Fiksi Sejarah Laut Bercerita Capai Cetakan ke-100
Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mencapai cetakan ke-100. Novel yang mengangkat tragedi penculikan aktivis 1998 itu dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa

Context.id, JAKARTA - Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mencapai cetakan ke-100. Pencapaian ini tergolong langka di dunia penerbitan Indonesia dan biasanya hanya dialami karya-karya yang telah dianggap klasik, seperti novel-novel Pramoedya Ananta Toer.
Dirilis pertama kali pada 2017, Laut Bercerita bukan sekadar karya fiksi. Novel ini mengangkat peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis mahasiswa menjelang tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998. Isu tersebut tetap relevan, bahkan dua dekade lebih setelah Reformasi bergulir.
Untuk menandai cetakan ke-100, novel ini kembali diterbitkan dalam edisi khusus dengan sampul baru. Bersamaan dengan itu, film pendek adaptasi novel tersebut juga diputar dalam acara khusus di XXI Plaza Senayan, Jakarta, pada 18 Juli 2025. Tiket pemutaran yang terbatas habis dalam waktu dua menit.
Film pendek ini disutradarai Pritagita Arianegara dan awalnya dibuat untuk mendukung promosi novel. Meski telah tayang sejak delapan tahun lalu, film itu tetap menarik minat penonton, bahkan mampu memenuhi dua studio bioskop dalam pemutarannya pekan lalu.
Salah satu narasumber utama dalam riset novel, Lilik H.S., yang juga aktivis dan saksi hidup era Reformasi, mengungkapkan Laut Bercerita tetap relevan dengan situasi politik saat ini. “Bagi saya, pemutaran film ini sekarang terasa lebih menyentuh, lebih nyeri. Bahasa Jawa-nya, senep,” ujarnya.
Menurut Lilik, beberapa tokoh yang dulu menjadi korban atau saksi kasus penculikan kini justru berada dalam lingkar kekuasaan, termasuk dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Nama Presiden Prabowo sendiri sempat disebut dalam sejumlah laporan aktivis HAM terkait peristiwa 1998, meski tidak pernah dibuktikan secara hukum.
“Memori sejarah tidak boleh dikaburkan. Anak-anak muda harus dilibatkan dalam upaya mengingat ini, dengan bahasa dan medium yang dekat dengan mereka,” kata Lilik. Ia menekankan pentingnya peran karya budaya, termasuk sastra, dalam proses memorialisasi publik.
Leila membenarkan menulis cara yang paling alami baginya untuk merawat ingatan. “Setiap orang punya cara masing-masing. Bagi saya, menulis adalah bentuk paling jujur. Saya mungkin tidak bisa membuat karya seni rupa, tapi saya bisa menulis,” ujar Leila.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Fiksi Sejarah Laut Bercerita Capai Cetakan ke-100
Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mencapai cetakan ke-100. Novel yang mengangkat tragedi penculikan aktivis 1998 itu dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap lupa

Context.id, JAKARTA - Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori mencapai cetakan ke-100. Pencapaian ini tergolong langka di dunia penerbitan Indonesia dan biasanya hanya dialami karya-karya yang telah dianggap klasik, seperti novel-novel Pramoedya Ananta Toer.
Dirilis pertama kali pada 2017, Laut Bercerita bukan sekadar karya fiksi. Novel ini mengangkat peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis mahasiswa menjelang tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998. Isu tersebut tetap relevan, bahkan dua dekade lebih setelah Reformasi bergulir.
Untuk menandai cetakan ke-100, novel ini kembali diterbitkan dalam edisi khusus dengan sampul baru. Bersamaan dengan itu, film pendek adaptasi novel tersebut juga diputar dalam acara khusus di XXI Plaza Senayan, Jakarta, pada 18 Juli 2025. Tiket pemutaran yang terbatas habis dalam waktu dua menit.
Film pendek ini disutradarai Pritagita Arianegara dan awalnya dibuat untuk mendukung promosi novel. Meski telah tayang sejak delapan tahun lalu, film itu tetap menarik minat penonton, bahkan mampu memenuhi dua studio bioskop dalam pemutarannya pekan lalu.
Salah satu narasumber utama dalam riset novel, Lilik H.S., yang juga aktivis dan saksi hidup era Reformasi, mengungkapkan Laut Bercerita tetap relevan dengan situasi politik saat ini. “Bagi saya, pemutaran film ini sekarang terasa lebih menyentuh, lebih nyeri. Bahasa Jawa-nya, senep,” ujarnya.
Menurut Lilik, beberapa tokoh yang dulu menjadi korban atau saksi kasus penculikan kini justru berada dalam lingkar kekuasaan, termasuk dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Nama Presiden Prabowo sendiri sempat disebut dalam sejumlah laporan aktivis HAM terkait peristiwa 1998, meski tidak pernah dibuktikan secara hukum.
“Memori sejarah tidak boleh dikaburkan. Anak-anak muda harus dilibatkan dalam upaya mengingat ini, dengan bahasa dan medium yang dekat dengan mereka,” kata Lilik. Ia menekankan pentingnya peran karya budaya, termasuk sastra, dalam proses memorialisasi publik.
Leila membenarkan menulis cara yang paling alami baginya untuk merawat ingatan. “Setiap orang punya cara masing-masing. Bagi saya, menulis adalah bentuk paling jujur. Saya mungkin tidak bisa membuat karya seni rupa, tapi saya bisa menulis,” ujar Leila.
POPULAR
RELATED ARTICLES