Mati dalam Kesendirian, Fenomena di Negara Asia
Kematian kesepian di Asia menunjukkan perlunya membangun koneksi sosial yang nyata dan mengatasi stigma kesehatan mental untuk mendukung generasi muda
Context.id, JAKARTA — Dalam suasana metropolitan yang ramai dan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari sering kali mengabaikan kehadiran individu, sebuah masalah serius yang mencerminkan kesadaran masyarakat; kematian karena kesepian atau mati dalam kesendirian.
Di Seoul, ibu kota Korea Selatan yang dinamis, pemerintah telah meluncurkan inisiatif bernama Loneliness-Free Seoul senilai 250 juta poundsterling, bertujuan untuk merangkul dan mendukung masyarakat yang terlindungi.
Di sisi lain, Jepang, negara yang sudah lama berjuang dengan fenomena serupa, menghadapi kenyataan mengerikan semakin banyak orang meninggal sendirian, tanpa jejak, di apartemen mereka yang sepi.
Seringkali kita melihat atau membaca berita orang lanjut usia baik perempuan maupun pria telah hadir tak bernyawa di lantai apartemennya atau rumahnya selama lebih dari tiga minggu.
Masalahnya, seringkali korban tersebut tidak memiliki keluarga atau teman yang memperhatikan keberadaannya.
Dia hidup dan mati dalam kesendirian, hingga pemilik rumah/apartemen atau tetangganya yang terganggu karena bau tidak sedap yang kuat. Barulah mayat itu ditemukan.
Di Jepang, kasus semacam ini bukanlah hal yang langka.
Negeri Matahari Terbit ini telah berjuang melawan fenomena yang dikenal sebagai "kematian soliter," di mana orang-orang yang hidup tanpa jaringan sosial yang kuat meninggal dan tetap tidak ditemukan selama waktu yang lama.
Melansir ABC News, pemerintah Jepang merilis laporan mengejutkan yang menunjukkan hampir 22.000 orang meninggal sendirian dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Sebagian besar dari mereka adalah orang lanjut usia, dan jumlah total kematian sendirian diperkirakan mencapai 88.000 pada akhir tahun.
Isolasi meningkat
Di Jepang, isolasi sosial sering kali dihilangkan dari budaya yang menekan keberhasilan individu dan tekanan sosial yang berat.
Di daerah-daerah seperti Kotobuki di Yokohama, banyak penduduknya adalah imigran yang mencari kehidupan baru, kondisi ini diperparah oleh keterbatasan ruang dan fasilitas.
Apartemen kecil yang seringkali tidak lebih dari lima meter persegi dengan fasilitas bersama menjadi rumah bagi mereka yang terjebak dalam kesepian.
Sementara itu, di Seoul, pemerintah kotanya mempertegas komitmennya untuk mengatasi masalah ini dengan meluncurkan hotline 24 jam, Goodbye Loneliness 120 , yang bertujuan untuk menghubungkan individu yang merasa terlindungi dengan konselor memperkuat.
Rencana ini juga mencakup pembentukan Seoul Heart Convenience Stores , ruang komunitas tempat orang bisa berkumpul, menikmati makanan sederhana, dan membangun hubungan sosial.
Inisiatif ini diharapkan dapat mengurangi rasa kesetaraan yang melanda kota yang modern dan penuh kehidupan ini.
Namun, upaya pemerintah saja tidak cukup. Dalam masyarakat yang semakin terpecah, inisiatif dari individu maupun komunitas menjadi sangat penting.
Kelompok relawan yang dibentuknya kini melakukan pemeriksaan rutin dan menjalin hubungan dengan berbagai badan untuk memantau aktivitas mencurigakan di komunitas.
Perubahan positif adalah mungkin jika ada usaha kolektif. Inisiatifnya bukan hanya soal mencegah kematian, tetapi juga merestorasi rasa kebersamaan di antara warga.
Sebenarnya, fenomena kesendirian bukan hanya terjadi di Jepang dan Korea Selatan, Filipina walaupun kasusnya tidak sampai separah kedua negara Asia Timur menempati posisi kedua sebagai negara paling kesepian di dunia.
Menurut laporan Meta-Gallup, anak muda di Filipina, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, menjadi generasi pertama yang tumbuh dengan ponsel pintar dan media sosial, tetapi tetap merasa terasing meskipun terhubung secara digital.
Kehidupan di bawah status lockdown yang berlangsung lama, mempengaruhi cara anak muda Filipina berinteraksi.
Alhasil, anak-anak Filipina lebih banyak mengandalkan perangkat digital termasuk chatbot atau teman virtual untuk berkomunikasi seperti ditulis CNA.
Parahnya lagi, ada kasus saat anak muda terlalu sering berinteraksi dengan teman virtual dan chat bot membuatnya sulit menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.
Meskipun hubungan digital ini membantu mengurangi kesepian untuk sementara, tapi itu bukan pengganti interaksi manusia yang nyata.
Ketidakhadiran orang tua juga menjadi faktor penting dalam kesepian remaja Filipina. Lebih dari 2,33 juta warga Filipina bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri, banyak anak muda yang tumbuh tanpa kehadiran orang tua mereka.
Ini menciptakan kekosongan emosional yang mendalam, meningkatkan kerentanan mereka terhadap kesepian dan masalah kesehatan mental.
Kesehatan mental
Kesepian memiliki dampak negatif yang signifikan, tidak hanya pada kesehatan mental tetapi juga fisik. WHO menyebut kesepian sebagai ancaman kesehatan global, terkait dengan meningkatnya risiko penyakit jantung, stroke, dan depresi.
Riset menunjukkan hampir satu dari lima remaja Filipina berusia 15 hingga 24 tahun pernah berniat untuk mengakhiri hidup mereka.
Meskipun kesadaran akan masalah kesehatan mental meningkat, akses terhadap layanan psikologis di Filipina masih terbatas.
Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk kesehatan mental dan meluncurkan saluran konseling, tetapi angka kesepian terus meningkat.
Krisis kesepian yang dihadapi Seoul, Tokyo dan Filipina menunjukkan kesepian adalah masalah yang lebih luas dan kompleks daripada sekadar statistik. Ini adalah tantangan sosial yang memerlukan pemahaman dan tindakan kolektif.
Seiring dengan inisiatif-inisiatif ini, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Asia menjadi jelas: membangun kembali ikatan sosial yang telah pudar.
Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, tantangan untuk membangun koneksi yang tulus dan mendalam di dunia nyata menjadi semakin mendesak.
Jika pemerintah dan komunitas tidak bekerja sama, kisah-kisah kematian karena kesepian yang ditelan ini hanya akan terus berlanjut.
Di dunia modern yang dipenuhi dengan hiruk pikuk keramaian, tidak ada individu yang seharusnya merasa sendirian.
RELATED ARTICLES
Mati dalam Kesendirian, Fenomena di Negara Asia
Kematian kesepian di Asia menunjukkan perlunya membangun koneksi sosial yang nyata dan mengatasi stigma kesehatan mental untuk mendukung generasi muda
Context.id, JAKARTA — Dalam suasana metropolitan yang ramai dan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari sering kali mengabaikan kehadiran individu, sebuah masalah serius yang mencerminkan kesadaran masyarakat; kematian karena kesepian atau mati dalam kesendirian.
Di Seoul, ibu kota Korea Selatan yang dinamis, pemerintah telah meluncurkan inisiatif bernama Loneliness-Free Seoul senilai 250 juta poundsterling, bertujuan untuk merangkul dan mendukung masyarakat yang terlindungi.
Di sisi lain, Jepang, negara yang sudah lama berjuang dengan fenomena serupa, menghadapi kenyataan mengerikan semakin banyak orang meninggal sendirian, tanpa jejak, di apartemen mereka yang sepi.
Seringkali kita melihat atau membaca berita orang lanjut usia baik perempuan maupun pria telah hadir tak bernyawa di lantai apartemennya atau rumahnya selama lebih dari tiga minggu.
Masalahnya, seringkali korban tersebut tidak memiliki keluarga atau teman yang memperhatikan keberadaannya.
Dia hidup dan mati dalam kesendirian, hingga pemilik rumah/apartemen atau tetangganya yang terganggu karena bau tidak sedap yang kuat. Barulah mayat itu ditemukan.
Di Jepang, kasus semacam ini bukanlah hal yang langka.
Negeri Matahari Terbit ini telah berjuang melawan fenomena yang dikenal sebagai "kematian soliter," di mana orang-orang yang hidup tanpa jaringan sosial yang kuat meninggal dan tetap tidak ditemukan selama waktu yang lama.
Melansir ABC News, pemerintah Jepang merilis laporan mengejutkan yang menunjukkan hampir 22.000 orang meninggal sendirian dalam tiga bulan pertama tahun ini.
Sebagian besar dari mereka adalah orang lanjut usia, dan jumlah total kematian sendirian diperkirakan mencapai 88.000 pada akhir tahun.
Isolasi meningkat
Di Jepang, isolasi sosial sering kali dihilangkan dari budaya yang menekan keberhasilan individu dan tekanan sosial yang berat.
Di daerah-daerah seperti Kotobuki di Yokohama, banyak penduduknya adalah imigran yang mencari kehidupan baru, kondisi ini diperparah oleh keterbatasan ruang dan fasilitas.
Apartemen kecil yang seringkali tidak lebih dari lima meter persegi dengan fasilitas bersama menjadi rumah bagi mereka yang terjebak dalam kesepian.
Sementara itu, di Seoul, pemerintah kotanya mempertegas komitmennya untuk mengatasi masalah ini dengan meluncurkan hotline 24 jam, Goodbye Loneliness 120 , yang bertujuan untuk menghubungkan individu yang merasa terlindungi dengan konselor memperkuat.
Rencana ini juga mencakup pembentukan Seoul Heart Convenience Stores , ruang komunitas tempat orang bisa berkumpul, menikmati makanan sederhana, dan membangun hubungan sosial.
Inisiatif ini diharapkan dapat mengurangi rasa kesetaraan yang melanda kota yang modern dan penuh kehidupan ini.
Namun, upaya pemerintah saja tidak cukup. Dalam masyarakat yang semakin terpecah, inisiatif dari individu maupun komunitas menjadi sangat penting.
Kelompok relawan yang dibentuknya kini melakukan pemeriksaan rutin dan menjalin hubungan dengan berbagai badan untuk memantau aktivitas mencurigakan di komunitas.
Perubahan positif adalah mungkin jika ada usaha kolektif. Inisiatifnya bukan hanya soal mencegah kematian, tetapi juga merestorasi rasa kebersamaan di antara warga.
Sebenarnya, fenomena kesendirian bukan hanya terjadi di Jepang dan Korea Selatan, Filipina walaupun kasusnya tidak sampai separah kedua negara Asia Timur menempati posisi kedua sebagai negara paling kesepian di dunia.
Menurut laporan Meta-Gallup, anak muda di Filipina, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, menjadi generasi pertama yang tumbuh dengan ponsel pintar dan media sosial, tetapi tetap merasa terasing meskipun terhubung secara digital.
Kehidupan di bawah status lockdown yang berlangsung lama, mempengaruhi cara anak muda Filipina berinteraksi.
Alhasil, anak-anak Filipina lebih banyak mengandalkan perangkat digital termasuk chatbot atau teman virtual untuk berkomunikasi seperti ditulis CNA.
Parahnya lagi, ada kasus saat anak muda terlalu sering berinteraksi dengan teman virtual dan chat bot membuatnya sulit menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitarnya.
Meskipun hubungan digital ini membantu mengurangi kesepian untuk sementara, tapi itu bukan pengganti interaksi manusia yang nyata.
Ketidakhadiran orang tua juga menjadi faktor penting dalam kesepian remaja Filipina. Lebih dari 2,33 juta warga Filipina bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri, banyak anak muda yang tumbuh tanpa kehadiran orang tua mereka.
Ini menciptakan kekosongan emosional yang mendalam, meningkatkan kerentanan mereka terhadap kesepian dan masalah kesehatan mental.
Kesehatan mental
Kesepian memiliki dampak negatif yang signifikan, tidak hanya pada kesehatan mental tetapi juga fisik. WHO menyebut kesepian sebagai ancaman kesehatan global, terkait dengan meningkatnya risiko penyakit jantung, stroke, dan depresi.
Riset menunjukkan hampir satu dari lima remaja Filipina berusia 15 hingga 24 tahun pernah berniat untuk mengakhiri hidup mereka.
Meskipun kesadaran akan masalah kesehatan mental meningkat, akses terhadap layanan psikologis di Filipina masih terbatas.
Pemerintah telah mengalokasikan dana untuk kesehatan mental dan meluncurkan saluran konseling, tetapi angka kesepian terus meningkat.
Krisis kesepian yang dihadapi Seoul, Tokyo dan Filipina menunjukkan kesepian adalah masalah yang lebih luas dan kompleks daripada sekadar statistik. Ini adalah tantangan sosial yang memerlukan pemahaman dan tindakan kolektif.
Seiring dengan inisiatif-inisiatif ini, tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Asia menjadi jelas: membangun kembali ikatan sosial yang telah pudar.
Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, tantangan untuk membangun koneksi yang tulus dan mendalam di dunia nyata menjadi semakin mendesak.
Jika pemerintah dan komunitas tidak bekerja sama, kisah-kisah kematian karena kesepian yang ditelan ini hanya akan terus berlanjut.
Di dunia modern yang dipenuhi dengan hiruk pikuk keramaian, tidak ada individu yang seharusnya merasa sendirian.
POPULAR
RELATED ARTICLES