Benarkah Mozilla Firefox Mulai Ditinggalkan?
Firefox dianggap tertinggal dalam pengelolaan tab dan perlindungan privasi menjadi setengah hati rnrn

Context.id, JAKARTA - Selama dua dekade, Firefox banyak digunakan oleh peselancar dunia maya. Peramban ini dianggap selaras dengan nilai-nilai sumber terbuka, efisiensi, dan keberanian melawan dominasi korporasi raksasa seperti Google dan Microsoft.
Di Linux, Firefox bukan hanya alat, tapi simbol. Namun, sebuah simbol, bila dibiarkan membusuk dari dalam perlahan kehilangan maknanya. Mengapa bisa begitu?
Mozilla, lembaga yang menghidupi Firefox, dahulu dikenal sebagai pejuang hak digital. Namun belakangan dianggap menyerupai perusahaan teknologi konvensional yang kesulitan membuktikan relevansi.
Ketika CEO-nya, Mitchell Baker, menerima bonus lebih dari US$ 6,9 juta di tengah stagnasi pendapatan dan pemutusan hubungan kerja massal, seperti yang dilaporkan ZdNet, banyak yang merasa kesal.
Bagi para idealis di dunia internet, ini bukan semata tentang angka melainkan tentang arah. Mozilla, yang dulu berpihak pada komunitas, kini terasa menjauh.
Ia pernah menempatkan Linux sebagai prioritas. Kini, ia seolah mengekor tren, bukan lagi menciptakannya. Firefox, yang dahulu ringan dan cepat, sekarang lamban, bermasalah dan secara fungsional mulai ditinggalkan.
Kecepatan bukan segalanya, tapi saat ini, browser wars tak lagi soal estetika atau prinsip ideologis, tapi soal kenyamanan dan efisiensi.
Chrome terus unggul dalam kecepatan, Edge berkembang menjadi pemain serius dan Opera diam-diam menjadi peramban yang paling konsisten, menurut penilaian ZdNet.
Firefox? Ia tertinggal dalam pengelolaan tab dan perlindungan privasi menjadi setengah hati. Ironis, karena ini datang dari perusahaan yang pernah menjadi bintang harapan.
Mozilla tidak hanya kehilangan performa teknis, tapi juga arah ideologis. Ketika perusahaan sumber terbuka tak lagi mendengar komunitasnya, apa yang tersisa?
Ketika fitur-fitur dipangkas diam-diam dan prioritas ditentukan oleh strategi korporat, bukan kebutuhan pengguna, kita berhadapan bukan dengan kegagalan teknologi tetapi kegagalan visi.
Banyak pengguna Firefox yang mulai berpaling ke Opera. Bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia stabil dan bergerak maju.
Opera menawarkan pengalaman pengelolaan tab terbaik, desain yang elegan dan pengembangan fitur yang tidak dilandasi ego, tetapi kebutuhan.
Pentingnya lagi, bagi para aktivis digital Opera tidak dipimpin oleh CEO yang menganggap peramban adalah sarana mendulang bonus.
Ya kini Firefox dianggap peramban yang tidak lagi pro komunitas. Dalam dunia digital yang kian kacau dan dipenuhi aktor besar yang serakah, kita membutuhkan lebih dari sekadar nostalgia.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Benarkah Mozilla Firefox Mulai Ditinggalkan?
Firefox dianggap tertinggal dalam pengelolaan tab dan perlindungan privasi menjadi setengah hati rnrn

Context.id, JAKARTA - Selama dua dekade, Firefox banyak digunakan oleh peselancar dunia maya. Peramban ini dianggap selaras dengan nilai-nilai sumber terbuka, efisiensi, dan keberanian melawan dominasi korporasi raksasa seperti Google dan Microsoft.
Di Linux, Firefox bukan hanya alat, tapi simbol. Namun, sebuah simbol, bila dibiarkan membusuk dari dalam perlahan kehilangan maknanya. Mengapa bisa begitu?
Mozilla, lembaga yang menghidupi Firefox, dahulu dikenal sebagai pejuang hak digital. Namun belakangan dianggap menyerupai perusahaan teknologi konvensional yang kesulitan membuktikan relevansi.
Ketika CEO-nya, Mitchell Baker, menerima bonus lebih dari US$ 6,9 juta di tengah stagnasi pendapatan dan pemutusan hubungan kerja massal, seperti yang dilaporkan ZdNet, banyak yang merasa kesal.
Bagi para idealis di dunia internet, ini bukan semata tentang angka melainkan tentang arah. Mozilla, yang dulu berpihak pada komunitas, kini terasa menjauh.
Ia pernah menempatkan Linux sebagai prioritas. Kini, ia seolah mengekor tren, bukan lagi menciptakannya. Firefox, yang dahulu ringan dan cepat, sekarang lamban, bermasalah dan secara fungsional mulai ditinggalkan.
Kecepatan bukan segalanya, tapi saat ini, browser wars tak lagi soal estetika atau prinsip ideologis, tapi soal kenyamanan dan efisiensi.
Chrome terus unggul dalam kecepatan, Edge berkembang menjadi pemain serius dan Opera diam-diam menjadi peramban yang paling konsisten, menurut penilaian ZdNet.
Firefox? Ia tertinggal dalam pengelolaan tab dan perlindungan privasi menjadi setengah hati. Ironis, karena ini datang dari perusahaan yang pernah menjadi bintang harapan.
Mozilla tidak hanya kehilangan performa teknis, tapi juga arah ideologis. Ketika perusahaan sumber terbuka tak lagi mendengar komunitasnya, apa yang tersisa?
Ketika fitur-fitur dipangkas diam-diam dan prioritas ditentukan oleh strategi korporat, bukan kebutuhan pengguna, kita berhadapan bukan dengan kegagalan teknologi tetapi kegagalan visi.
Banyak pengguna Firefox yang mulai berpaling ke Opera. Bukan karena ia sempurna, tetapi karena ia stabil dan bergerak maju.
Opera menawarkan pengalaman pengelolaan tab terbaik, desain yang elegan dan pengembangan fitur yang tidak dilandasi ego, tetapi kebutuhan.
Pentingnya lagi, bagi para aktivis digital Opera tidak dipimpin oleh CEO yang menganggap peramban adalah sarana mendulang bonus.
Ya kini Firefox dianggap peramban yang tidak lagi pro komunitas. Dalam dunia digital yang kian kacau dan dipenuhi aktor besar yang serakah, kita membutuhkan lebih dari sekadar nostalgia.
POPULAR
RELATED ARTICLES