Elon Musk dan xAI Melawan OpenAI, Siapa Jawaranya?
Ambisi Elon Musk dengan xAI dan peluncuran chatbot bernama Grok menjadi babak baru dalam peta persaingan teknologi AI dunia
Context.id, JAKARTA - Elon Musk dikenal sebagai pemikir, politikus dan taipan yang tak kenal lelah dalam membuat terobosan.
Musk dikenal punya ambisi yang luar biasa soal teknologi dan juga luar angkasa. Dia sudah membuat mobil listrik, membeli media sosial hingga punya perusahaan roket luar angkasa.
Semua itu tidak membuatnya puas. Saat ini dia masuk dalam dunia pemerintahan untuk membantu Donald Trump sebagai Presiden AS dan juga mulai melirik medan pertempuran baru: kecerdasan buatan alias AI.
Melalui xAI, Musk ingin merebut dominasi OpenAI, perusahaan yang ironisnya ikut dia dirikan sebelum meninggalkannya di tengah drama internal pada 2018.
BACA JUGA
Perjalanan xAI dimulai pada musim panas 2023. Dalam waktu singkat, Musk berhasil mengumpulkan talenta terbaik, membangun pusat data raksasa dalam hitungan bulan, dan menghidupkan chatbot bernama Grok.
Tapi apakah ini cukup untuk menggeser posisi OpenAI yang telah lebih dahulu memimpin dengan ChatGPT?
Ambisi dan dukungan dana besar
Investor tampaknya percaya pada mimpi besar Musk. Seperti dilansir WSJ, dalam waktu kurang dari setahun, xAI berhasil meraih US$11 miliar dan meningkatkan valuasinya menjadi $50 miliar.
Ini menjadikannya pengembang AI swasta paling berharga kedua di dunia. Namun, angka-angka ini belum mencerminkan kesuksesan finansial.
Pendapatan tahunan xAI diperkirakan hanya US$100 juta, jauh tertinggal dari OpenAI yang menargetkan hampir US$4 miliar tahun ini.
Sebagian besar pemasukan xAI berasal dari layanan-layanan internal di perusahaan ekosistem Musk seperti Tesla dan Starlink.
Namun, Musk berencana menjadikan xAI sebagai kekuatan mandiri dengan meluncurkan aplikasi konsumen dan alat pengembang berbayar yang siap bersaing langsung di pasar global.
Kecepatan adalah senjata utama Musk. Di Memphis, Tennessee, xAI membangun pusat data bernama Colossus dalam waktu hanya 122 hari.
Menggunakan 100.000 GPU Nvidia yang merupakan salah satu klaster AI terbesar di dunia, Colossus menjadi simbol ambisi xAI untuk memimpin teknologi generasi berikutnya.
“Tidak ada yang bergerak secepat ini di industri AI,” ujar Alex Bouzari, CEO DataDirect Networks, salah satu mitra pembangunan Colossus seperti dikutip dari WSJ, Senin (2/12)
Namun, pendekatan ini bukan tanpa konsekuensi. Warga lokal Memphis memprotes polusi dari generator gas yang digunakan untuk memberi daya pada pusat data itu, sementara para pesaingnya terus meningkatkan tekanan di pasar.
Terlepas dari klaimnya yang ingin membangun AI “lebih netral” melalui xAI, jelas Musk masih memiliki urusan yang belum selesai dengan OpenAI.
Tahun ini, dia bahkan menggugat perusahaan tersebut atas dugaan pelanggaran kontrak.
Langkah simbolis lainnya, xAI mengambil alih kantor lama OpenAI di San Francisco, tempat Musk mengadakan acara perekrutan pada bulan Oktober.
Di ruangan yang diterangi lampu ungu redup, Musk berpidato di depan puluhan peneliti AI, beberapa di antaranya baru saja datang dari konferensi OpenAI beberapa jam sebelumnya.
Di sana dia menyindir OpenAI dan membanggakan kecepatan pembangunan Colossus.
Namun, produk andalan xAI, chatbot Grok, belum bisa menyaingi ChatGPT.
Dalam salah satu momen yang disorot, Musk tampil di podcast The Joe Rogan Experience untuk mendemonstrasikan Grok, yang menolak memberi respons kontroversial dengan alasan “kesopanan.”
Di balik segala kontroversi dan tantangan, xAI tetap menjadi gambaran ambisi Elon Musk yang tanpa batas.
Mengandalkan data eksklusif dari Tesla dan X, serta infrastruktur yang dibangun dengan kecepatan luar biasa, xAI berusaha memantapkan posisinya di dunia kecerdasan buatan.
Namun, pertanyaan besarnya adalah: Apakah cukup bagi xAI untuk mengalahkan raksasa yang lebih dulu berdiri seperti OpenAI dan Google?
RELATED ARTICLES
Elon Musk dan xAI Melawan OpenAI, Siapa Jawaranya?
Ambisi Elon Musk dengan xAI dan peluncuran chatbot bernama Grok menjadi babak baru dalam peta persaingan teknologi AI dunia
Context.id, JAKARTA - Elon Musk dikenal sebagai pemikir, politikus dan taipan yang tak kenal lelah dalam membuat terobosan.
Musk dikenal punya ambisi yang luar biasa soal teknologi dan juga luar angkasa. Dia sudah membuat mobil listrik, membeli media sosial hingga punya perusahaan roket luar angkasa.
Semua itu tidak membuatnya puas. Saat ini dia masuk dalam dunia pemerintahan untuk membantu Donald Trump sebagai Presiden AS dan juga mulai melirik medan pertempuran baru: kecerdasan buatan alias AI.
Melalui xAI, Musk ingin merebut dominasi OpenAI, perusahaan yang ironisnya ikut dia dirikan sebelum meninggalkannya di tengah drama internal pada 2018.
BACA JUGA
Perjalanan xAI dimulai pada musim panas 2023. Dalam waktu singkat, Musk berhasil mengumpulkan talenta terbaik, membangun pusat data raksasa dalam hitungan bulan, dan menghidupkan chatbot bernama Grok.
Tapi apakah ini cukup untuk menggeser posisi OpenAI yang telah lebih dahulu memimpin dengan ChatGPT?
Ambisi dan dukungan dana besar
Investor tampaknya percaya pada mimpi besar Musk. Seperti dilansir WSJ, dalam waktu kurang dari setahun, xAI berhasil meraih US$11 miliar dan meningkatkan valuasinya menjadi $50 miliar.
Ini menjadikannya pengembang AI swasta paling berharga kedua di dunia. Namun, angka-angka ini belum mencerminkan kesuksesan finansial.
Pendapatan tahunan xAI diperkirakan hanya US$100 juta, jauh tertinggal dari OpenAI yang menargetkan hampir US$4 miliar tahun ini.
Sebagian besar pemasukan xAI berasal dari layanan-layanan internal di perusahaan ekosistem Musk seperti Tesla dan Starlink.
Namun, Musk berencana menjadikan xAI sebagai kekuatan mandiri dengan meluncurkan aplikasi konsumen dan alat pengembang berbayar yang siap bersaing langsung di pasar global.
Kecepatan adalah senjata utama Musk. Di Memphis, Tennessee, xAI membangun pusat data bernama Colossus dalam waktu hanya 122 hari.
Menggunakan 100.000 GPU Nvidia yang merupakan salah satu klaster AI terbesar di dunia, Colossus menjadi simbol ambisi xAI untuk memimpin teknologi generasi berikutnya.
“Tidak ada yang bergerak secepat ini di industri AI,” ujar Alex Bouzari, CEO DataDirect Networks, salah satu mitra pembangunan Colossus seperti dikutip dari WSJ, Senin (2/12)
Namun, pendekatan ini bukan tanpa konsekuensi. Warga lokal Memphis memprotes polusi dari generator gas yang digunakan untuk memberi daya pada pusat data itu, sementara para pesaingnya terus meningkatkan tekanan di pasar.
Terlepas dari klaimnya yang ingin membangun AI “lebih netral” melalui xAI, jelas Musk masih memiliki urusan yang belum selesai dengan OpenAI.
Tahun ini, dia bahkan menggugat perusahaan tersebut atas dugaan pelanggaran kontrak.
Langkah simbolis lainnya, xAI mengambil alih kantor lama OpenAI di San Francisco, tempat Musk mengadakan acara perekrutan pada bulan Oktober.
Di ruangan yang diterangi lampu ungu redup, Musk berpidato di depan puluhan peneliti AI, beberapa di antaranya baru saja datang dari konferensi OpenAI beberapa jam sebelumnya.
Di sana dia menyindir OpenAI dan membanggakan kecepatan pembangunan Colossus.
Namun, produk andalan xAI, chatbot Grok, belum bisa menyaingi ChatGPT.
Dalam salah satu momen yang disorot, Musk tampil di podcast The Joe Rogan Experience untuk mendemonstrasikan Grok, yang menolak memberi respons kontroversial dengan alasan “kesopanan.”
Di balik segala kontroversi dan tantangan, xAI tetap menjadi gambaran ambisi Elon Musk yang tanpa batas.
Mengandalkan data eksklusif dari Tesla dan X, serta infrastruktur yang dibangun dengan kecepatan luar biasa, xAI berusaha memantapkan posisinya di dunia kecerdasan buatan.
Namun, pertanyaan besarnya adalah: Apakah cukup bagi xAI untuk mengalahkan raksasa yang lebih dulu berdiri seperti OpenAI dan Google?
POPULAR
RELATED ARTICLES