Soal Mendirikan Perusahaan Teknologi, Gen Z Kalah dari Generasi Sebelumnya
Generasi Z atau Gen Z dianggap tidak mampu mendirikan perusahaan teknologi seperti para pendahulunya. Benarkah?
Context.id, JAKARTA - Di tengah gemuruh inovasi Silicon Valley, muncul pertanyaan menarik: ke mana perwakilan Gen Z dalam dunia kewirausahaan teknologi?
Sementara generasi sebelumnya, seperti Bill Gates dan Steve Jobs hingga Mark Zuckerberg, telah mengukir prestasi luar biasa, Gen Z seolah kehilangan jejak dalam arena ini.
Saat ini, usia tertua Gen Z mencapai 27 tahun, rentang usia di mana banyak individu seharusnya berada di puncak ambisi bisnis mereka.
Namun, stereotip yang berkembang menggambarkan mereka sebagai generasi yang dimanjakan, kurang tertarik pada kerja keras, dan lebih memilih keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Berbeda dengan semangat "girlboss" yang dimiliki milenial, Gen Z sering diejek sebagai "gadis malas," dengan konsep "move fast and break things" yang dianggap terlalu berisiko.
Namun, kurangnya pendiri Gen Z bukanlah kesalahan mereka. Mereka memasuki dunia teknologi yang jauh lebih kompleks dan sulit dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Jerry Neumann, seorang kapitalis ventura, seperti dikutip dari Business Insider mengungkapkan meskipun semangat dan kecerdasan pendiri tetap sama, industri teknologi kini tidak berkembang secepat dulu.
Saat milenial bersinar, internet masih baru dan penuh peluang. Kini, pasar didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, yang membuat jalan menuju ketenaran semakin terjal bagi pendiri muda.
Banyak pendiri Gen Z terpaksa berjuang di tengah tantangan besar, seperti bisnis yang kolaps dan seringkali berakhir di bawah bayang-bayang perusahaan besar yang mengakuisisi mereka sebelum nama mereka dikenal publik.
Untuk mencapai kesuksesan, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk menjadi seperti Zuckerberg atau Musk, seseorang harus mampu mengubah industri suatu hal yang semakin sulit dilakukan.
Tantangan lain yang dihadapi Gen Z adalah akses pendanaan. Era di mana seorang pendiri bisa masuk ke kantor investor dalam hoodie dan mendapatkan dukungan finansial tampaknya telah berlalu.
Data menunjukkan investasi modal ventura merosot drastis, dari US$52,8 miliar pada akhir 2021 menjadi hanya US$10,6 miliar pada akhir 2023.
Banyak investor kini lebih berhati-hati setelah melihat jatuhnya beberapa nama besar dalam industri.
Namun, ada harapan. Beberapa pendiri Gen Z mulai memahami bahwa ketenaran publik dapat membawa risiko besar.
Seperti yang diungkapkan oleh Julian Kage, seorang mahasiswa berusia 19 tahun yang mendirikan startup pengujian diagnostik, banyak dari mereka lebih memilih pendekatan konservatif dan ingin membuktikan nilai nyata dari produk mereka ketimbang mengejar sorotan media.
Generasi ini lebih dipandu oleh nilai-nilai daripada ambisi semata. Dalam survei Deloitte, hampir 40% pekerja muda menolak tawaran dari perusahaan yang tidak sejalan dengan nilai mereka.
Dengan sikap yang lebih terbuka, Gen Z tidak lagi membedakan antara persona profesional dan pribadi.
Sementara tantangan terus ada, ada harapan bahwa generasi ini dapat menemukan jalan mereka sendiri. Meskipun mungkin tidak segera melihat pendiri Gen Z meluncurkan produk baru di depan publik, mereka mungkin sedang merumuskan cara-cara baru untuk berinovasi dalam dunia teknologi yang telah berubah.
Di sisi lain, laporan The Wall Street Journal mencatat penurunan jumlah wirausahawan muda sebagai "spesies yang terancam punah."
Antara 1989 dan 2017, jumlah orang dewasa muda yang memiliki saham di perusahaan swasta menurun dari 10,1% menjadi 4%. Ini menandakan masalah serius bagi masa depan wirausaha di AS.
Ada tujuh alasan di balik penurunan ini, salah satunya adalah ketakutan akan kegagalan. Hampir setengah dari mereka yang berusia 25 hingga 34 tahun merasa terhambat oleh rasa takut gagal.
Selain itu, pendidikan tinggi yang semakin mendominasi justru dapat mengurangi semangat berwirausaha, karena banyak pemilik usaha kecil tidak memiliki gelar sarjana.
Pembiayaan juga menjadi rintangan utama. Tanpa riwayat kredit yang kuat, sulit bagi wirausahawan muda untuk mendapatkan persetujuan pembiayaan.
Meskipun memiliki keinginan yang kuat untuk memulai bisnis, banyak dari mereka akhirnya mencari pekerjaan dengan gaji yang stabil.
Namun, seiring berjalannya waktu, pekerjaan sampingan yang dijalani Gen Z dapat berkembang menjadi kewirausahaan penuh waktu, dan program kejuruan yang mereka ikuti memiliki potensi untuk menghasilkan wirausahawan yang sukses.
Akhirnya, menjadi wirausahawan tidak selalu berarti mendirikan startup. Gen Z juga dapat berperan sebagai wirausahawan di lingkungan perusahaan, menciptakan inovasi dari dalam.
RELATED ARTICLES
Soal Mendirikan Perusahaan Teknologi, Gen Z Kalah dari Generasi Sebelumnya
Generasi Z atau Gen Z dianggap tidak mampu mendirikan perusahaan teknologi seperti para pendahulunya. Benarkah?
Context.id, JAKARTA - Di tengah gemuruh inovasi Silicon Valley, muncul pertanyaan menarik: ke mana perwakilan Gen Z dalam dunia kewirausahaan teknologi?
Sementara generasi sebelumnya, seperti Bill Gates dan Steve Jobs hingga Mark Zuckerberg, telah mengukir prestasi luar biasa, Gen Z seolah kehilangan jejak dalam arena ini.
Saat ini, usia tertua Gen Z mencapai 27 tahun, rentang usia di mana banyak individu seharusnya berada di puncak ambisi bisnis mereka.
Namun, stereotip yang berkembang menggambarkan mereka sebagai generasi yang dimanjakan, kurang tertarik pada kerja keras, dan lebih memilih keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Berbeda dengan semangat "girlboss" yang dimiliki milenial, Gen Z sering diejek sebagai "gadis malas," dengan konsep "move fast and break things" yang dianggap terlalu berisiko.
Namun, kurangnya pendiri Gen Z bukanlah kesalahan mereka. Mereka memasuki dunia teknologi yang jauh lebih kompleks dan sulit dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Jerry Neumann, seorang kapitalis ventura, seperti dikutip dari Business Insider mengungkapkan meskipun semangat dan kecerdasan pendiri tetap sama, industri teknologi kini tidak berkembang secepat dulu.
Saat milenial bersinar, internet masih baru dan penuh peluang. Kini, pasar didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, yang membuat jalan menuju ketenaran semakin terjal bagi pendiri muda.
Banyak pendiri Gen Z terpaksa berjuang di tengah tantangan besar, seperti bisnis yang kolaps dan seringkali berakhir di bawah bayang-bayang perusahaan besar yang mengakuisisi mereka sebelum nama mereka dikenal publik.
Untuk mencapai kesuksesan, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk menjadi seperti Zuckerberg atau Musk, seseorang harus mampu mengubah industri suatu hal yang semakin sulit dilakukan.
Tantangan lain yang dihadapi Gen Z adalah akses pendanaan. Era di mana seorang pendiri bisa masuk ke kantor investor dalam hoodie dan mendapatkan dukungan finansial tampaknya telah berlalu.
Data menunjukkan investasi modal ventura merosot drastis, dari US$52,8 miliar pada akhir 2021 menjadi hanya US$10,6 miliar pada akhir 2023.
Banyak investor kini lebih berhati-hati setelah melihat jatuhnya beberapa nama besar dalam industri.
Namun, ada harapan. Beberapa pendiri Gen Z mulai memahami bahwa ketenaran publik dapat membawa risiko besar.
Seperti yang diungkapkan oleh Julian Kage, seorang mahasiswa berusia 19 tahun yang mendirikan startup pengujian diagnostik, banyak dari mereka lebih memilih pendekatan konservatif dan ingin membuktikan nilai nyata dari produk mereka ketimbang mengejar sorotan media.
Generasi ini lebih dipandu oleh nilai-nilai daripada ambisi semata. Dalam survei Deloitte, hampir 40% pekerja muda menolak tawaran dari perusahaan yang tidak sejalan dengan nilai mereka.
Dengan sikap yang lebih terbuka, Gen Z tidak lagi membedakan antara persona profesional dan pribadi.
Sementara tantangan terus ada, ada harapan bahwa generasi ini dapat menemukan jalan mereka sendiri. Meskipun mungkin tidak segera melihat pendiri Gen Z meluncurkan produk baru di depan publik, mereka mungkin sedang merumuskan cara-cara baru untuk berinovasi dalam dunia teknologi yang telah berubah.
Di sisi lain, laporan The Wall Street Journal mencatat penurunan jumlah wirausahawan muda sebagai "spesies yang terancam punah."
Antara 1989 dan 2017, jumlah orang dewasa muda yang memiliki saham di perusahaan swasta menurun dari 10,1% menjadi 4%. Ini menandakan masalah serius bagi masa depan wirausaha di AS.
Ada tujuh alasan di balik penurunan ini, salah satunya adalah ketakutan akan kegagalan. Hampir setengah dari mereka yang berusia 25 hingga 34 tahun merasa terhambat oleh rasa takut gagal.
Selain itu, pendidikan tinggi yang semakin mendominasi justru dapat mengurangi semangat berwirausaha, karena banyak pemilik usaha kecil tidak memiliki gelar sarjana.
Pembiayaan juga menjadi rintangan utama. Tanpa riwayat kredit yang kuat, sulit bagi wirausahawan muda untuk mendapatkan persetujuan pembiayaan.
Meskipun memiliki keinginan yang kuat untuk memulai bisnis, banyak dari mereka akhirnya mencari pekerjaan dengan gaji yang stabil.
Namun, seiring berjalannya waktu, pekerjaan sampingan yang dijalani Gen Z dapat berkembang menjadi kewirausahaan penuh waktu, dan program kejuruan yang mereka ikuti memiliki potensi untuk menghasilkan wirausahawan yang sukses.
Akhirnya, menjadi wirausahawan tidak selalu berarti mendirikan startup. Gen Z juga dapat berperan sebagai wirausahawan di lingkungan perusahaan, menciptakan inovasi dari dalam.
POPULAR
RELATED ARTICLES