Salib: Dari Alat Hukuman Brutal Menjadi Simbol Iman
Salib tidak lagi dibaca sebagai instrumen hukuman, melainkan lambang kasih ilahi.
Context.id, JAKARTA - Paskah kemarin, salib berdiri tegak sebagai simbol universal agama Kristen. Ia menjulang di puncak gereja, digantung di leher umat, dan dijadikan lambang kasih pengorbanan. Namun, sejarah panjangnya jauh dari sakral. Asalnya bukan dari altar, melainkan dari tiang-tiang eksekusi.
Jika waktu ditarik mundur, jauh sebelum Kekristenan lahir, salib sudah menjadi bagian dari praktik hukuman mati. Sejumlah peradaban kuno dari Babilonia, Asyur, hingga Persia menggunakan metode ini sebagai bentuk penghukuman ekstrem, biasanya bagi para pemberontak atau budak yang dianggap tak layak mati secara “terhormat”.
Menurut Louise Cilliers, peneliti klasik dari Afrika Selatan, penyaliban adalah metode hukuman yang paling brutal. Korban tidak langsung mati; mereka dibiarkan tergantung berjam-jam bahkan berhari-hari, tubuhnya terpapar panas dan dingin ekstrem, hingga perlahan menyerah pada sesak napas atau infeksi.
Diperkirakan, teknik ini mulai digunakan bangsa Asyur pada milenium kedua sebelum masehi. Dari sana, ia menyebar ke Babilonia, Persia, lalu ke dunia Mediterania lewat tangan Alexander Agung, penakluk Makedonia yang membawa banyak praktik Timur ke Barat.
Ketika Kekaisaran Romawi menguasai kawasan Laut Tengah, mereka bukan hanya mewarisi metode ini, tetapi menyempurnakannya.
Dalam perang Punik melawan Kartago, penyaliban menjadi alat represi dan teror. Bangsa Romawi memanfaatkannya selama lebih dari lima abad, mengukir sejarah kelam yang puncaknya terjadi pada abad pertama Masehi: penyaliban Yesus dari Nazaret.
Peristiwa ini, yang semula hanya satu dari ribuan eksekusi Romawi, perlahan mengubah dunia. Yesus tidak hanya dikenang sebagai korban penyaliban, tetapi sebagai juru selamat. Dari tragedi, lahirlah teologi. Salib, lambang kekejaman, dipulihkan menjadi simbol penyelamatan.
Transformasi makna ini berlangsung perlahan. Ketika Kaisar Konstantinus memeluk agama Kristen pada awal abad keempat, ia menghentikan praktik penyaliban dan justru menjadikan salib sebagai lambang kekaisaran Kristen yang baru lahir. Dalam satu generasi, salib berubah dari alat terkutuk menjadi ikon suci.
Kini, salib tidak lagi dibaca sebagai instrumen hukuman. Umat Kristen menafsirkannya sebagai lambang kasih ilahi. Paus Benediktus pun pernah berkata, “glory is in the cross” sebuah kalimat yang mengafirmasi bagaimana sejarah bisa dibalikkan oleh makna yang baru.
Ironisnya, mungkin, adalah ini: bahwa simbol kasih terbesar dalam satu agama, dulunya adalah perangkat kematian yang paling keji. Tapi justru dari ironi itulah muncul kekuatan salib. Ia tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari penderitaan. Mungkin justru karena itu, ia begitu kuat.
RELATED ARTICLES
Salib: Dari Alat Hukuman Brutal Menjadi Simbol Iman
Salib tidak lagi dibaca sebagai instrumen hukuman, melainkan lambang kasih ilahi.
Context.id, JAKARTA - Paskah kemarin, salib berdiri tegak sebagai simbol universal agama Kristen. Ia menjulang di puncak gereja, digantung di leher umat, dan dijadikan lambang kasih pengorbanan. Namun, sejarah panjangnya jauh dari sakral. Asalnya bukan dari altar, melainkan dari tiang-tiang eksekusi.
Jika waktu ditarik mundur, jauh sebelum Kekristenan lahir, salib sudah menjadi bagian dari praktik hukuman mati. Sejumlah peradaban kuno dari Babilonia, Asyur, hingga Persia menggunakan metode ini sebagai bentuk penghukuman ekstrem, biasanya bagi para pemberontak atau budak yang dianggap tak layak mati secara “terhormat”.
Menurut Louise Cilliers, peneliti klasik dari Afrika Selatan, penyaliban adalah metode hukuman yang paling brutal. Korban tidak langsung mati; mereka dibiarkan tergantung berjam-jam bahkan berhari-hari, tubuhnya terpapar panas dan dingin ekstrem, hingga perlahan menyerah pada sesak napas atau infeksi.
Diperkirakan, teknik ini mulai digunakan bangsa Asyur pada milenium kedua sebelum masehi. Dari sana, ia menyebar ke Babilonia, Persia, lalu ke dunia Mediterania lewat tangan Alexander Agung, penakluk Makedonia yang membawa banyak praktik Timur ke Barat.
Ketika Kekaisaran Romawi menguasai kawasan Laut Tengah, mereka bukan hanya mewarisi metode ini, tetapi menyempurnakannya.
Dalam perang Punik melawan Kartago, penyaliban menjadi alat represi dan teror. Bangsa Romawi memanfaatkannya selama lebih dari lima abad, mengukir sejarah kelam yang puncaknya terjadi pada abad pertama Masehi: penyaliban Yesus dari Nazaret.
Peristiwa ini, yang semula hanya satu dari ribuan eksekusi Romawi, perlahan mengubah dunia. Yesus tidak hanya dikenang sebagai korban penyaliban, tetapi sebagai juru selamat. Dari tragedi, lahirlah teologi. Salib, lambang kekejaman, dipulihkan menjadi simbol penyelamatan.
Transformasi makna ini berlangsung perlahan. Ketika Kaisar Konstantinus memeluk agama Kristen pada awal abad keempat, ia menghentikan praktik penyaliban dan justru menjadikan salib sebagai lambang kekaisaran Kristen yang baru lahir. Dalam satu generasi, salib berubah dari alat terkutuk menjadi ikon suci.
Kini, salib tidak lagi dibaca sebagai instrumen hukuman. Umat Kristen menafsirkannya sebagai lambang kasih ilahi. Paus Benediktus pun pernah berkata, “glory is in the cross” sebuah kalimat yang mengafirmasi bagaimana sejarah bisa dibalikkan oleh makna yang baru.
Ironisnya, mungkin, adalah ini: bahwa simbol kasih terbesar dalam satu agama, dulunya adalah perangkat kematian yang paling keji. Tapi justru dari ironi itulah muncul kekuatan salib. Ia tidak lahir dari kesempurnaan, melainkan dari penderitaan. Mungkin justru karena itu, ia begitu kuat.
POPULAR
RELATED ARTICLES