Pakaian dari Jerami, Masa Depan Mode Berasal dari Limbah
Dalam lanskap industri mode yang sarat emisi dan limbah, secercah harapan muncul dari tempat yang tidak terduga ladang gandum

Context.id, JAKARTA - Di balik lautan gandum dan oat yang biasa memenuhi kebutuhan pangan, para ilmuwan di Universitas Teknologi Chalmers, Swedia, melihat potensi lain sebagai bahan dasar untuk membuat pakaian.
Pakaian itu bukan dari benang katun, bukan pula dari serat kayu, melainkan dari sekam dan jerami, sisa panen yang selama ini dianggap limbah.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal RSC Sustainability menunjukkan limbah pertanian dapat diolah menjadi pulp tekstil, bahan dasar yang bisa dipintal menjadi serat dan diubah menjadi kain.
Ini bukan sekadar eksperimen laboratorium. Metode yang digunakan, soda pulping berbasis larutan alkali, lebih sederhana dan jauh lebih ramah lingkungan dibanding ekstraksi selulosa dari kayu.
“Ini bukan hanya soal mengurangi ketergantungan pada kapas atau kayu. Ini tentang menciptakan nilai dari sisa panen yang selama ini kita abaikan,” jelas Diana Bernin, peneliti utama dari Chalmers.
Sekam gandum dan jerami terbukti menghasilkan pulp berkualitas tinggi. Prosesnya tidak memerlukan pembabatan pohon, pengulitan, atau chipping, suatu praktik umum dalam industri pulp kayu.
Memasuki era tekstil sirkular
Industri tekstil global selama ini ditopang oleh dua hal, kapas dan serat sintetis. Keduanya punya masalah. Kapas boros air, sementara poliester menyumbang mikroplastik ke laut.
Selulosa dari limbah pertanian menghadirkan alternatif, tidak hanya lebih berkelanjutan, tapi juga bisa memanfaatkan infrastruktur industri pulp yang sudah ada.
“Kami melihat peluang besar untuk mengintegrasikan metode ini ke dalam rantai produksi pabrik pulp yang sudah ada, ketimbang membangun semuanya dari awal,” kata Bernin.
Proyek ini juga didukung oleh perusahaan inovasi Tree to Textile dan memperluas kemungkinan produksi tekstil sirkular tanpa menambah tekanan pada sumber daya alam.
Studi lanjutan bahkan telah berhasil menciptakan serat tekstil dari bubur jerami dan limbah rumput hasil pengepresan, membuka jalan bagi diversifikasi bahan baku tekstil non-kayu.
Limbah jadi aset
Laporan ini datang di saat industri mode berada di bawah sorotan tajam karena krisis lingkungan yang ditimbulkannya. Konsumen kini mulai menuntut transparansi, keberlanjutan, dan etika dalam produksi pakaian.
Pemerintah-pemerintah Eropa, termasuk Australia, mulai mewajibkan tanggung jawab merek atas daur ulang pakaian mereka.
Namun, pertanyaannya bukan hanya tentang inovasi teknologi. Tantangan yang lebih besar adalah mengubah sistem industri tekstil global yang dibangun atas kecepatan, harga murah, dan tenaga kerja murah menjadi ekosistem yang adil dan lestari.
Mungkinkah dalam beberapa dekade ke depan, pakaian sehari-hari kita berasal dari sisa panen musim lalu? Jawabannya, secara teknis ya.
Tetapi transformasi itu akan tergantung pada lebih dari sekadar laboratorium. Ia butuh regulasi, kemauan industri, dan konsumen yang sadar perubahan besar sering dimulai dari hal yang terlihat sepele seperti sepotong jerami.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Pakaian dari Jerami, Masa Depan Mode Berasal dari Limbah
Dalam lanskap industri mode yang sarat emisi dan limbah, secercah harapan muncul dari tempat yang tidak terduga ladang gandum

Context.id, JAKARTA - Di balik lautan gandum dan oat yang biasa memenuhi kebutuhan pangan, para ilmuwan di Universitas Teknologi Chalmers, Swedia, melihat potensi lain sebagai bahan dasar untuk membuat pakaian.
Pakaian itu bukan dari benang katun, bukan pula dari serat kayu, melainkan dari sekam dan jerami, sisa panen yang selama ini dianggap limbah.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal RSC Sustainability menunjukkan limbah pertanian dapat diolah menjadi pulp tekstil, bahan dasar yang bisa dipintal menjadi serat dan diubah menjadi kain.
Ini bukan sekadar eksperimen laboratorium. Metode yang digunakan, soda pulping berbasis larutan alkali, lebih sederhana dan jauh lebih ramah lingkungan dibanding ekstraksi selulosa dari kayu.
“Ini bukan hanya soal mengurangi ketergantungan pada kapas atau kayu. Ini tentang menciptakan nilai dari sisa panen yang selama ini kita abaikan,” jelas Diana Bernin, peneliti utama dari Chalmers.
Sekam gandum dan jerami terbukti menghasilkan pulp berkualitas tinggi. Prosesnya tidak memerlukan pembabatan pohon, pengulitan, atau chipping, suatu praktik umum dalam industri pulp kayu.
Memasuki era tekstil sirkular
Industri tekstil global selama ini ditopang oleh dua hal, kapas dan serat sintetis. Keduanya punya masalah. Kapas boros air, sementara poliester menyumbang mikroplastik ke laut.
Selulosa dari limbah pertanian menghadirkan alternatif, tidak hanya lebih berkelanjutan, tapi juga bisa memanfaatkan infrastruktur industri pulp yang sudah ada.
“Kami melihat peluang besar untuk mengintegrasikan metode ini ke dalam rantai produksi pabrik pulp yang sudah ada, ketimbang membangun semuanya dari awal,” kata Bernin.
Proyek ini juga didukung oleh perusahaan inovasi Tree to Textile dan memperluas kemungkinan produksi tekstil sirkular tanpa menambah tekanan pada sumber daya alam.
Studi lanjutan bahkan telah berhasil menciptakan serat tekstil dari bubur jerami dan limbah rumput hasil pengepresan, membuka jalan bagi diversifikasi bahan baku tekstil non-kayu.
Limbah jadi aset
Laporan ini datang di saat industri mode berada di bawah sorotan tajam karena krisis lingkungan yang ditimbulkannya. Konsumen kini mulai menuntut transparansi, keberlanjutan, dan etika dalam produksi pakaian.
Pemerintah-pemerintah Eropa, termasuk Australia, mulai mewajibkan tanggung jawab merek atas daur ulang pakaian mereka.
Namun, pertanyaannya bukan hanya tentang inovasi teknologi. Tantangan yang lebih besar adalah mengubah sistem industri tekstil global yang dibangun atas kecepatan, harga murah, dan tenaga kerja murah menjadi ekosistem yang adil dan lestari.
Mungkinkah dalam beberapa dekade ke depan, pakaian sehari-hari kita berasal dari sisa panen musim lalu? Jawabannya, secara teknis ya.
Tetapi transformasi itu akan tergantung pada lebih dari sekadar laboratorium. Ia butuh regulasi, kemauan industri, dan konsumen yang sadar perubahan besar sering dimulai dari hal yang terlihat sepele seperti sepotong jerami.
POPULAR
RELATED ARTICLES