Di Balik Pabrik Drone, Wanita Afrika Terjebak Jaring Eksploitasi di Rusia
Ratusan wanita muda Afrika terjebak dalam eksploitasi di pabrik drone Rusia setelah direkrut dengan janji pekerjaan bergaji tinggi.
Context.id, JAKARTA — Di tengah hiruk-pikuk industri militer yang berkembang pesat, sekitar 200 wanita muda asal Afrika, berusia 18 hingga 22 tahun, terperangkap dalam sebuah realitas pahit yang jauh dari harapan mereka.
Mereka direkrut untuk bekerja di Zona Ekonomi Khusus Alabuga, pabrik di Republik Tatarstan, yang memproduksi pesawat tak berawak serang Shahed yang dirancang untuk digunakan dalam konflik di Ukraina.
Melansir Fast Company, proses perekrutan yang menyesatkan ini menjanjikan kesempatan kerja yang layak dan pendidikan yang berharga, namun kenyataannya sungguh berbeda.
Ketika diwawancarai oleh Associated Press (AP), para wanita mengungkapkan kekecewaan yang mendalam.
Awalnya, mereka dijanjikan program kerja sambil belajar dengan gaji yang menggiurkan, namun setelah tiba, mereka menemukan diri mereka terjebak dalam jam kerja panjang dan pengawasan ketat.
"Kami bekerja di bawah pengawasan terus-menerus, terpapar bahan kimia berbahaya, dan menerima upah yang jauh lebih rendah dari yang dijanjikan," keluh salah satu pekerja.
Citra satelit menunjukkan pabrik ini berkembang pesat, dengan rencana untuk memproduksi hingga 6.000 drone per tahun pada 2025.
Upaya perekrutan ini menjangkau berbagai negara, termasuk Uganda, Rwanda, Kenya, Sudan Selatan, dan Sri Lanka.
Mereka datang dengan harapan mendapatkan pengalaman berharga dan imbalan finansial yang layak. Namun, setelah tiba di pabrik, harapan tersebut sirna.
Mereka menghadapi jam kerja yang melelahkan, sering kali mencapai 12 jam sehari, dalam kondisi yang menyengsarakan.
"Saya menyesal, dan saya mengutuk hari ketika saya mulai membuat semua hal itu," kata seorang wanita yang merasa terperangkap dalam situasi yang sulit.
Para pekerja hidup dalam asrama yang dikontrol ketat, di mana semua gerakan mereka diawasi. Mereka tidak diizinkan membawa ponsel ke dalam pabrik dan hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga melalui pesan yang ketat dan terpantau.
Hal ini menciptakan suasana ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang mendalam dalam hidup mereka sehari-hari.
Keadaan semakin mengkhawatirkan ketika beberapa wanita mengungkapkan dampak fisik dari pekerjaan mereka. Bekerja dengan bahan kimia kaustik tanpa perlindungan yang memadai, mereka mengalami iritasi serius pada kulit.
"Zat kimia itu membuat wajah saya terasa seperti ditusuk jarum kecil, dan 'lubang-lubang kecil' muncul di pipi saya," ungkap salah satu pekerja, menjelaskan betapa menyiksanya pekerjaan itu.
Eksploitasi
Meskipun ada beberapa laporan tentang gaji yang lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan lain yang mereka temui, banyak dari mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil.
Awalnya dijanjikan $700 per bulan, namun kenyataannya gaji mereka sering kali turun menjadi lebih dari $500.
“Mereka diperlakukan seperti keledai, diperbudak,” ungkap salah satu pekerja yang frustrasi, mencerminkan perasaan yang dirasakan oleh banyak rekan mereka.
Kondisi kerja di Alabuga telah memicu keprihatinan serius dari organisasi hak asasi manusia.
Menurut Ravina Shamdasani, juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, tindakan Rusia dalam merekrut wanita muda dari negara-negara ini dapat memenuhi kriteria perdagangan manusia jika terbukti menyesatkan dan eksploitasi.
"Kami ingin memastikan bahwa para wanita ini tidak berakhir dalam situasi yang mempermalukan mereka," kata Shamdasani seperti mengutip AP
Menteri Gender, Ketenagakerjaan, dan Pembangunan Sosial Uganda, Betty Amongi, menekankan bahwa kementeriannya telah menyampaikan kekhawatiran terkait perekrutan ini kepada kedutaan di Moskow.
"Kami ingin mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka selama berada di Rusia," tambahnya, menunjukkan betapa rentannya posisi para pekerja ini.
Dalam latar belakang konflik yang berkepanjangan, pabrik Alabuga berdiri sebagai simbol dari hubungan Rusia dan Iran yang semakin erat, terutama dalam produksi senjata untuk perang di Ukraina.
Sementara banyak yang berharap mendapatkan peluang baru, kenyataan yang mereka hadapi menunjukkan sisi gelap dari ambisi industri militer Rusia.
Dari mimpi yang cerah menjadi kenyataan yang kelam, wanita-wanita muda ini kini terjebak dalam pusaran ketidakpastian dan eksploitasi.
Dengan meningkatnya jumlah pesawat tak berawak yang diluncurkan ke Ukraina dan gencarnya aksi perekrutan ini, masa depan mereka tampak semakin tidak pasti.
Pabrik Alabuga, dengan semua ambisi produksinya, harus menghadapi kenyataan pahit dari manusia yang terperangkap di dalamnya.
Tipuan medsos
Melansir Kyiv Post, tidak ada akhir yang jelas bagi mereka yang kini terjebak dalam sistem yang dirancang untuk memanfaatkan, bukan memberdayakan.
Upaya perekrutan Alabuga Start secara aktif memanfaatkan platform media sosial seperti TikTok, menampilkan video yang menarik dengan wanita Afrika yang tersenyum membersihkan lantai, mengarahkan derek, atau mengunjungi situs budaya Tatarstan.
Namun, tidak ada satu pun dari video ini yang menyebutkan peran pabrik tersebut dalam memproduksi pesawat tak berawak untuk perang.
Program ini didukung oleh kementerian pendidikan di Uganda dan Ethiopia, yang menggambarkannya sebagai cara untuk mendapatkan uang dan mempelajari keterampilan.
Awalnya diiklankan sebagai program kerja-studi, namun kemudian diubah menjadi program yang jelas-jelas menipu. "Kami tidak tahu bahwa pekerjaan kami sebenarnya akan melibatkan pembuatan drone," ungkap seorang wanita yang merasa terjebak.
Kesesatan informasi ini menunjukkan betapa mudahnya para pekerja ini tertipu oleh janji-janji palsu.
Ketika wanita-wanita muda ini berjuang untuk bertahan hidup di tengah kondisi kerja yang sulit, dunia internasional perlu memberikan perhatian lebih kepada situasi mereka.
Keberadaan mereka di pabrik Alabuga adalah pengingat bahwa di balik teknologi modern dan industri militer yang berkembang pesat, ada kisah manusia yang terabaikan dan terperangkap dalam sistem yang eksploitatif.
RELATED ARTICLES
Di Balik Pabrik Drone, Wanita Afrika Terjebak Jaring Eksploitasi di Rusia
Ratusan wanita muda Afrika terjebak dalam eksploitasi di pabrik drone Rusia setelah direkrut dengan janji pekerjaan bergaji tinggi.
Context.id, JAKARTA — Di tengah hiruk-pikuk industri militer yang berkembang pesat, sekitar 200 wanita muda asal Afrika, berusia 18 hingga 22 tahun, terperangkap dalam sebuah realitas pahit yang jauh dari harapan mereka.
Mereka direkrut untuk bekerja di Zona Ekonomi Khusus Alabuga, pabrik di Republik Tatarstan, yang memproduksi pesawat tak berawak serang Shahed yang dirancang untuk digunakan dalam konflik di Ukraina.
Melansir Fast Company, proses perekrutan yang menyesatkan ini menjanjikan kesempatan kerja yang layak dan pendidikan yang berharga, namun kenyataannya sungguh berbeda.
Ketika diwawancarai oleh Associated Press (AP), para wanita mengungkapkan kekecewaan yang mendalam.
Awalnya, mereka dijanjikan program kerja sambil belajar dengan gaji yang menggiurkan, namun setelah tiba, mereka menemukan diri mereka terjebak dalam jam kerja panjang dan pengawasan ketat.
"Kami bekerja di bawah pengawasan terus-menerus, terpapar bahan kimia berbahaya, dan menerima upah yang jauh lebih rendah dari yang dijanjikan," keluh salah satu pekerja.
Citra satelit menunjukkan pabrik ini berkembang pesat, dengan rencana untuk memproduksi hingga 6.000 drone per tahun pada 2025.
Upaya perekrutan ini menjangkau berbagai negara, termasuk Uganda, Rwanda, Kenya, Sudan Selatan, dan Sri Lanka.
Mereka datang dengan harapan mendapatkan pengalaman berharga dan imbalan finansial yang layak. Namun, setelah tiba di pabrik, harapan tersebut sirna.
Mereka menghadapi jam kerja yang melelahkan, sering kali mencapai 12 jam sehari, dalam kondisi yang menyengsarakan.
"Saya menyesal, dan saya mengutuk hari ketika saya mulai membuat semua hal itu," kata seorang wanita yang merasa terperangkap dalam situasi yang sulit.
Para pekerja hidup dalam asrama yang dikontrol ketat, di mana semua gerakan mereka diawasi. Mereka tidak diizinkan membawa ponsel ke dalam pabrik dan hanya bisa berkomunikasi dengan keluarga melalui pesan yang ketat dan terpantau.
Hal ini menciptakan suasana ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang mendalam dalam hidup mereka sehari-hari.
Keadaan semakin mengkhawatirkan ketika beberapa wanita mengungkapkan dampak fisik dari pekerjaan mereka. Bekerja dengan bahan kimia kaustik tanpa perlindungan yang memadai, mereka mengalami iritasi serius pada kulit.
"Zat kimia itu membuat wajah saya terasa seperti ditusuk jarum kecil, dan 'lubang-lubang kecil' muncul di pipi saya," ungkap salah satu pekerja, menjelaskan betapa menyiksanya pekerjaan itu.
Eksploitasi
Meskipun ada beberapa laporan tentang gaji yang lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan lain yang mereka temui, banyak dari mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil.
Awalnya dijanjikan $700 per bulan, namun kenyataannya gaji mereka sering kali turun menjadi lebih dari $500.
“Mereka diperlakukan seperti keledai, diperbudak,” ungkap salah satu pekerja yang frustrasi, mencerminkan perasaan yang dirasakan oleh banyak rekan mereka.
Kondisi kerja di Alabuga telah memicu keprihatinan serius dari organisasi hak asasi manusia.
Menurut Ravina Shamdasani, juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, tindakan Rusia dalam merekrut wanita muda dari negara-negara ini dapat memenuhi kriteria perdagangan manusia jika terbukti menyesatkan dan eksploitasi.
"Kami ingin memastikan bahwa para wanita ini tidak berakhir dalam situasi yang mempermalukan mereka," kata Shamdasani seperti mengutip AP
Menteri Gender, Ketenagakerjaan, dan Pembangunan Sosial Uganda, Betty Amongi, menekankan bahwa kementeriannya telah menyampaikan kekhawatiran terkait perekrutan ini kepada kedutaan di Moskow.
"Kami ingin mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka selama berada di Rusia," tambahnya, menunjukkan betapa rentannya posisi para pekerja ini.
Dalam latar belakang konflik yang berkepanjangan, pabrik Alabuga berdiri sebagai simbol dari hubungan Rusia dan Iran yang semakin erat, terutama dalam produksi senjata untuk perang di Ukraina.
Sementara banyak yang berharap mendapatkan peluang baru, kenyataan yang mereka hadapi menunjukkan sisi gelap dari ambisi industri militer Rusia.
Dari mimpi yang cerah menjadi kenyataan yang kelam, wanita-wanita muda ini kini terjebak dalam pusaran ketidakpastian dan eksploitasi.
Dengan meningkatnya jumlah pesawat tak berawak yang diluncurkan ke Ukraina dan gencarnya aksi perekrutan ini, masa depan mereka tampak semakin tidak pasti.
Pabrik Alabuga, dengan semua ambisi produksinya, harus menghadapi kenyataan pahit dari manusia yang terperangkap di dalamnya.
Tipuan medsos
Melansir Kyiv Post, tidak ada akhir yang jelas bagi mereka yang kini terjebak dalam sistem yang dirancang untuk memanfaatkan, bukan memberdayakan.
Upaya perekrutan Alabuga Start secara aktif memanfaatkan platform media sosial seperti TikTok, menampilkan video yang menarik dengan wanita Afrika yang tersenyum membersihkan lantai, mengarahkan derek, atau mengunjungi situs budaya Tatarstan.
Namun, tidak ada satu pun dari video ini yang menyebutkan peran pabrik tersebut dalam memproduksi pesawat tak berawak untuk perang.
Program ini didukung oleh kementerian pendidikan di Uganda dan Ethiopia, yang menggambarkannya sebagai cara untuk mendapatkan uang dan mempelajari keterampilan.
Awalnya diiklankan sebagai program kerja-studi, namun kemudian diubah menjadi program yang jelas-jelas menipu. "Kami tidak tahu bahwa pekerjaan kami sebenarnya akan melibatkan pembuatan drone," ungkap seorang wanita yang merasa terjebak.
Kesesatan informasi ini menunjukkan betapa mudahnya para pekerja ini tertipu oleh janji-janji palsu.
Ketika wanita-wanita muda ini berjuang untuk bertahan hidup di tengah kondisi kerja yang sulit, dunia internasional perlu memberikan perhatian lebih kepada situasi mereka.
Keberadaan mereka di pabrik Alabuga adalah pengingat bahwa di balik teknologi modern dan industri militer yang berkembang pesat, ada kisah manusia yang terabaikan dan terperangkap dalam sistem yang eksploitatif.
POPULAR
RELATED ARTICLES