Ketika Lampu Padam, Mengapa Blackout Masih Membayangi Indonesia?
Blackout di Indonesia bukanlah kejutan, melainkan semacam ritual yang kembali menghantui setiap dekade

Context.id, JAKARTA - Di negara dengan mimpi besar industrialisasi dan konektivitas digital, padamnya listrik secara massal seharusnya tinggal cerita masa lalu. Tapi seperti yang kembali terjadi di Bali pada Mei 2025, kegelapan masih sering datang tiba-tiba.
Pemadaman listrik hampir total di Pulau Dewata ini hanya berlangsung beberapa jam. Tapi insiden ini membangkitkan kembali kenangan nasional tentang rapuhnya sistem kelistrikan Indonesia. Kabel laut Jawa-Bali, yang mestinya menjadi urat nadi transmisi, kembali menjadi titik lemah. Kali ini, gangguan berasal dari jalur 150 kV di Jawa Timur.
Blackout di Indonesia bukanlah kejutan, melainkan semacam ritual yang kembali menghantui setiap dekade. Pada 18 Agustus 2005, sebagian besar Pulau Jawa dan Bali lumpuh total. Sekitar 100 juta orang hampir setengah populasi negara saat itu mengalami pemadaman.
Lalu-lintas berhenti, sinyal ponsel lenyap dan generasi milenial terpaksa berbincang tatap muka.
Bahkan sebelum itu, pada April 1997, sistem transmisi 500 kV yang menghubungkan PLTU Suralaya di Jawa Barat mengalami gangguan. Dampaknya menyebar luas dan pada 2019, wilayah Jakarta dan sekitarnya kembali gelap akibat putusnya jalur transmisi Ungaran-Pemalang.
Penyebabnya hampir selalu sama: gangguan pada saluran tegangan tinggi, kelebihan beban, atau kegagalan pembangkit. Di negeri kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menjaga stabilitas frekuensi dan pasokan listrik tidak pernah semudah membalikkan saklar.
Di Indonesia, masalahnya berlapis. Investasi besar-besaran pada pembangkit dalam sepuluh tahun terakhir tidak selalu diimbangi dengan penguatan jaringan transmisi. Distribusi listrik dari surplus di Jawa ke kekurangan di daerah timur masih bergantung pada kabel laut yang rawan gangguan, dan backup sistem yang belum merata.
Tapi Indonesia tidak sendirian. Eropa pun punya rekam jejak blackout yang panjang. Pemadaman massal terbaru di Spanyol dan Portugal pada April 2025, yang menjalar hingga Prancis selatan, menyoroti betapa rapuhnya sistem listrik bahkan di benua maju.
Gangguan interkoneksi lintas negara, penurunan frekuensi, cuaca ekstrem, dan kemungkinan serangan siber menjadi bagian dari teka-teki.
Blackout, dalam konteks global, bukan sekadar kegagalan teknis. Ia cerminan dari kompleksitas infrastruktur, tuntutan energi terbarukan yang fluktuatif, dan ketergantungan pada sistem transmisi yang semakin rentan.
Ironisnya, sebagian blackout justru terjadi karena sistem proteksi bekerja terlalu baik. Ketika gangguan kecil muncul, sistem otomatis memutuskan aliran listrik untuk mencegah kerusakan lebih besar seperti tubuh yang pingsan untuk melindungi otak. Hasilnya ya gelap total.
Di era AI, data center, dan mobil listrik, listrik menjadi oksigen bagi ekonomi. Satu jam tanpa listrik bisa berarti kerugian jutaan dolar. Maka, blackout bukan lagi hanya soal kabel dan gardu, tapi soal kredibilitas negara sebagai rumah investasi.
RELATED ARTICLES
Ketika Lampu Padam, Mengapa Blackout Masih Membayangi Indonesia?
Blackout di Indonesia bukanlah kejutan, melainkan semacam ritual yang kembali menghantui setiap dekade

Context.id, JAKARTA - Di negara dengan mimpi besar industrialisasi dan konektivitas digital, padamnya listrik secara massal seharusnya tinggal cerita masa lalu. Tapi seperti yang kembali terjadi di Bali pada Mei 2025, kegelapan masih sering datang tiba-tiba.
Pemadaman listrik hampir total di Pulau Dewata ini hanya berlangsung beberapa jam. Tapi insiden ini membangkitkan kembali kenangan nasional tentang rapuhnya sistem kelistrikan Indonesia. Kabel laut Jawa-Bali, yang mestinya menjadi urat nadi transmisi, kembali menjadi titik lemah. Kali ini, gangguan berasal dari jalur 150 kV di Jawa Timur.
Blackout di Indonesia bukanlah kejutan, melainkan semacam ritual yang kembali menghantui setiap dekade. Pada 18 Agustus 2005, sebagian besar Pulau Jawa dan Bali lumpuh total. Sekitar 100 juta orang hampir setengah populasi negara saat itu mengalami pemadaman.
Lalu-lintas berhenti, sinyal ponsel lenyap dan generasi milenial terpaksa berbincang tatap muka.
Bahkan sebelum itu, pada April 1997, sistem transmisi 500 kV yang menghubungkan PLTU Suralaya di Jawa Barat mengalami gangguan. Dampaknya menyebar luas dan pada 2019, wilayah Jakarta dan sekitarnya kembali gelap akibat putusnya jalur transmisi Ungaran-Pemalang.
Penyebabnya hampir selalu sama: gangguan pada saluran tegangan tinggi, kelebihan beban, atau kegagalan pembangkit. Di negeri kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menjaga stabilitas frekuensi dan pasokan listrik tidak pernah semudah membalikkan saklar.
Di Indonesia, masalahnya berlapis. Investasi besar-besaran pada pembangkit dalam sepuluh tahun terakhir tidak selalu diimbangi dengan penguatan jaringan transmisi. Distribusi listrik dari surplus di Jawa ke kekurangan di daerah timur masih bergantung pada kabel laut yang rawan gangguan, dan backup sistem yang belum merata.
Tapi Indonesia tidak sendirian. Eropa pun punya rekam jejak blackout yang panjang. Pemadaman massal terbaru di Spanyol dan Portugal pada April 2025, yang menjalar hingga Prancis selatan, menyoroti betapa rapuhnya sistem listrik bahkan di benua maju.
Gangguan interkoneksi lintas negara, penurunan frekuensi, cuaca ekstrem, dan kemungkinan serangan siber menjadi bagian dari teka-teki.
Blackout, dalam konteks global, bukan sekadar kegagalan teknis. Ia cerminan dari kompleksitas infrastruktur, tuntutan energi terbarukan yang fluktuatif, dan ketergantungan pada sistem transmisi yang semakin rentan.
Ironisnya, sebagian blackout justru terjadi karena sistem proteksi bekerja terlalu baik. Ketika gangguan kecil muncul, sistem otomatis memutuskan aliran listrik untuk mencegah kerusakan lebih besar seperti tubuh yang pingsan untuk melindungi otak. Hasilnya ya gelap total.
Di era AI, data center, dan mobil listrik, listrik menjadi oksigen bagi ekonomi. Satu jam tanpa listrik bisa berarti kerugian jutaan dolar. Maka, blackout bukan lagi hanya soal kabel dan gardu, tapi soal kredibilitas negara sebagai rumah investasi.
POPULAR
RELATED ARTICLES