Share

Home Stories

Stories 22 Oktober 2024

Revolusi Bahasa di Tangan Gen Z

Di tangan Gen Z, media sosial membuat perkembangan bahasa menjadi lebih cepat bahkan melahirkan kosakata baru

TikTok slang/kua.ai

Context.id, JAKARTA - TikTok tidak hanya sekadar platform untuk hiburan, tetapi juga wadah eksperimen linguistik yang memengaruhi cara bicara generasi muda. 

Tidak percaya? Coba saja scroll TikTok, banyak Gen Z yang bicara bahasa gaul versi mereka, mulai dari Red Flag, Green Flag, Skibidi, Sigma, Rizz, Ohio, Goat, Gyyt dan masih banyak lainnya.  

Memang, di era media sosial ini, bahasa berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, mencerminkan besarnya pengaruh platform digital terhadap bahasa dan budaya suatu negara atau komunitas.

Di TikTok salah satu kata yang kembali naik daun adalah “sopan” istilah kuno yang Merujuk pada sikap perempuan sopan dan anggun. Namun, di tangan para pengguna TikTok, kata ini berubah makna. 



Tagar #demure kini digunakan secara ironis oleh generasi muda untuk menggambarkan hal-hal yang sangat beragam, mulai dari planet Saturnus hingga layanan transportasi sampah. 

Tercatat ada lebih dari 800.000 unggahan soal kata ini yang menunjukkan betapa pengguna TikTok mampu memberi makna baru pada pemahaman lama, menyesuaikan bahasa dengan zaman.

Tak hanya "demure," kata-kata kuno dan kosakata sehari-hari diubah menjadi lebih pendek dan efisien, seperti "yapping" yang menggantikan "talking" atau “delulu” sebagai singkatan dari "delusional." 

Di tangan Gen Z dan ditambah di ruang digital, setiap kata bisa mengalami mutasi makna tergantung konteks dan tren yang sedang berlangsung.

Menurut Tony Thorne, Direktur Slang and New Language Archive di King's College London, sekitar 100 kata baru muncul atau mendapatkan makna baru di TikTok setiap tahunnya, seperti dilansir dari The Economist. 

Inovator bahasa
Selain kata-kata baru, platform ini juga mempengaruhi bagaimana anak muda berbicara. Istilah “Aksen TikTok,” yang ditandai dengan intonasi meninggi di akhir kalimat, mungkin menyebar di antara generasi muda. 

TikTok telah menciptakan ekosistem bahasa di mana pengucapan dan pilihan kata sangat bergantung pada tren yang sedang populer di platform tersebut.

Salah satu faktor yang mendorong perubahan cepat ini adalah keinginan TikTok sebagai platform multimedia; teks, audio dan video dalam satu unggahan sehingga menciptakan kata yang terdengar menarik. 

Kode linguistik khusus, yang disebut “algospeak,” juga muncul sebagai respons terhadap algoritma moderasi konten. 

Kata-kata seperti “seggs” (untuk menghindari kata 'seks') dan “akuntan” (untuk Merujuk pada pekerja seks) adalah contoh bagaimana bahasa dapat disesuaikan untuk menghindari sensor tanpa kehilangan makna.

Mutasi bahasa ini sebagian besar didorong oleh usia pengguna TikTok, yang sebagian besar berusia 18-34 tahun. 

Menurut Christian Ilbury, ahli bahasa di Universitas Edinburgh kepada Economist, kaum muda telah lama menjadi inovator bahasa, menciptakan kata-kata baru untuk membedakan diri dari generasi yang lebih tua. 

Di media sosial, inovasi bahasa lebih cepat menyebar, karena memungkinkan interaksi lintas budaya dan lintas benua.

Selain menciptakan bahasa gaul baru, TikTok juga menjadi tempat di mana berbagai subkultur bertemu dan berkembang seperti K-popers dengan tagar #kpopfans hingga komunitas literasi seperti #booktokers. 

Namun, kecepatan perubahan bahasa ini menjadi tantangan tersendiri bagi institusi seperti Oxford English Dictionary (OED). 

Dalam usahanya untuk mendokumentasikan evolusi bahasa, OED memiliki aturan bahwa kata harus digunakan selama sekitar lima tahun sebelum bisa masuk ke dalam kamus. 

Proses ini tentunya terasa sangat lambat dibandingkan dengan arus bahasa di media sosial yang begitu cepat dan sporadis. 

Sebagai contoh, kata populer seperti “rizz” (singkatan dari kharisma) yang menjadi "kata tahun ini" versi online, belum tercatat di OED.

Platform seperti TikTok telah menciptakan fenomena yang dulunya kuno bisa menjadi tren dengan gaya yang lebih kekinian. 



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 22 Oktober 2024

Revolusi Bahasa di Tangan Gen Z

Di tangan Gen Z, media sosial membuat perkembangan bahasa menjadi lebih cepat bahkan melahirkan kosakata baru

TikTok slang/kua.ai

Context.id, JAKARTA - TikTok tidak hanya sekadar platform untuk hiburan, tetapi juga wadah eksperimen linguistik yang memengaruhi cara bicara generasi muda. 

Tidak percaya? Coba saja scroll TikTok, banyak Gen Z yang bicara bahasa gaul versi mereka, mulai dari Red Flag, Green Flag, Skibidi, Sigma, Rizz, Ohio, Goat, Gyyt dan masih banyak lainnya.  

Memang, di era media sosial ini, bahasa berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, mencerminkan besarnya pengaruh platform digital terhadap bahasa dan budaya suatu negara atau komunitas.

Di TikTok salah satu kata yang kembali naik daun adalah “sopan” istilah kuno yang Merujuk pada sikap perempuan sopan dan anggun. Namun, di tangan para pengguna TikTok, kata ini berubah makna. 



Tagar #demure kini digunakan secara ironis oleh generasi muda untuk menggambarkan hal-hal yang sangat beragam, mulai dari planet Saturnus hingga layanan transportasi sampah. 

Tercatat ada lebih dari 800.000 unggahan soal kata ini yang menunjukkan betapa pengguna TikTok mampu memberi makna baru pada pemahaman lama, menyesuaikan bahasa dengan zaman.

Tak hanya "demure," kata-kata kuno dan kosakata sehari-hari diubah menjadi lebih pendek dan efisien, seperti "yapping" yang menggantikan "talking" atau “delulu” sebagai singkatan dari "delusional." 

Di tangan Gen Z dan ditambah di ruang digital, setiap kata bisa mengalami mutasi makna tergantung konteks dan tren yang sedang berlangsung.

Menurut Tony Thorne, Direktur Slang and New Language Archive di King's College London, sekitar 100 kata baru muncul atau mendapatkan makna baru di TikTok setiap tahunnya, seperti dilansir dari The Economist. 

Inovator bahasa
Selain kata-kata baru, platform ini juga mempengaruhi bagaimana anak muda berbicara. Istilah “Aksen TikTok,” yang ditandai dengan intonasi meninggi di akhir kalimat, mungkin menyebar di antara generasi muda. 

TikTok telah menciptakan ekosistem bahasa di mana pengucapan dan pilihan kata sangat bergantung pada tren yang sedang populer di platform tersebut.

Salah satu faktor yang mendorong perubahan cepat ini adalah keinginan TikTok sebagai platform multimedia; teks, audio dan video dalam satu unggahan sehingga menciptakan kata yang terdengar menarik. 

Kode linguistik khusus, yang disebut “algospeak,” juga muncul sebagai respons terhadap algoritma moderasi konten. 

Kata-kata seperti “seggs” (untuk menghindari kata 'seks') dan “akuntan” (untuk Merujuk pada pekerja seks) adalah contoh bagaimana bahasa dapat disesuaikan untuk menghindari sensor tanpa kehilangan makna.

Mutasi bahasa ini sebagian besar didorong oleh usia pengguna TikTok, yang sebagian besar berusia 18-34 tahun. 

Menurut Christian Ilbury, ahli bahasa di Universitas Edinburgh kepada Economist, kaum muda telah lama menjadi inovator bahasa, menciptakan kata-kata baru untuk membedakan diri dari generasi yang lebih tua. 

Di media sosial, inovasi bahasa lebih cepat menyebar, karena memungkinkan interaksi lintas budaya dan lintas benua.

Selain menciptakan bahasa gaul baru, TikTok juga menjadi tempat di mana berbagai subkultur bertemu dan berkembang seperti K-popers dengan tagar #kpopfans hingga komunitas literasi seperti #booktokers. 

Namun, kecepatan perubahan bahasa ini menjadi tantangan tersendiri bagi institusi seperti Oxford English Dictionary (OED). 

Dalam usahanya untuk mendokumentasikan evolusi bahasa, OED memiliki aturan bahwa kata harus digunakan selama sekitar lima tahun sebelum bisa masuk ke dalam kamus. 

Proses ini tentunya terasa sangat lambat dibandingkan dengan arus bahasa di media sosial yang begitu cepat dan sporadis. 

Sebagai contoh, kata populer seperti “rizz” (singkatan dari kharisma) yang menjadi "kata tahun ini" versi online, belum tercatat di OED.

Platform seperti TikTok telah menciptakan fenomena yang dulunya kuno bisa menjadi tren dengan gaya yang lebih kekinian. 



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Negosiasi RI-AS Mandek Tapi Vietnam Berhasil, Kok Bisa?

Menilai paket negosiasi yang ditawarkan Vietnam kepada AS secara signifikan mengurangi defisit neraca perdagangan AS

Renita Sukma . 11 July 2025

Ditekan Tarif Trump, Indonesia Bisa Perluas Pasar Tekstil ke Eropa

Di tengah tekanan tarif Trump 32%, Indonesia memiliki peluang untuk memperluas pasar ke Uni Eropa

Renita Sukma . 11 July 2025

Tarif Jadi Senjata Trump Jegal China di Panggung Global

Kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump bertujuan untuk menghambat China dalam rantai pasok global

Renita Sukma . 11 July 2025

Ancaman Tarif Trump untuk 14 Negara, Indonesia Kena!

Negara-negara ini akan menghadapi tarif baru jika gagal mencapai kesepakatan dagang dengan AS sebelum batas waktu yang ditentukan

Noviarizal Fernandez . 10 July 2025