Kebijakan Tak Konsisten dan Kepemimpinan Heroik Populis Prabowo
Kebijakan Prabowo sering dicabut setelah mendapat protes publik, mencerminkan gaya kepemimpinan yang lebih populis
_20250501014048081 (1).jpg)
Context.id, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kerap mencabut kebijakan setelah gelombang protes dari masyarakat. Hal ini menimbulkan kesan kepemimpinannya lebih mengutamakan popularitas dan reaksi kritik publik ketimbang pertimbangan kebijakan jangka panjang.
Tagline "No viral, no justice" yang ramai di media sosial menggambarkan fenomena ini. Warganet beranggapan kebijakan yang dianggap tidak adil hanya akan didengar dan diperbaiki jika mendapat perhatian masif di dunia maya.
Spekulasi ini bukan tanpa dasar. Sejak dilantik pada Oktober 2024, pemerintah Prabowo telah beberapa kali menarik kebijakan karena tekanan publik, terutama dari kalangan anak muda yang aktif di media sosial.
Salah satunya soal pembatalan kenaikan PPN 12. Protes besar, baik melalui aksi di jalan maupun kampanye digital, memaksa pemerintah untuk mengurungkan niat tersebut.
Tak lama setelah itu, kebijakan larangan pengecer menjual gas elpiji 3 kilogram juga dibatalkan. Keputusan yang dikeluarkan Kementerian ESDM ini mendapat kritik keras karena menyebabkan antrian panjang di berbagai wilayah.
Video-video antrian yang viral di media sosial memperparah situasi, hingga akhirnya kebijakan tersebut dicabut setelah Presiden Prabowo memanggil dan mengevaluasi Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Terbaru, pemerintah juga memberikan pengampunan kepada eks Menteri Perdagangan era Jokowi, Tom Lembong dan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Meski keduanya sudah divonis penjara, kedekatan politik dengan Prabowo dan tekanan publik terhadap kasus Lembong disinyalir menjadi faktor utama di balik keputusan ini.
Tren kebijakan yang berubah cepat ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar mendengarkan suara rakyat atau justru menunjukkan ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan?
Pakar hukum, Bivitri Susanti, menyatakan fenomena ini bukanlah soal inkompetensi aparat, melainkan mencerminkan gaya kepemimpinan Prabowo yang disebutnya heroic populism alias mengedepankan narasi pemimpin sebagai penyelamat rakyat.
Bivitri melihat Prabowo lebih sering berada dalam mode kampanye yang terus menyuarakan pandangan bombastis dan nasionalis, daripada fokus pada tata kelola negara yang efektif.
Dalam pandangannya, kebijakan yang ideal seharusnya didasarkan pada bukti ilmiah dan dilakukan dengan evaluasi serta pengawasan yang ketat. Namun, kebijakan yang diambil oleh pemerintah cenderung politis, hanya mengutamakan popularitas tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
"Jika pola ini terus berlanjut, tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945, seperti mencerdaskan bangsa, sulit tercapai. Pemimpin populis hanya akan membuat kebijakan yang sekadar tes-tes tanpa data dan sasaran yang jelas," kata Bivitri.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Kebijakan Tak Konsisten dan Kepemimpinan Heroik Populis Prabowo
Kebijakan Prabowo sering dicabut setelah mendapat protes publik, mencerminkan gaya kepemimpinan yang lebih populis
_20250501014048081 (1).jpg)
Context.id, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kerap mencabut kebijakan setelah gelombang protes dari masyarakat. Hal ini menimbulkan kesan kepemimpinannya lebih mengutamakan popularitas dan reaksi kritik publik ketimbang pertimbangan kebijakan jangka panjang.
Tagline "No viral, no justice" yang ramai di media sosial menggambarkan fenomena ini. Warganet beranggapan kebijakan yang dianggap tidak adil hanya akan didengar dan diperbaiki jika mendapat perhatian masif di dunia maya.
Spekulasi ini bukan tanpa dasar. Sejak dilantik pada Oktober 2024, pemerintah Prabowo telah beberapa kali menarik kebijakan karena tekanan publik, terutama dari kalangan anak muda yang aktif di media sosial.
Salah satunya soal pembatalan kenaikan PPN 12. Protes besar, baik melalui aksi di jalan maupun kampanye digital, memaksa pemerintah untuk mengurungkan niat tersebut.
Tak lama setelah itu, kebijakan larangan pengecer menjual gas elpiji 3 kilogram juga dibatalkan. Keputusan yang dikeluarkan Kementerian ESDM ini mendapat kritik keras karena menyebabkan antrian panjang di berbagai wilayah.
Video-video antrian yang viral di media sosial memperparah situasi, hingga akhirnya kebijakan tersebut dicabut setelah Presiden Prabowo memanggil dan mengevaluasi Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Terbaru, pemerintah juga memberikan pengampunan kepada eks Menteri Perdagangan era Jokowi, Tom Lembong dan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto.
Meski keduanya sudah divonis penjara, kedekatan politik dengan Prabowo dan tekanan publik terhadap kasus Lembong disinyalir menjadi faktor utama di balik keputusan ini.
Tren kebijakan yang berubah cepat ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar mendengarkan suara rakyat atau justru menunjukkan ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan?
Pakar hukum, Bivitri Susanti, menyatakan fenomena ini bukanlah soal inkompetensi aparat, melainkan mencerminkan gaya kepemimpinan Prabowo yang disebutnya heroic populism alias mengedepankan narasi pemimpin sebagai penyelamat rakyat.
Bivitri melihat Prabowo lebih sering berada dalam mode kampanye yang terus menyuarakan pandangan bombastis dan nasionalis, daripada fokus pada tata kelola negara yang efektif.
Dalam pandangannya, kebijakan yang ideal seharusnya didasarkan pada bukti ilmiah dan dilakukan dengan evaluasi serta pengawasan yang ketat. Namun, kebijakan yang diambil oleh pemerintah cenderung politis, hanya mengutamakan popularitas tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
"Jika pola ini terus berlanjut, tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945, seperti mencerdaskan bangsa, sulit tercapai. Pemimpin populis hanya akan membuat kebijakan yang sekadar tes-tes tanpa data dan sasaran yang jelas," kata Bivitri.
POPULAR
RELATED ARTICLES