Penyalahgunaan Informasi, Mengapa Bos Medsos Jadi Tersangka Utama?
Pemilik media sosial punya kemampuan untuk melakukan misinformasi dan menyebarkan kebohongan kepada pengikut atau pengguna platformnya
Context.id, JAKARTA - Pemilik media sosial, politisi dan pemerintah merupakan ancaman terbesar ekosistem informasi yang bermutu dan baik. Tiga entitas itu justru dianggap sebagai penyebar misinformasi dan seringkali sulit dimintai pertanggung jawabannya.
Hal itu mengemuka dalam panel internasional tentang lingkungan informasi (IPIE), semacam panel yang berisi ratusan ahli atau akademisi dari berbagai negara seperti China, India, AS, Uni Eropa dengan pelbagai disiplin ilmu yang merujuk pada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB.
Melansir Guardian, pemilik platform media sosial menduduki urutan pertama dari survei tentang ancaman kredibilitas informasi yang terpercaya diikuti pemerintah lalu politisi.
Salah seorang pendiri IPIE, Philip Howard, seorang profesor studi internet di Universitas Oxford, mengatakan laporan tersebut menunjukkan ekosistem informasi global berada pada “titik kritis”.
“Salah satu masalah paling mendesak yang disoroti oleh survei kami adalah pengaruh pemilik platform media sosial. Kendali mereka atas kebijakan distribusi dan moderasi konten berdampak signifikan pada kualitas dan integritas informasi. Kekuatan yang tak terkendali dari entitas-entitas ini menimbulkan risiko serius bagi kesehatan lingkungan informasi global kita,” katanya.
Howard mengatakan istilah "lingkungan atau ekosistem informasi" mengacu pada organisasi, konten, dan orang-orang yang mendukung konsumsi informasi atau berita harian dari jutaan orang yang ada di seluruh dunia.
Laporan tersebut tidak mengidentifikasi pemilik platform teknologi tertentu tetapi Howard, salah satu penulis laporan tersebut, mengatakan kepemilikan Elon Musk atas X – platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter – telah menimbulkan kekhawatiran.
Beberapa kali Musk berkicau tentang pilihan politiknya, sikap rasisnya termasuk juga soal melakukan pompom terkait kripto miliknya.
Selain Musk, Mark Zuckerberg, taipan teknologi pemilik Facebook dan Instagram juga tidak lepas dari sorotan ini. Seorang whistleblower di Meta (induk FB dan IG) mengatakan Zuckerberg memberikan prioritas yang lebih rendah untuk memoderasi konten yang tidak berbahasa Inggris.
Howard menambahkan bahwa TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance yang berbasis di Beijing juga ikut disoroti karena dianggap rentan terhadap tekanan dari pemerintah Cina.
Sebelumnya CEO TikTok, Shou Zi Chew saat disidang oleh parlemen AS pernah menyatakan sikap dengan tegas kalau pemilik platform tersebut "bukan agen China atau negara lain manapun" dan dirinya adalah warga negara Singapura.
Sementara Meta mengatakan pihaknya mengulas konten di Facebook dan Instagram dalam lebih dari 70 bahasa.
Sekitar dua pertiga responden survei memperkirakan lingkungan informasi akan semakin memburuk di masa mendatang dibandingkan sebelum-sebelumnya.
Teori konspirasi
IPIE diluncurkan sebagai organisasi nonpemerintah tahun lalu setelah memperingatkan algoritma yang bias, manipulasi, dan misinformasi merupakan "ancaman global dan eksistensial".
Laporan tersebut memperingatkan bahwa banyak politisi telah “memanfaatkan” teori konspirasi dan misinformasi untuk keuntungan politik, yang berdampak pada terkikisnya kepercayaan terhadap sumber informasi yang dapat diandalkan dan lembaga-lembaga demokrasi.
Hampir dua pertiga dari para ahli yang disurvei merasa bahwa video, suara, gambar, dan teks yang dihasilkan AI telah memberikan dampak negatif pada lingkungan informasi, sementara proporsi yang sama yakin hal itu memperbesar masalah misinformasi.
“Alat AI generatif telah menawarkan peluang baru untuk memproduksi propaganda dalam skala besar,” kata laporan tersebut.
Kekhawatiran utama terkait AI adalah video yang dihasilkan AI, diikuti oleh suara. Survei menemukan bahwa para ahli di negara-negara berkembang lebih khawatir tentang dampak negatif AI generatif daripada para ahli di negara-negara maju.
Mayoritas responden juga menemukan sisi positif AI dan percaya teknologi ini memberikan manfaat seperti membantu mendeteksi konten yang menyesatkan dan membantu jurnalis memilah-milah kumpulan data yang besar.
Ketika ditanya bagaimana cara mengatasi masalah yang disoroti dalam laporan, responden menyarankan untuk mempromosikan media yang bebas dan independen; menerapkan kampanye literasi digital; mendorong pengecekan fakta; dan memberi label konten yang menyesatkan.
RELATED ARTICLES
Penyalahgunaan Informasi, Mengapa Bos Medsos Jadi Tersangka Utama?
Pemilik media sosial punya kemampuan untuk melakukan misinformasi dan menyebarkan kebohongan kepada pengikut atau pengguna platformnya
Context.id, JAKARTA - Pemilik media sosial, politisi dan pemerintah merupakan ancaman terbesar ekosistem informasi yang bermutu dan baik. Tiga entitas itu justru dianggap sebagai penyebar misinformasi dan seringkali sulit dimintai pertanggung jawabannya.
Hal itu mengemuka dalam panel internasional tentang lingkungan informasi (IPIE), semacam panel yang berisi ratusan ahli atau akademisi dari berbagai negara seperti China, India, AS, Uni Eropa dengan pelbagai disiplin ilmu yang merujuk pada Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB.
Melansir Guardian, pemilik platform media sosial menduduki urutan pertama dari survei tentang ancaman kredibilitas informasi yang terpercaya diikuti pemerintah lalu politisi.
Salah seorang pendiri IPIE, Philip Howard, seorang profesor studi internet di Universitas Oxford, mengatakan laporan tersebut menunjukkan ekosistem informasi global berada pada “titik kritis”.
“Salah satu masalah paling mendesak yang disoroti oleh survei kami adalah pengaruh pemilik platform media sosial. Kendali mereka atas kebijakan distribusi dan moderasi konten berdampak signifikan pada kualitas dan integritas informasi. Kekuatan yang tak terkendali dari entitas-entitas ini menimbulkan risiko serius bagi kesehatan lingkungan informasi global kita,” katanya.
Howard mengatakan istilah "lingkungan atau ekosistem informasi" mengacu pada organisasi, konten, dan orang-orang yang mendukung konsumsi informasi atau berita harian dari jutaan orang yang ada di seluruh dunia.
Laporan tersebut tidak mengidentifikasi pemilik platform teknologi tertentu tetapi Howard, salah satu penulis laporan tersebut, mengatakan kepemilikan Elon Musk atas X – platform yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter – telah menimbulkan kekhawatiran.
Beberapa kali Musk berkicau tentang pilihan politiknya, sikap rasisnya termasuk juga soal melakukan pompom terkait kripto miliknya.
Selain Musk, Mark Zuckerberg, taipan teknologi pemilik Facebook dan Instagram juga tidak lepas dari sorotan ini. Seorang whistleblower di Meta (induk FB dan IG) mengatakan Zuckerberg memberikan prioritas yang lebih rendah untuk memoderasi konten yang tidak berbahasa Inggris.
Howard menambahkan bahwa TikTok, yang dimiliki oleh ByteDance yang berbasis di Beijing juga ikut disoroti karena dianggap rentan terhadap tekanan dari pemerintah Cina.
Sebelumnya CEO TikTok, Shou Zi Chew saat disidang oleh parlemen AS pernah menyatakan sikap dengan tegas kalau pemilik platform tersebut "bukan agen China atau negara lain manapun" dan dirinya adalah warga negara Singapura.
Sementara Meta mengatakan pihaknya mengulas konten di Facebook dan Instagram dalam lebih dari 70 bahasa.
Sekitar dua pertiga responden survei memperkirakan lingkungan informasi akan semakin memburuk di masa mendatang dibandingkan sebelum-sebelumnya.
Teori konspirasi
IPIE diluncurkan sebagai organisasi nonpemerintah tahun lalu setelah memperingatkan algoritma yang bias, manipulasi, dan misinformasi merupakan "ancaman global dan eksistensial".
Laporan tersebut memperingatkan bahwa banyak politisi telah “memanfaatkan” teori konspirasi dan misinformasi untuk keuntungan politik, yang berdampak pada terkikisnya kepercayaan terhadap sumber informasi yang dapat diandalkan dan lembaga-lembaga demokrasi.
Hampir dua pertiga dari para ahli yang disurvei merasa bahwa video, suara, gambar, dan teks yang dihasilkan AI telah memberikan dampak negatif pada lingkungan informasi, sementara proporsi yang sama yakin hal itu memperbesar masalah misinformasi.
“Alat AI generatif telah menawarkan peluang baru untuk memproduksi propaganda dalam skala besar,” kata laporan tersebut.
Kekhawatiran utama terkait AI adalah video yang dihasilkan AI, diikuti oleh suara. Survei menemukan bahwa para ahli di negara-negara berkembang lebih khawatir tentang dampak negatif AI generatif daripada para ahli di negara-negara maju.
Mayoritas responden juga menemukan sisi positif AI dan percaya teknologi ini memberikan manfaat seperti membantu mendeteksi konten yang menyesatkan dan membantu jurnalis memilah-milah kumpulan data yang besar.
Ketika ditanya bagaimana cara mengatasi masalah yang disoroti dalam laporan, responden menyarankan untuk mempromosikan media yang bebas dan independen; menerapkan kampanye literasi digital; mendorong pengecekan fakta; dan memberi label konten yang menyesatkan.
POPULAR
RELATED ARTICLES