Indonesia Berburu Pendanaan Iklim di COP30
Sejak COP21, negara-negara maju berjanji mengucurkan US100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang beralih ke energi bersih tapi itu hanya sekadar janji
Context.id, JAKARTA - Indonesia kembali menjadi sorotan dunia dalam perjuangan iklim global. Kali ini, perhatian tertuju pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang akan diselenggarakan di Brasil pada November mendatang.
Di tengah gejolak geopolitik dan komitmen negara maju yang kian melemah, Indonesia bersiap dengan Nationally Determined Contributions (NDC), sebuah janji iklim yang diharapkan mampu mendorong aksi nyata.
Pendanaan iklim masih menjadi duri dalam daging. Sejak COP21, negara-negara maju berjanji mengucurkan US$100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang beralih ke energi bersih dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Namun, janji itu seringkali hanya tinggal janji. Realisasinya lambat, bahkan targetnya kini melonjak tiga kali lipat menjadi US$300 miliar pada 2035.
Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim dan Energi, mengakui realisasi pendanaan yang belum memadai menjadi tantangan utama.
Senada dengan Hashim, Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menyoroti ketimpangan komitmen global terhadap keadilan iklim.
"Bagi Indonesia, ini bukan sekadar angka, ini bukti bahwa komitmen global terhadap keadilan iklim masih cukup timpang," tegas Diaz.
Transisi energi hijau memerlukan dukungan pembiayaan yang masif. Wakil Menteri BUMN, Aminuddin Ma’ruf, menegaskan transisi ini bukan hanya tanggung jawab negara berkembang.
"Saya rasa kita juga wajib mempertanyakan komitmen-komitmen negara maju. Jangan sampai negara berkembang yang dipaksa untuk beralih dari energi fosil menjadi energi terbarukan atas nama kepentingan menyelamatkan dunia," ujar Aminuddin.
Indonesia, sebagai negara berdaulat, berhak menentukan prioritas dalam transisi energinya sendiri. Dukungan nyata dan komitmen negara-negara maju adalah keniscayaan agar proses transisi energi Indonesia berjalan adil dan efektif.
Berbagai opsi pendanaan iklim telah coba diaplikasikan Indonesia, salah satunya Just Energy Transition Partnership (JETP).
Namun, akselerasinya masih dinanti. Menjelang COP30, sebuah skema pendanaan inovatif lainnya mulai mencuat, Tropical Forests Forever Fund (TFFF).
TFFF model pendanaan progresif berbasis insentif jangka panjang bagi negara tropis yang berhasil melestarikan dan memperluas hutannya.
Indonesia, dengan luas hutan mencapai 95,5 juta hektare, memiliki potensi besar untuk mendapatkan keuntungan dari skema ini.
"Kalau Indonesia mau cari pendanaan iklim, bisa menggunakan TFFF. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya, bisa mengajukan klausul. Karena berdasarkan luasan lahan, Indonesia akan mendapat sekitar Rp6 triliun per tahun," ungkap Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios.
Selain TFFF, Bhima juga menyoroti pentingnya sinkronisasi kebijakan transisi energi dan mendorong skema penghapusan utang iklim sebagai bagian dari keadilan global.
Menuju COP30 di Brasil, Indonesia harus terus berjuang menuntut keadilan pendanaan, memperkuat komitmen nasional, dan berkolaborasi lintas sektor. Perubahan iklim adalah tantangan bersama bukan sekadar tanggung jawab negara dunia ketiga
POPULAR
RELATED ARTICLES
Indonesia Berburu Pendanaan Iklim di COP30
Sejak COP21, negara-negara maju berjanji mengucurkan US100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang beralih ke energi bersih tapi itu hanya sekadar janji
Context.id, JAKARTA - Indonesia kembali menjadi sorotan dunia dalam perjuangan iklim global. Kali ini, perhatian tertuju pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang akan diselenggarakan di Brasil pada November mendatang.
Di tengah gejolak geopolitik dan komitmen negara maju yang kian melemah, Indonesia bersiap dengan Nationally Determined Contributions (NDC), sebuah janji iklim yang diharapkan mampu mendorong aksi nyata.
Pendanaan iklim masih menjadi duri dalam daging. Sejak COP21, negara-negara maju berjanji mengucurkan US$100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang beralih ke energi bersih dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Namun, janji itu seringkali hanya tinggal janji. Realisasinya lambat, bahkan targetnya kini melonjak tiga kali lipat menjadi US$300 miliar pada 2035.
Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim dan Energi, mengakui realisasi pendanaan yang belum memadai menjadi tantangan utama.
Senada dengan Hashim, Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menyoroti ketimpangan komitmen global terhadap keadilan iklim.
"Bagi Indonesia, ini bukan sekadar angka, ini bukti bahwa komitmen global terhadap keadilan iklim masih cukup timpang," tegas Diaz.
Transisi energi hijau memerlukan dukungan pembiayaan yang masif. Wakil Menteri BUMN, Aminuddin Ma’ruf, menegaskan transisi ini bukan hanya tanggung jawab negara berkembang.
"Saya rasa kita juga wajib mempertanyakan komitmen-komitmen negara maju. Jangan sampai negara berkembang yang dipaksa untuk beralih dari energi fosil menjadi energi terbarukan atas nama kepentingan menyelamatkan dunia," ujar Aminuddin.
Indonesia, sebagai negara berdaulat, berhak menentukan prioritas dalam transisi energinya sendiri. Dukungan nyata dan komitmen negara-negara maju adalah keniscayaan agar proses transisi energi Indonesia berjalan adil dan efektif.
Berbagai opsi pendanaan iklim telah coba diaplikasikan Indonesia, salah satunya Just Energy Transition Partnership (JETP).
Namun, akselerasinya masih dinanti. Menjelang COP30, sebuah skema pendanaan inovatif lainnya mulai mencuat, Tropical Forests Forever Fund (TFFF).
TFFF model pendanaan progresif berbasis insentif jangka panjang bagi negara tropis yang berhasil melestarikan dan memperluas hutannya.
Indonesia, dengan luas hutan mencapai 95,5 juta hektare, memiliki potensi besar untuk mendapatkan keuntungan dari skema ini.
"Kalau Indonesia mau cari pendanaan iklim, bisa menggunakan TFFF. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya, bisa mengajukan klausul. Karena berdasarkan luasan lahan, Indonesia akan mendapat sekitar Rp6 triliun per tahun," ungkap Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios.
Selain TFFF, Bhima juga menyoroti pentingnya sinkronisasi kebijakan transisi energi dan mendorong skema penghapusan utang iklim sebagai bagian dari keadilan global.
Menuju COP30 di Brasil, Indonesia harus terus berjuang menuntut keadilan pendanaan, memperkuat komitmen nasional, dan berkolaborasi lintas sektor. Perubahan iklim adalah tantangan bersama bukan sekadar tanggung jawab negara dunia ketiga
POPULAR
RELATED ARTICLES