Share

Stories 25 September 2024

China Kontrol Ketat Kebebasan Akademik di Hong Kong, Tak Ada Lagi Protes!

Mahasiswa dan akademisi Hong Kong hadapi sensor dan pembatasan hak yang semakin meningkat

Student protest/Erasmus Magazine

Context.id, JAKARTA - Kebebasan akademis di  Hong Kong telah menurun drastis sejak pemerintah China  memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional yang ketat di negara kota itu pada 30 Juni 2020 silam, tulis laporan yang dirilis Human Rights Watch dan Dewan Demokrasi Hong Kong, Rabu (25/9). 

Laporan tersebut menyebutkan otoritas universitas telah memberlakukan kontrol dan pembatasan yang lebih besar pada aktivitas mahasiswa dan banyak di antara mereka yang kritis baik itu mahasiswa maupun dosen secara perlahan mulai menutup mulut serta tidak berani bersikap kritis. 

"Mahasiswa, akademisi, dan administrator, terutama mereka yang berasal dari Hong Kong yang mempelajari isu-isu sosial-politik kontemporer, merasa seolah-olah mereka hidup di bawah mikroskop," kata laporan seperti dikutip Nikkei Asia. 

Beberapa analis mengatakan definisi yang tidak jelas mengenai apa yang merupakan pelanggaran hukum keamanan telah menimbulkan cukup menakutkan bag mahasiswa dan anggota fakultas di universitas-universitas Hong Kong.

Laporan itu mengatakan delapan universitas negeri Hong Kong telah dikelola oleh orang-orang yang memiliki pandangan yang disukai oleh Beijing setelah pemberlakuan undang-undang tersebut pada 2020. 



Sejak itu, pejabat universitas telah meningkatkan tindakan keras terhadap serikat mahasiswa dan melarang simbol atau acara yang dianggap mempromosikan nilai-nilai pro-demokrasi.

"Pejabat universitas telah menghukum mahasiswa karena mengadakan protes dan pertemuan damai, dan secara luas menyensor publikasi, komunikasi, dan acara mahasiswa," bunyi laporan itu.

"Mahasiswa dan staf pengajar Hong Kong, yang terbiasa dengan kebebasan akademis, kini harus berhati-hati untuk menghindari hukuman atas apa yang mereka ajarkan, teliti, dan publikasikan, dan bahkan dengan siapa mereka bergaul,” kata  Maya Wang , direktur asosiasi China di Human Rights Watch.

Wang juga mengatakan sebelumnya banyak mahasiswa dan akademisi terlibat dalam protes tahun 2019 atas rancangan undang-undang ekstradisi, salah satu prioritas pemerintah China setelah penerapan undang-undang tersebut adalah "memberlakukan kontrol ideologis" atas universitas.

"Menurunnya kebebasan akademis di universitas-universitas Hong Kong merupakan bagian dari upaya Beijing untuk memaksakan kontrol ideologis atas seluruh kota," katanya

Pihak administrasi universitas telah berulang kali melecehkan serikat mahasiswa yang dulunya berpengaruh di kedelapan universitas, sehingga mereka tidak dapat lagi berfungsi secara efektif sebagai perwakilan terpilih dari badan mahasiswa. 

Mereka telah membersihkan papan pengumuman yang dikenal sebagai "Tembok Demokrasi," dan menyingkirkan tugu peringatan dari kampus yang mengingatkan pada Pembantaian Tiananmen tahun 1989 yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap para pengunjuk rasa pro-demokrasi. 

Pihak administrasi universitas juga telah memberikan sanksi kepada mahasiswa yang mengadakan protes dan pertemuan damai; menyensor publikasi, komunikasi, dan acara mahasiswa; dan menggunakan petugas keamanan universitas untuk mengawasi mahasiswa di tempat umum. 

Tak satu pun dari delapan universitas menanggapi permintaan komentar melalui email dari Human Rights Watch hingga batas waktu yang ditentukan.

Sensor dan pengawasan ketat

Sebagian besar dari 33 mahasiswa dan akademisi yang diwawancarai untuk laporan tersebut mengatakan penyensoran diri merupakan praktik umum di universitas-universitas di Hong Kong, terutama pada topik-topik sosial-politik yang berkaitan dengan China dan Hong Kong.

"Mereka melakukan hal ini saat mengekspresikan diri di kelas, saat menulis dan meneliti artikel akademis, dan saat mengundang pembicara untuk konferensi akademis," kata laporan itu, seraya menambahkan bahwa akademisi yang mengajar urusan terkini Hong Kong dan Tiongkok merasa "sangat rentan."

Dalam beberapa kasus, pejabat universitas telah meminta akademisi di bidang ilmu sosial untuk berhenti menawarkan kursus tentang topik yang dianggap sensitif oleh Beijing. Yang lain menghadapi penyensoran yang diberlakukan oleh administrator universitas atau penerbit akademis.

Beberapa akademisi mengatakan maraknya penyensoran diri di universitas-universitas di Hong Kong akan mengurangi pemahaman internasional mengenai dinamika di China.

Karena manajemen universitas dipenuhi oleh pendukung posisi pemerintah China, laporan itu mengatakan administrator universitas telah bekerja sama dengan otoritas Cina dan Hong Kong untuk melecehkan, mengintimidasi, atau bahkan menyingkirkan akademisi yang menyuarakan pendapat berbeda.

"Pemerintah melakukannya dengan cara mencemarkan nama baik dan mengintimidasi para akademisi yang dianggap memiliki pandangan liberal atau pro-demokrasi di media milik negara dan menolak atau tidak mengeluarkan visa bagi akademisi asing yang mengungkapkan pendapat tersebut," tulis laporan itu, seraya menambahkan bahwa universitas kemudian akan memecat, melepaskan atau menolak masa jabatan bagi para akademisi ini.

Human Rights Watch dan Dewan Demokrasi Hong Kong mengatakan upaya pemerintah Tiongkok untuk "membersihkan" universitas-universitas di Hong Kong telah menghasilkan "harmonisasi" opini di kalangan akademisi di Hong Kong. 

Mereka juga membantu memperkuat klaim otoritas China dan Hong Kong bahwa suara-suara pro-demokrasi kini "berada dalam kelompok minoritas."

Anna Kwok, direktur eksekutif di Dewan Demokrasi Hong Kong mengatakan penurunan kebebasan akademis di Hong Kong memiliki implikasi global karena universitas-universitas di Hong Kong telah lama menjadi jendela penting bagi dunia tentang apa yang terjadi di China. 

Karena beberapa universitas di Hong Kong memiliki sejumlah besar proyek penelitian bersama dan program pertukaran dengan universitas di luar negeri, Human Rights Watch mendorong universitas asing melakukan protes kepada China. 

"Universitas asing seharusnya menghindari mengangkat aktor-aktor represif dan menyediakan beasiswa atau fellowship kepada mahasiswa dan akademisi Hong Kong yang terancam untuk memastikan mereka dapat terus melakukan penelitian di luar Hong Kong tanpa rasa takut," katanya.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 25 September 2024

China Kontrol Ketat Kebebasan Akademik di Hong Kong, Tak Ada Lagi Protes!

Mahasiswa dan akademisi Hong Kong hadapi sensor dan pembatasan hak yang semakin meningkat

Student protest/Erasmus Magazine

Context.id, JAKARTA - Kebebasan akademis di  Hong Kong telah menurun drastis sejak pemerintah China  memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional yang ketat di negara kota itu pada 30 Juni 2020 silam, tulis laporan yang dirilis Human Rights Watch dan Dewan Demokrasi Hong Kong, Rabu (25/9). 

Laporan tersebut menyebutkan otoritas universitas telah memberlakukan kontrol dan pembatasan yang lebih besar pada aktivitas mahasiswa dan banyak di antara mereka yang kritis baik itu mahasiswa maupun dosen secara perlahan mulai menutup mulut serta tidak berani bersikap kritis. 

"Mahasiswa, akademisi, dan administrator, terutama mereka yang berasal dari Hong Kong yang mempelajari isu-isu sosial-politik kontemporer, merasa seolah-olah mereka hidup di bawah mikroskop," kata laporan seperti dikutip Nikkei Asia. 

Beberapa analis mengatakan definisi yang tidak jelas mengenai apa yang merupakan pelanggaran hukum keamanan telah menimbulkan cukup menakutkan bag mahasiswa dan anggota fakultas di universitas-universitas Hong Kong.

Laporan itu mengatakan delapan universitas negeri Hong Kong telah dikelola oleh orang-orang yang memiliki pandangan yang disukai oleh Beijing setelah pemberlakuan undang-undang tersebut pada 2020. 



Sejak itu, pejabat universitas telah meningkatkan tindakan keras terhadap serikat mahasiswa dan melarang simbol atau acara yang dianggap mempromosikan nilai-nilai pro-demokrasi.

"Pejabat universitas telah menghukum mahasiswa karena mengadakan protes dan pertemuan damai, dan secara luas menyensor publikasi, komunikasi, dan acara mahasiswa," bunyi laporan itu.

"Mahasiswa dan staf pengajar Hong Kong, yang terbiasa dengan kebebasan akademis, kini harus berhati-hati untuk menghindari hukuman atas apa yang mereka ajarkan, teliti, dan publikasikan, dan bahkan dengan siapa mereka bergaul,” kata  Maya Wang , direktur asosiasi China di Human Rights Watch.

Wang juga mengatakan sebelumnya banyak mahasiswa dan akademisi terlibat dalam protes tahun 2019 atas rancangan undang-undang ekstradisi, salah satu prioritas pemerintah China setelah penerapan undang-undang tersebut adalah "memberlakukan kontrol ideologis" atas universitas.

"Menurunnya kebebasan akademis di universitas-universitas Hong Kong merupakan bagian dari upaya Beijing untuk memaksakan kontrol ideologis atas seluruh kota," katanya

Pihak administrasi universitas telah berulang kali melecehkan serikat mahasiswa yang dulunya berpengaruh di kedelapan universitas, sehingga mereka tidak dapat lagi berfungsi secara efektif sebagai perwakilan terpilih dari badan mahasiswa. 

Mereka telah membersihkan papan pengumuman yang dikenal sebagai "Tembok Demokrasi," dan menyingkirkan tugu peringatan dari kampus yang mengingatkan pada Pembantaian Tiananmen tahun 1989 yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap para pengunjuk rasa pro-demokrasi. 

Pihak administrasi universitas juga telah memberikan sanksi kepada mahasiswa yang mengadakan protes dan pertemuan damai; menyensor publikasi, komunikasi, dan acara mahasiswa; dan menggunakan petugas keamanan universitas untuk mengawasi mahasiswa di tempat umum. 

Tak satu pun dari delapan universitas menanggapi permintaan komentar melalui email dari Human Rights Watch hingga batas waktu yang ditentukan.

Sensor dan pengawasan ketat

Sebagian besar dari 33 mahasiswa dan akademisi yang diwawancarai untuk laporan tersebut mengatakan penyensoran diri merupakan praktik umum di universitas-universitas di Hong Kong, terutama pada topik-topik sosial-politik yang berkaitan dengan China dan Hong Kong.

"Mereka melakukan hal ini saat mengekspresikan diri di kelas, saat menulis dan meneliti artikel akademis, dan saat mengundang pembicara untuk konferensi akademis," kata laporan itu, seraya menambahkan bahwa akademisi yang mengajar urusan terkini Hong Kong dan Tiongkok merasa "sangat rentan."

Dalam beberapa kasus, pejabat universitas telah meminta akademisi di bidang ilmu sosial untuk berhenti menawarkan kursus tentang topik yang dianggap sensitif oleh Beijing. Yang lain menghadapi penyensoran yang diberlakukan oleh administrator universitas atau penerbit akademis.

Beberapa akademisi mengatakan maraknya penyensoran diri di universitas-universitas di Hong Kong akan mengurangi pemahaman internasional mengenai dinamika di China.

Karena manajemen universitas dipenuhi oleh pendukung posisi pemerintah China, laporan itu mengatakan administrator universitas telah bekerja sama dengan otoritas Cina dan Hong Kong untuk melecehkan, mengintimidasi, atau bahkan menyingkirkan akademisi yang menyuarakan pendapat berbeda.

"Pemerintah melakukannya dengan cara mencemarkan nama baik dan mengintimidasi para akademisi yang dianggap memiliki pandangan liberal atau pro-demokrasi di media milik negara dan menolak atau tidak mengeluarkan visa bagi akademisi asing yang mengungkapkan pendapat tersebut," tulis laporan itu, seraya menambahkan bahwa universitas kemudian akan memecat, melepaskan atau menolak masa jabatan bagi para akademisi ini.

Human Rights Watch dan Dewan Demokrasi Hong Kong mengatakan upaya pemerintah Tiongkok untuk "membersihkan" universitas-universitas di Hong Kong telah menghasilkan "harmonisasi" opini di kalangan akademisi di Hong Kong. 

Mereka juga membantu memperkuat klaim otoritas China dan Hong Kong bahwa suara-suara pro-demokrasi kini "berada dalam kelompok minoritas."

Anna Kwok, direktur eksekutif di Dewan Demokrasi Hong Kong mengatakan penurunan kebebasan akademis di Hong Kong memiliki implikasi global karena universitas-universitas di Hong Kong telah lama menjadi jendela penting bagi dunia tentang apa yang terjadi di China. 

Karena beberapa universitas di Hong Kong memiliki sejumlah besar proyek penelitian bersama dan program pertukaran dengan universitas di luar negeri, Human Rights Watch mendorong universitas asing melakukan protes kepada China. 

"Universitas asing seharusnya menghindari mengangkat aktor-aktor represif dan menyediakan beasiswa atau fellowship kepada mahasiswa dan akademisi Hong Kong yang terancam untuk memastikan mereka dapat terus melakukan penelitian di luar Hong Kong tanpa rasa takut," katanya.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Universitas Brown Kembalikan Lahan Bersejarah kepada Suku Indian Pokanoket

Brown University mengalihkan kepemilikan lahannya di Mount Hope kepada suku Pokanoket untuk menghormati warisan budaya dan sejarah leluhur mereka.

Context.id . 06 December 2024

Myanmar Menjadi Negara dengan Jumlah Korban Ranjau Darat Terbanyak

Laporan Landmine Monitor 2024 mencatat warga sipil, termasuk anak-anak, menanggung beban paling besar akibat ranjau darat

Context.id . 05 December 2024

Militer China Terus Memperbarui Senjata Hipersonik dan Elektromagnetiknya

China terus melakukan uji coba senjata kendaraan hipersonik dan elektromagnetiknya yang bisa melumpuhkan kawasan strategis musuh

Context.id . 04 December 2024

Bendung Dampak Perang Dagang Perusahaan China Merekrut Eksekutif Global

Serangan terhadap ekonomi China melalui perang tarif membuat perusahaan di Negeri Tirai Bambu ini mengambil strategi baru, merekrut eksekutif yang ...

Context.id . 04 December 2024