Ketika Taman Menyala dan Jakarta Mencoba Ramah
Ruang publik di Jakarta harus dikembalikan kepada mereka yang berhak yakni warganya sendiri

Context.id, JAKARTA - Di sebuah malam yang lengang di Jakarta, seorang ayah dan putrinya membaca buku bersama di sudut Perpustakaan Jakarta, di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Waktu menunjukkan pukul 21.45. Biasanya, jam segini, ruang-ruang publik sudah lama terkunci rapat. Tapi malam itu tidak. Ruang masih terbuka, lampu tetap menyala, dan kota seolah memberi isyarat, “Selamat datang kembali di rumahmu.”
Pemerintah Daerah Jakarta tengah menggencarkan langkah-langkah optimalisasi ruang publik. Perpustakaan kini beroperasi hingga pukul 22.00 dan sejumlah taman kota dibuka sepanjang 24 jam.
Upaya ini bukan semata demi mengejar predikat “Kota Global”, tapi juga untuk mengembalikan ruang kepada mereka yang berhak, warganya sendiri.
Sejak awal 2025, Gubernur Jakarta Pramono Anung terang-terangan menyebut ambisinya menaikkan posisi Jakarta dalam Global City Index dari peringkat ke-74 menjadi 50 besar pada 2029.
Salah satu indikator yang dilirik aksesibilitas ruang publik. Di kota-kota besar dunia mulai dari Paris, Seoul hingga Melbourne, ruang publik tak pernah benar-benar tidur. Jakarta pun, menurutnya, harus mulai belajar dari itu.
Nirwono Joga, pengamat tata kota sekaligus staf khusus gubernur, menyebut Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta menempatkan status Kota Global sebagai mandat.
“Kalau di Paris taman bisa 24 jam, Jakarta juga harus mulai belajar melakukan hal yang sama,” katanya kepada Context, Jumat (13/6/2025).
Namun, di balik visi besar itu, pertanyaan publik bermunculan. Bagaimana soal keamanan, efisiensi anggaran, hingga siapa yang paling diuntungkan dari ruang-ruang yang kini tak pernah tertutup itu.
Untuk menjawabnya, Pemda Jakarta mulai memasang CCTV tambahan, lampu penerangan, hingga merekrut petugas keamanan malam. Tentu saja, itu berarti penambahan beban operasional.
Tapi Nirwono optimistis. Menurutnya, dengan APBD sebesar Rp90 triliun, ia yakin anggaran cukup. Kalaupun perlu tambahan, katanya, DPRD kemungkinan besar mendukung karena ruang publik dianggap dapat menciptakan efek sirkular ekonomi.
“Justru ini bisa menciptakan green jobs. Lapangan kerja yang ramah lingkungan. Aktivasi taman, perpustakaan bahkan museum bisa melahirkan kerja-kerja baru, terutama bagi anak muda,” katanya
Ruang publik tak lagi hanya taman untuk bersantai, tapi wadah bagi kerja kreatif seperti pertunjukan seni, komunitas membaca, pelatihan terbuka, hingga bisnis mikro yang terhubung dengan ritme kota.
Bagi sebagian warga, ini bukan hanya lapangan kerja melainkan juga ruang tumbuh, tempat identitas mereka bisa berakar.
Kebijakan ini pun seperti mengoreksi arah sejarah kota yang pernah mengorbankan ruang publik demi beton, jalan tol, dan mal.
Kini, jalan kembali dibuka bagi mereka yang selama ini tersingkir. Ruang menjadi tempat tinggal kembali, bukan sekadar tempat lewat.
Maka, ketika malam tiba dan taman kota masih penuh tawa, ketika perpustakaan tetap menyala hingga larut, kita sedang menyaksikan sesuatu yang pelan-pelan berubah.
Harapannya Jakarta bukan sekadar mengejar ranking global, tapi kota yang perlahan belajar mencintai dirinya sendiri dengan membuka pintu bagi warganya untuk pulang.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Ketika Taman Menyala dan Jakarta Mencoba Ramah
Ruang publik di Jakarta harus dikembalikan kepada mereka yang berhak yakni warganya sendiri

Context.id, JAKARTA - Di sebuah malam yang lengang di Jakarta, seorang ayah dan putrinya membaca buku bersama di sudut Perpustakaan Jakarta, di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Waktu menunjukkan pukul 21.45. Biasanya, jam segini, ruang-ruang publik sudah lama terkunci rapat. Tapi malam itu tidak. Ruang masih terbuka, lampu tetap menyala, dan kota seolah memberi isyarat, “Selamat datang kembali di rumahmu.”
Pemerintah Daerah Jakarta tengah menggencarkan langkah-langkah optimalisasi ruang publik. Perpustakaan kini beroperasi hingga pukul 22.00 dan sejumlah taman kota dibuka sepanjang 24 jam.
Upaya ini bukan semata demi mengejar predikat “Kota Global”, tapi juga untuk mengembalikan ruang kepada mereka yang berhak, warganya sendiri.
Sejak awal 2025, Gubernur Jakarta Pramono Anung terang-terangan menyebut ambisinya menaikkan posisi Jakarta dalam Global City Index dari peringkat ke-74 menjadi 50 besar pada 2029.
Salah satu indikator yang dilirik aksesibilitas ruang publik. Di kota-kota besar dunia mulai dari Paris, Seoul hingga Melbourne, ruang publik tak pernah benar-benar tidur. Jakarta pun, menurutnya, harus mulai belajar dari itu.
Nirwono Joga, pengamat tata kota sekaligus staf khusus gubernur, menyebut Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta menempatkan status Kota Global sebagai mandat.
“Kalau di Paris taman bisa 24 jam, Jakarta juga harus mulai belajar melakukan hal yang sama,” katanya kepada Context, Jumat (13/6/2025).
Namun, di balik visi besar itu, pertanyaan publik bermunculan. Bagaimana soal keamanan, efisiensi anggaran, hingga siapa yang paling diuntungkan dari ruang-ruang yang kini tak pernah tertutup itu.
Untuk menjawabnya, Pemda Jakarta mulai memasang CCTV tambahan, lampu penerangan, hingga merekrut petugas keamanan malam. Tentu saja, itu berarti penambahan beban operasional.
Tapi Nirwono optimistis. Menurutnya, dengan APBD sebesar Rp90 triliun, ia yakin anggaran cukup. Kalaupun perlu tambahan, katanya, DPRD kemungkinan besar mendukung karena ruang publik dianggap dapat menciptakan efek sirkular ekonomi.
“Justru ini bisa menciptakan green jobs. Lapangan kerja yang ramah lingkungan. Aktivasi taman, perpustakaan bahkan museum bisa melahirkan kerja-kerja baru, terutama bagi anak muda,” katanya
Ruang publik tak lagi hanya taman untuk bersantai, tapi wadah bagi kerja kreatif seperti pertunjukan seni, komunitas membaca, pelatihan terbuka, hingga bisnis mikro yang terhubung dengan ritme kota.
Bagi sebagian warga, ini bukan hanya lapangan kerja melainkan juga ruang tumbuh, tempat identitas mereka bisa berakar.
Kebijakan ini pun seperti mengoreksi arah sejarah kota yang pernah mengorbankan ruang publik demi beton, jalan tol, dan mal.
Kini, jalan kembali dibuka bagi mereka yang selama ini tersingkir. Ruang menjadi tempat tinggal kembali, bukan sekadar tempat lewat.
Maka, ketika malam tiba dan taman kota masih penuh tawa, ketika perpustakaan tetap menyala hingga larut, kita sedang menyaksikan sesuatu yang pelan-pelan berubah.
Harapannya Jakarta bukan sekadar mengejar ranking global, tapi kota yang perlahan belajar mencintai dirinya sendiri dengan membuka pintu bagi warganya untuk pulang.
POPULAR
RELATED ARTICLES