Reformasi Parlemen Inggris, Jatah Kursi Turun Temurun Bangsawan Hilang
Parlemen Inggris mendukung sepenuhnya rancangan UU yang mencabut hak bangsawan secara turun termurun duduk otomatis di House of Lords
Context.id, JAKARTA - Dalam suasana yang menggambarkan ketegangan antara tradisi dan modernitas, sebuah langkah bersejarah diambil Parlemen Inggris, Selasa (15/10) kemarin.
Anggota parlemen memberikan suara mendukung rancangan undang-undang yang akan mencabut hak bangsawan secara turun-temurun untuk duduk dan memberikan suara di House of Lords.
Langkah ini dianggap sebagai akhir dari sebuah warisan atau tradisi aristokrat berusia lebih dari 700 tahun.
House of Lords atau Dewan Bangsawan, sebagai majelis tinggi Parlemen Inggris, memiliki sejarah yang panjang dan rumit.
Pertama kali dibentuk sebagai Dewan Bangsawan pada abad ke-14, lembaga ini telah berfungsi sebagai tempat berkumpulnya bangsawan dan tokoh berpengaruh yang berperan dalam pengambilan keputusan politik.
BACA JUGA
Selama berabad-abad, hak untuk duduk di majelis ini diwariskan, menciptakan sistem bahwasanya status sosial dan gelar mengatur akses ke kekuasaan politik.
Sebelum tahun 1999, lebih dari 700 anggota Dewan Bangsawan terdiri dari bangsawan turun-temurun dan juga uskup. Namun saat itu terjadi reformasi parlemen pertama yang dipimpin Perdana Menteri Tony Blair dan mulai membatasi jumlahnya menjadi 92.
Dalam konteks modern, banyak pihak menganggap keberadaan bangsawan turun-temurun dan uskup di House of Lords sebagai anachronisme yang perlu diubah untuk menciptakan sistem yang lebih demokratis dan representatif.
Di ruang sidang yang megah, di mana langit-langitnya dipenuhi ukiran bersejarah dan dindingnya dihiasi dengan potret pemimpin masa lalu, Menteri Konstitusi Nick Thomas-Symonds berdiri dengan tekad.
"Pada abad ke-21, tidak seharusnya ada tempat di Parlemen kita yang disediakan bagi mereka yang lahir dalam keluarga tertentu," tegasnya, menggema di antara deretan kursi yang telah diduduki oleh generasi bangsawan seperti dilansir dari AP News.
Dalam pandangan Symonds, ini adalah langkah untuk mengakhiri warisan yang dianggap tidak lagi relevan di dunia yang semakin modern
Merusak identitas?
Earl of Devon, Charles Peregrine Courtenay, yang mewarisi gelarnya dari garis keturunan yang telah berkuasa sejak tahun 1142, memberikan pandangannya dengan campuran kebanggaan dan ketakutan.
"Fakta bahwa saya melakukan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Permaisuri Matilda kepada leluhur saya adalah contoh konsistensi dan kesinambungan yang luar biasa," katanya.
Namun, seperti dilaporkan AP News dia mengingatkan mengubah konstitusi Inggris yang tidak tertulis bisa berisiko merusak fondasi yang telah terbangun selama berabad-abad. Dalam pandangannya, perubahan ini bisa merusak identitas Inggris yang telah terjaga selama seribu tahun
Namun, suara lain mulai menggema, menyerukan reformasi yang lebih luas.
Dalam sebuah kolom yang dipublikasikan di The Guardian, komedian sekaligus aktivis politik kesetaraan perempuan Sandi Toksvig mempertanyakan keberadaan 26 uskup Gereja Inggris yang memiliki hak otomatis untuk duduk di House of Lords.
"Kita hidup dalam masyarakat yang beragam dan modern. Sudah saatnya parlemen merenungkan siapa yang benar-benar diwakili di dalamnya," tulisnya.
Dengan hanya 12% dari populasi Inggris yang mengidentifikasi sebagai Anglikan, pertanyaan tentang relevansi uskup dalam parlemen semakin berarti.
Toksvig melanjutkan dengan menyoroti dampak konkret dari kehadiran uskup dalam pengambilan keputusan. Dia mengingat momen ketika sembilan uskup memberikan suara menentang undang-undang pernikahan sesama jenis pada tahun 2013.
"Apakah kita benar-benar ingin hukum yang mengatur kehidupan kita diputuskan oleh sekelompok orang yang tidak mewakili kita?" tanyanya, menantang pembaca untuk merenungkan keabsahan hak-hak yang diwariskan tanpa pertanggungjawaban.
Laporan dari Electoral Reform menyoroti masalah yang lebih besar. Dengan sekitar 800 anggota di House of Lords, di mana kekuasaan terletak pada warisan, bukan pada kualifikasi atau kapabilitas, pertanyaan akan legitimasi dan representasi menjadi semakin mendesak
"Dewan Bangsawan tetap merupakan badan yang tidak demokratis, di mana anggota yang tidak terpilih terlibat dalam pengambilan keputusan politik tanpa akuntabilitas," ungkap laporan tersebut.
.
Sejarah Inggris dipenuhi dengan momen-momen penting yang membentuk struktur pemerintahan, dari Magna Carta pada tahun 1215 hingga Reformasi Parlemen di abad ke-19.
Namun, dengan menghilangkan hak-hak bangsawan yang diwariskan, Inggris tampaknya bersiap untuk memasuki bab baru dalam sejarahnya.
Langkah ini, jika disetujui, tidak hanya akan menandai akhir bagi hak-hak bangsawan yang diwariskan, tetapi juga membuka diskusi tentang masa depan House of Lords dan bagaimana lembaga legislatif seharusnya mencerminkan masyarakat modern.
Dengan mayoritas yang kuat di Dewan Perwakilan Rakyat, Partai Buruh kini memiliki peluang untuk mereformasi parlemen dan menciptakan sistem yang lebih inklusif dan responsif.
RELATED ARTICLES
Reformasi Parlemen Inggris, Jatah Kursi Turun Temurun Bangsawan Hilang
Parlemen Inggris mendukung sepenuhnya rancangan UU yang mencabut hak bangsawan secara turun termurun duduk otomatis di House of Lords
Context.id, JAKARTA - Dalam suasana yang menggambarkan ketegangan antara tradisi dan modernitas, sebuah langkah bersejarah diambil Parlemen Inggris, Selasa (15/10) kemarin.
Anggota parlemen memberikan suara mendukung rancangan undang-undang yang akan mencabut hak bangsawan secara turun-temurun untuk duduk dan memberikan suara di House of Lords.
Langkah ini dianggap sebagai akhir dari sebuah warisan atau tradisi aristokrat berusia lebih dari 700 tahun.
House of Lords atau Dewan Bangsawan, sebagai majelis tinggi Parlemen Inggris, memiliki sejarah yang panjang dan rumit.
Pertama kali dibentuk sebagai Dewan Bangsawan pada abad ke-14, lembaga ini telah berfungsi sebagai tempat berkumpulnya bangsawan dan tokoh berpengaruh yang berperan dalam pengambilan keputusan politik.
BACA JUGA
Selama berabad-abad, hak untuk duduk di majelis ini diwariskan, menciptakan sistem bahwasanya status sosial dan gelar mengatur akses ke kekuasaan politik.
Sebelum tahun 1999, lebih dari 700 anggota Dewan Bangsawan terdiri dari bangsawan turun-temurun dan juga uskup. Namun saat itu terjadi reformasi parlemen pertama yang dipimpin Perdana Menteri Tony Blair dan mulai membatasi jumlahnya menjadi 92.
Dalam konteks modern, banyak pihak menganggap keberadaan bangsawan turun-temurun dan uskup di House of Lords sebagai anachronisme yang perlu diubah untuk menciptakan sistem yang lebih demokratis dan representatif.
Di ruang sidang yang megah, di mana langit-langitnya dipenuhi ukiran bersejarah dan dindingnya dihiasi dengan potret pemimpin masa lalu, Menteri Konstitusi Nick Thomas-Symonds berdiri dengan tekad.
"Pada abad ke-21, tidak seharusnya ada tempat di Parlemen kita yang disediakan bagi mereka yang lahir dalam keluarga tertentu," tegasnya, menggema di antara deretan kursi yang telah diduduki oleh generasi bangsawan seperti dilansir dari AP News.
Dalam pandangan Symonds, ini adalah langkah untuk mengakhiri warisan yang dianggap tidak lagi relevan di dunia yang semakin modern
Merusak identitas?
Earl of Devon, Charles Peregrine Courtenay, yang mewarisi gelarnya dari garis keturunan yang telah berkuasa sejak tahun 1142, memberikan pandangannya dengan campuran kebanggaan dan ketakutan.
"Fakta bahwa saya melakukan pekerjaan yang dilimpahkan oleh Permaisuri Matilda kepada leluhur saya adalah contoh konsistensi dan kesinambungan yang luar biasa," katanya.
Namun, seperti dilaporkan AP News dia mengingatkan mengubah konstitusi Inggris yang tidak tertulis bisa berisiko merusak fondasi yang telah terbangun selama berabad-abad. Dalam pandangannya, perubahan ini bisa merusak identitas Inggris yang telah terjaga selama seribu tahun
Namun, suara lain mulai menggema, menyerukan reformasi yang lebih luas.
Dalam sebuah kolom yang dipublikasikan di The Guardian, komedian sekaligus aktivis politik kesetaraan perempuan Sandi Toksvig mempertanyakan keberadaan 26 uskup Gereja Inggris yang memiliki hak otomatis untuk duduk di House of Lords.
"Kita hidup dalam masyarakat yang beragam dan modern. Sudah saatnya parlemen merenungkan siapa yang benar-benar diwakili di dalamnya," tulisnya.
Dengan hanya 12% dari populasi Inggris yang mengidentifikasi sebagai Anglikan, pertanyaan tentang relevansi uskup dalam parlemen semakin berarti.
Toksvig melanjutkan dengan menyoroti dampak konkret dari kehadiran uskup dalam pengambilan keputusan. Dia mengingat momen ketika sembilan uskup memberikan suara menentang undang-undang pernikahan sesama jenis pada tahun 2013.
"Apakah kita benar-benar ingin hukum yang mengatur kehidupan kita diputuskan oleh sekelompok orang yang tidak mewakili kita?" tanyanya, menantang pembaca untuk merenungkan keabsahan hak-hak yang diwariskan tanpa pertanggungjawaban.
Laporan dari Electoral Reform menyoroti masalah yang lebih besar. Dengan sekitar 800 anggota di House of Lords, di mana kekuasaan terletak pada warisan, bukan pada kualifikasi atau kapabilitas, pertanyaan akan legitimasi dan representasi menjadi semakin mendesak
"Dewan Bangsawan tetap merupakan badan yang tidak demokratis, di mana anggota yang tidak terpilih terlibat dalam pengambilan keputusan politik tanpa akuntabilitas," ungkap laporan tersebut.
.
Sejarah Inggris dipenuhi dengan momen-momen penting yang membentuk struktur pemerintahan, dari Magna Carta pada tahun 1215 hingga Reformasi Parlemen di abad ke-19.
Namun, dengan menghilangkan hak-hak bangsawan yang diwariskan, Inggris tampaknya bersiap untuk memasuki bab baru dalam sejarahnya.
Langkah ini, jika disetujui, tidak hanya akan menandai akhir bagi hak-hak bangsawan yang diwariskan, tetapi juga membuka diskusi tentang masa depan House of Lords dan bagaimana lembaga legislatif seharusnya mencerminkan masyarakat modern.
Dengan mayoritas yang kuat di Dewan Perwakilan Rakyat, Partai Buruh kini memiliki peluang untuk mereformasi parlemen dan menciptakan sistem yang lebih inklusif dan responsif.
POPULAR
RELATED ARTICLES