Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh
Sudah dua dekade berlalu, namun tsunami masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat pesisir. Perlu ada kesiapan menghadapinya

Context.id, JAKARTA - Pada 26 Desember 2004, dunia menyaksikan salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah modern.
Gempa bumi berkekuatan 9,1-9,3 skala Richter mengguncang Samudra Hindia, memicu gelombang tsunami setinggi 30 meter yang meluluhlantakkan kawasan pesisir, termasuk Aceh, Indonesia.
Dalam hitungan menit, lebih dari 227.000 jiwa dari 14 negara kehilangan nyawa.
Sudah dua dekade berlalu, namun tsunami masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat pesisir.
David McGovern, pakar tsunami dari London South Bank University, menegaskan tsunami bukanlah fenomena langka.
“Rata-rata ada dua tsunami per tahun yang menyebabkan kerusakan atau kematian,” katanya seperti dilansir dari Al Jazeera.
Kemajuan teknologi telah menghadirkan sistem peringatan dini dan penelitian lebih mendalam tentang mekanisme tsunami.
Proyek terbaru, Tsunami Twin Wave, dirancang untuk memahami dampak gelombang tsunami saat datang dan kembali ke laut.
Pelajaran dari masa lalu
Phil Cummins, seorang seismolog yang memprediksi risiko tsunami di Samudra Hindia pada 2003, menyoroti potensi bahaya di wilayah Sumatra.
“Padang masih menjadi area dengan risiko tertinggi,” ujarnya, seraya mengingatkan bencana besar bisa terjadi kapan saja tanpa peringatan.
Rina Suryani Oktari, akademisi dari Universitas Syiah Kuala, mencatat harga tanah murah menarik orang kembali ke kawasan rawan tsunami di Aceh.
“Populasi di daerah pesisir kini lebih tinggi dibanding sebelum tsunami 2004,” katanya.
Kearifan lokal menjadi bagian penting dalam mitigasi bencana.
Muzayin Nazaruddin dari Universitas Islam Indonesia menjelaskan tradisi lisan dan cerita rakyat Aceh membantu masyarakat memahami tanda-tanda alam sebelum bencana terjadi.
Dia juga menekankan pentingnya integrasi antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern untuk meminimalkan kerugian di masa depan.
Agama juga memainkan peran dalam pemulihan pascabencana.
Narasi para pemuka agama di Aceh menekankan bencana adalah ujian dari Tuhan, memberikan kekuatan spiritual bagi masyarakat untuk bangkit.
Meski teknologi telah berkembang, kesadaran dan kesiapan masyarakat tetap menjadi kunci. Tsunami 2004 adalah peringatan tragis tentang kekuatan alam dan kerentanannya manusia.
Memperingati 20 tahun tragedi ini adalah kesempatan untuk mengenang mereka yang telah tiada, sekaligus memperbarui komitmen untuk meningkatkan kesiapan menghadapi ancaman serupa di masa depan.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh
Sudah dua dekade berlalu, namun tsunami masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat pesisir. Perlu ada kesiapan menghadapinya

Context.id, JAKARTA - Pada 26 Desember 2004, dunia menyaksikan salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah modern.
Gempa bumi berkekuatan 9,1-9,3 skala Richter mengguncang Samudra Hindia, memicu gelombang tsunami setinggi 30 meter yang meluluhlantakkan kawasan pesisir, termasuk Aceh, Indonesia.
Dalam hitungan menit, lebih dari 227.000 jiwa dari 14 negara kehilangan nyawa.
Sudah dua dekade berlalu, namun tsunami masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat pesisir.
David McGovern, pakar tsunami dari London South Bank University, menegaskan tsunami bukanlah fenomena langka.
“Rata-rata ada dua tsunami per tahun yang menyebabkan kerusakan atau kematian,” katanya seperti dilansir dari Al Jazeera.
Kemajuan teknologi telah menghadirkan sistem peringatan dini dan penelitian lebih mendalam tentang mekanisme tsunami.
Proyek terbaru, Tsunami Twin Wave, dirancang untuk memahami dampak gelombang tsunami saat datang dan kembali ke laut.
Pelajaran dari masa lalu
Phil Cummins, seorang seismolog yang memprediksi risiko tsunami di Samudra Hindia pada 2003, menyoroti potensi bahaya di wilayah Sumatra.
“Padang masih menjadi area dengan risiko tertinggi,” ujarnya, seraya mengingatkan bencana besar bisa terjadi kapan saja tanpa peringatan.
Rina Suryani Oktari, akademisi dari Universitas Syiah Kuala, mencatat harga tanah murah menarik orang kembali ke kawasan rawan tsunami di Aceh.
“Populasi di daerah pesisir kini lebih tinggi dibanding sebelum tsunami 2004,” katanya.
Kearifan lokal menjadi bagian penting dalam mitigasi bencana.
Muzayin Nazaruddin dari Universitas Islam Indonesia menjelaskan tradisi lisan dan cerita rakyat Aceh membantu masyarakat memahami tanda-tanda alam sebelum bencana terjadi.
Dia juga menekankan pentingnya integrasi antara pengetahuan tradisional dan teknologi modern untuk meminimalkan kerugian di masa depan.
Agama juga memainkan peran dalam pemulihan pascabencana.
Narasi para pemuka agama di Aceh menekankan bencana adalah ujian dari Tuhan, memberikan kekuatan spiritual bagi masyarakat untuk bangkit.
Meski teknologi telah berkembang, kesadaran dan kesiapan masyarakat tetap menjadi kunci. Tsunami 2004 adalah peringatan tragis tentang kekuatan alam dan kerentanannya manusia.
Memperingati 20 tahun tragedi ini adalah kesempatan untuk mengenang mereka yang telah tiada, sekaligus memperbarui komitmen untuk meningkatkan kesiapan menghadapi ancaman serupa di masa depan.
POPULAR
RELATED ARTICLES