan Kementerian ESDM ini mendapat kritik keras karena menyebabkan antrian panjang di berbagai wilayah. 

Video-video antrian yang viral di media sosial memperparah situasi, hingga akhirnya kebijakan tersebut dicabut setelah Presiden Prabowo memanggil dan mengevaluasi Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.

Terbaru, pemerintah juga memberikan pengampunan kepada eks Menteri Perdagangan era Jokowi, Tom Lembong dan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. 

Meski keduanya sudah divonis penjara, kedekatan politik dengan Prabowo dan tekanan publik terhadap kasus Lembong disinyalir menjadi faktor utama di balik keputusan ini.

Tren kebijakan yang berubah cepat ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar mendengarkan suara rakyat atau justru menunjukkan ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan?

Pakar hukum, Bivitri Susanti, menyatakan fenomena ini bukanlah soal inkompetensi aparat, melainkan mencerminkan gaya kepemimpinan Prabowo yang disebutnya heroic populism alias mengedepankan narasi pemimpin sebagai penyelamat rakyat. 

Bivitri melihat Prabowo lebih sering berada dalam mode kampanye yang terus menyuarakan pandangan bombastis dan nasionalis, daripada fokus pada tata kelola negara yang efektif.

Dalam pandangannya, kebijakan yang ideal seharusnya didasarkan pada bukti ilmiah dan dilakukan dengan evaluasi serta pengawasan yang ketat. Namun, kebijakan yang diambil oleh pemerintah cenderung politis, hanya mengutamakan popularitas tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

"Jika pola ini terus berlanjut, tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945, seperti mencerdaskan bangsa, sulit tercapai. Pemimpin populis hanya akan membuat kebijakan yang sekadar tes-tes tanpa data dan sasaran yang jelas," kata Bivitri.

 

 

 



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 14 Agustus 2025

Kebijakan Tak Konsisten dan Kepemimpinan Heroik Populis Prabowo

Kebijakan Prabowo sering dicabut setelah mendapat protes publik, mencerminkan gaya kepemimpinan yang lebih populis

Prabowo sedang berpidato di hadapan buruh yang ikut perayaan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2025/JIBI

Context.id, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kerap mencabut kebijakan setelah gelombang protes dari masyarakat. Hal ini menimbulkan kesan kepemimpinannya lebih mengutamakan popularitas dan reaksi kritik publik ketimbang pertimbangan kebijakan jangka panjang.

Tagline "No viral, no justice" yang ramai di media sosial menggambarkan fenomena ini. Warganet beranggapan kebijakan yang dianggap tidak adil hanya akan didengar dan diperbaiki jika mendapat perhatian masif di dunia maya.

Spekulasi ini bukan tanpa dasar. Sejak dilantik pada Oktober 2024, pemerintah Prabowo telah beberapa kali menarik kebijakan karena tekanan publik, terutama dari kalangan anak muda yang aktif di media sosial. 

Salah satunya soal pembatalan kenaikan PPN 12. Protes besar, baik melalui aksi di jalan maupun kampanye digital, memaksa pemerintah untuk mengurungkan niat tersebut.

Tak lama setelah itu, kebijakan larangan pengecer menjual gas elpiji 3 kilogram juga dibatalkan. Keputusan yang dikeluarkan Kementerian ESDM ini mendapat kritik keras karena menyebabkan antrian panjang di berbagai wilayah. 

Video-video antrian yang viral di media sosial memperparah situasi, hingga akhirnya kebijakan tersebut dicabut setelah Presiden Prabowo memanggil dan mengevaluasi Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.

Terbaru, pemerintah juga memberikan pengampunan kepada eks Menteri Perdagangan era Jokowi, Tom Lembong dan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. 

Meski keduanya sudah divonis penjara, kedekatan politik dengan Prabowo dan tekanan publik terhadap kasus Lembong disinyalir menjadi faktor utama di balik keputusan ini.

Tren kebijakan yang berubah cepat ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar mendengarkan suara rakyat atau justru menunjukkan ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan?

Pakar hukum, Bivitri Susanti, menyatakan fenomena ini bukanlah soal inkompetensi aparat, melainkan mencerminkan gaya kepemimpinan Prabowo yang disebutnya heroic populism alias mengedepankan narasi pemimpin sebagai penyelamat rakyat. 

Bivitri melihat Prabowo lebih sering berada dalam mode kampanye yang terus menyuarakan pandangan bombastis dan nasionalis, daripada fokus pada tata kelola negara yang efektif.

Dalam pandangannya, kebijakan yang ideal seharusnya didasarkan pada bukti ilmiah dan dilakukan dengan evaluasi serta pengawasan yang ketat. Namun, kebijakan yang diambil oleh pemerintah cenderung politis, hanya mengutamakan popularitas tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

"Jika pola ini terus berlanjut, tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945, seperti mencerdaskan bangsa, sulit tercapai. Pemimpin populis hanya akan membuat kebijakan yang sekadar tes-tes tanpa data dan sasaran yang jelas," kata Bivitri.

 

 

 



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025