Share

Home Stories

Stories 09 Juli 2025

Perumusan Gagasan Sejarah: Pemerintah Sekarang Vs 1957, Apa Bedanya?

Pemerintah kembali menulis sejarah Indonesia, tapi tanpa riuh debat publik seperti era 1957. Proyek senyap miliaran rupiah dianggap jadi alat legitimasi kekuasaan semata

Sejarawan dan akademisi Universitas Nasional, Andi Achdian/Context

Context.id, JAKARTA - Wacana tentang bagaimana sejarah Indonesia seharusnya dituliskan bukanlah hal baru. Jauh sebelum era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, para tokoh bangsa, sejarawan, dan akademisi telah memperdebatkan isu serupa sejak 1957.

Tahun itu, Seminar Sejarah Nasional I digelar sebagai upaya awal merumuskan sejarah Indonesia yang bersifat nasional. Dalam forum ini, istilah Indonesiasentris pertama kali muncul. Sebuah konsep yang kini kembali digunakan oleh Kementerian Kebudayaan.

Namun, apa yang membedakan perumusan sejarah di dua era yang terpaut hampir tujuh dekade ini?

Sejarawan dan akademisi Universitas Nasional Andi Achdian menilai proyek penulisan ulang sejarah yang dikerjakan di bawah pimpinan Menteri Kebudayaan Fadli Zon berjalan tertutup. Tidak ada perdebatan ilmiah yang terbuka sebagaimana terjadi pada 1957.

“Di tahun 1957, perdebatan masih sehat. Ada Yamin dan Soedjatmoko yang saling adu gagasan soal prinsip sejarah nasional. Sekarang? Sepi. Memang ada konferensi, tapi tidak ada debat. Semua seperti berjalan dalam mekanisme birokrasi, setuju tanpa diskusi,” ujarnya.

Memang, proyek yang menelan anggaran sekitar Rp9 miliar ini dikerjakan oleh sekitar 100 sejarawan. Namun, selain Prof. Susanto Zuhdi yang disebut sebagai ketua tim, daftar lengkap sejarawan yang terlibat tak pernah dipublikasikan.

Publik hanya diberi informasi penulisan ini akan mengusung tone positif dengan pendekatan Indonesiasentris

Andi menilai istilah Indonesiasentris yang kini digunakan memiliki makna berbeda dari tahun 1957. Dahulu, konsep ini hadir untuk merebut agensi masyarakat lokal dari dominasi kolonial. Kini, menurutnya, istilah itu digunakan untuk membingkai narasi kekuasaan.

“Pendekatannya lebih ke arah glorifikasi negara. Jadi ini bukan sekadar penulisan sejarah, tapi proyek ideologi untuk mematenkan klaim legitimasi kekuasaan,” tegas Andi.

Ia juga meragukan klaim penulisan ulang sejarah bertujuan agar generasi muda tak tersesat di tengah belantara informasi.

Pasalnya, kelompok muda justru menunjukkan penolakan terhadap proyek ini, seperti saat mereka masuk ke ruang rapat Komisi X DPR bersama Kementerian Kebudayaan, Rabu (2/7/2025).

“Saya tidak percaya dengan narasi anak muda tersesat dalam sejarah. Mereka belajar lewat media baru,” katanya.

Menurut Andi, istilah "buta sejarah" yang sering digunakan pemerintah keliru. Bukan karena generasi muda tak tertarik pada sejarah, melainkan karena mereka dibentuk oleh narasi sejarah resmi yang tidak mengajak berpikir kritis.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 09 Juli 2025

Perumusan Gagasan Sejarah: Pemerintah Sekarang Vs 1957, Apa Bedanya?

Pemerintah kembali menulis sejarah Indonesia, tapi tanpa riuh debat publik seperti era 1957. Proyek senyap miliaran rupiah dianggap jadi alat legitimasi kekuasaan semata

Sejarawan dan akademisi Universitas Nasional, Andi Achdian/Context

Context.id, JAKARTA - Wacana tentang bagaimana sejarah Indonesia seharusnya dituliskan bukanlah hal baru. Jauh sebelum era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, para tokoh bangsa, sejarawan, dan akademisi telah memperdebatkan isu serupa sejak 1957.

Tahun itu, Seminar Sejarah Nasional I digelar sebagai upaya awal merumuskan sejarah Indonesia yang bersifat nasional. Dalam forum ini, istilah Indonesiasentris pertama kali muncul. Sebuah konsep yang kini kembali digunakan oleh Kementerian Kebudayaan.

Namun, apa yang membedakan perumusan sejarah di dua era yang terpaut hampir tujuh dekade ini?

Sejarawan dan akademisi Universitas Nasional Andi Achdian menilai proyek penulisan ulang sejarah yang dikerjakan di bawah pimpinan Menteri Kebudayaan Fadli Zon berjalan tertutup. Tidak ada perdebatan ilmiah yang terbuka sebagaimana terjadi pada 1957.

“Di tahun 1957, perdebatan masih sehat. Ada Yamin dan Soedjatmoko yang saling adu gagasan soal prinsip sejarah nasional. Sekarang? Sepi. Memang ada konferensi, tapi tidak ada debat. Semua seperti berjalan dalam mekanisme birokrasi, setuju tanpa diskusi,” ujarnya.

Memang, proyek yang menelan anggaran sekitar Rp9 miliar ini dikerjakan oleh sekitar 100 sejarawan. Namun, selain Prof. Susanto Zuhdi yang disebut sebagai ketua tim, daftar lengkap sejarawan yang terlibat tak pernah dipublikasikan.

Publik hanya diberi informasi penulisan ini akan mengusung tone positif dengan pendekatan Indonesiasentris

Andi menilai istilah Indonesiasentris yang kini digunakan memiliki makna berbeda dari tahun 1957. Dahulu, konsep ini hadir untuk merebut agensi masyarakat lokal dari dominasi kolonial. Kini, menurutnya, istilah itu digunakan untuk membingkai narasi kekuasaan.

“Pendekatannya lebih ke arah glorifikasi negara. Jadi ini bukan sekadar penulisan sejarah, tapi proyek ideologi untuk mematenkan klaim legitimasi kekuasaan,” tegas Andi.

Ia juga meragukan klaim penulisan ulang sejarah bertujuan agar generasi muda tak tersesat di tengah belantara informasi.

Pasalnya, kelompok muda justru menunjukkan penolakan terhadap proyek ini, seperti saat mereka masuk ke ruang rapat Komisi X DPR bersama Kementerian Kebudayaan, Rabu (2/7/2025).

“Saya tidak percaya dengan narasi anak muda tersesat dalam sejarah. Mereka belajar lewat media baru,” katanya.

Menurut Andi, istilah "buta sejarah" yang sering digunakan pemerintah keliru. Bukan karena generasi muda tak tertarik pada sejarah, melainkan karena mereka dibentuk oleh narasi sejarah resmi yang tidak mengajak berpikir kritis.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025