Industri Otomotif Indonesia, Dulu Menantang Thailand Kini Terancam Malaysia
Kala mimpi besar menjadi raksasa otomotif Asean tersendat oleh kantong rakyat yang makin tipis
Context.id, JAKARTA - Sekitar satu dekade lalu, industri otomotif Indonesia menatap utara dengan percaya diri. Thailand, sang raja mobil Asia Tenggara, terasa begitu dekat untuk dikejar.
Saat produksi menembus 1,4 juta unit dan penjualan domestik di atas 1 juta, Indonesia menyamai ritme kompetitornya. Para analis membicarakan Indonesia moment dengan nada penuh antisipasi.
Kini, alih-alih menyalip Thailand, Indonesia justru terancam disusul oleh Malaysia. Apa yang salah?
Penurunan tajam dalam penjualan mobil dalam dua tahun terakhir adalah sinyal pertama. Dari puncaknya di 2022, lebih dari 1 juta unit terjual, pasar mulai melemah.
Tahun 2024, hanya 865 ribu unit yang terjual. Produksi pun ikut turun drastis dari 1,47 juta unit pada 2022 menjadi hanya 885 ribu unit tahun ini.
Tak ada pandemi. Tak ada resesi global. Tapi pabrik-pabrik seolah kehilangan momentum. Yang lebih mengkhawatirkan, Malaysia kini hanya terpaut sekitar 160 ribu unit dari Indonesia.
Thailand memang masih jauh di depan dengan lebih dari 1,3 juta unit, tetapi bayang-bayang Malaysia yang terus mendekat membuat posisi Indonesia genting.
Dalam data produksi kendaraan Asean, hanya Indonesia yang mencatat penurunan tajam dalam dua tahun terakhir.
Padahal secara ekonomi makro, Indonesia masih relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi berkisar 5 persen, inflasi terkendali.
Tapi ada satu variabel kunci yang tak bisa diabaikan, soal daya beli. Era Presiden SBY mencatat lonjakan pendapatan per kapita dari US$1.181 menjadi US$3.531.
Lonjakan ini menciptakan kelas menengah baru dan ledakan konsumsi otomotif. Tapi di era Presiden Jokowi, laju kenaikan itu melambat.
Pendapatan tak naik secepat sebelumnya. Sementara harga mobil, bahan bakar, dan kredit kendaraan cenderung naik. Di sisi lain, fondasi industri juga rapuh. Banyak sektor manufaktur padat karya mengalami stagnasi, bahkan kontraksi.
PHK massal, relokasi pabrik, dan perlambatan investasi menjadi berita rutin. Ketika sektor riil lesu, permintaan mobil sebagai barang konsumsi besar tentu ikut terpukul.
Ironisnya, saat negara-negara tetangga mulai mengonsolidasikan kekuatan mereka di sektor kendaraan listrik dan memperkuat basis ekspor, Indonesia justru sibuk memadamkan api.
Pemerintah masih kelimpungan menstabilkan konsumsi, menahan PHK, dan membendung ketimpangan daya beli. Visi menjadi hub otomotif Asia Tenggara seperti yang pernah dicanangkan perlahan terdengar seperti hanya wacana.
Kini, pertanyaannya bukan lagi kapan Indonesia menyusul Thailand, tapi bagaimana caranya agar tak disusul Malaysia.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Industri Otomotif Indonesia, Dulu Menantang Thailand Kini Terancam Malaysia
Kala mimpi besar menjadi raksasa otomotif Asean tersendat oleh kantong rakyat yang makin tipis
Context.id, JAKARTA - Sekitar satu dekade lalu, industri otomotif Indonesia menatap utara dengan percaya diri. Thailand, sang raja mobil Asia Tenggara, terasa begitu dekat untuk dikejar.
Saat produksi menembus 1,4 juta unit dan penjualan domestik di atas 1 juta, Indonesia menyamai ritme kompetitornya. Para analis membicarakan Indonesia moment dengan nada penuh antisipasi.
Kini, alih-alih menyalip Thailand, Indonesia justru terancam disusul oleh Malaysia. Apa yang salah?
Penurunan tajam dalam penjualan mobil dalam dua tahun terakhir adalah sinyal pertama. Dari puncaknya di 2022, lebih dari 1 juta unit terjual, pasar mulai melemah.
Tahun 2024, hanya 865 ribu unit yang terjual. Produksi pun ikut turun drastis dari 1,47 juta unit pada 2022 menjadi hanya 885 ribu unit tahun ini.
Tak ada pandemi. Tak ada resesi global. Tapi pabrik-pabrik seolah kehilangan momentum. Yang lebih mengkhawatirkan, Malaysia kini hanya terpaut sekitar 160 ribu unit dari Indonesia.
Thailand memang masih jauh di depan dengan lebih dari 1,3 juta unit, tetapi bayang-bayang Malaysia yang terus mendekat membuat posisi Indonesia genting.
Dalam data produksi kendaraan Asean, hanya Indonesia yang mencatat penurunan tajam dalam dua tahun terakhir.
Padahal secara ekonomi makro, Indonesia masih relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi berkisar 5 persen, inflasi terkendali.
Tapi ada satu variabel kunci yang tak bisa diabaikan, soal daya beli. Era Presiden SBY mencatat lonjakan pendapatan per kapita dari US$1.181 menjadi US$3.531.
Lonjakan ini menciptakan kelas menengah baru dan ledakan konsumsi otomotif. Tapi di era Presiden Jokowi, laju kenaikan itu melambat.
Pendapatan tak naik secepat sebelumnya. Sementara harga mobil, bahan bakar, dan kredit kendaraan cenderung naik. Di sisi lain, fondasi industri juga rapuh. Banyak sektor manufaktur padat karya mengalami stagnasi, bahkan kontraksi.
PHK massal, relokasi pabrik, dan perlambatan investasi menjadi berita rutin. Ketika sektor riil lesu, permintaan mobil sebagai barang konsumsi besar tentu ikut terpukul.
Ironisnya, saat negara-negara tetangga mulai mengonsolidasikan kekuatan mereka di sektor kendaraan listrik dan memperkuat basis ekspor, Indonesia justru sibuk memadamkan api.
Pemerintah masih kelimpungan menstabilkan konsumsi, menahan PHK, dan membendung ketimpangan daya beli. Visi menjadi hub otomotif Asia Tenggara seperti yang pernah dicanangkan perlahan terdengar seperti hanya wacana.
Kini, pertanyaannya bukan lagi kapan Indonesia menyusul Thailand, tapi bagaimana caranya agar tak disusul Malaysia.
POPULAR
RELATED ARTICLES