Stories - 03 September 2024
Bergentayangan Lowongan Kerja Ghost Jobs, Apakah Itu?
Akhir-akhir ini, banyak sekali lamaran pekerjaan yang tidak digubris rekruter. Tapi apakah kamu tahu kalau itu semua adalah dampak dari ghost job?
Context.id, JAKARTA - Apakah kamu pernah kirim lamaran pekerjaan tapi belum dapat jawaban setelah sekian lama? Hati-hati, kamu mungkin sudah melamar kepada 'Ghost Jobs'!
Menurut Forbes, 'Ghost jobs' atau yang disebut sebagai pekerjaan hantu adalah lowongan yang diposting perusahaan dalam beragam job portal atau situs cari kerja, tetapi perusahaan tidak merekrut kandidat yang melamar.
Dari situs karir Resume Builder, 40% perusahaan mengatakan bahwa mereka telah memasang iklan lowongan kerja palsu tahun ini. Tiga dari 10 perusahaan memiliki iklan lowongan kerja palsu di situs mereka atau di papan lowongan kerja.
Namun, 'ghost jobs' berbeda dengan penipuan pekerjaan, karena penipuan pekerjaan adalah tindakan di mana penjahat berusaha memperoleh informasi pribadi pelamar.
"Lowongan kerja hantu sebenarnya bukan penipuan. Lowongan kerja itu berasal dari perusahaan sungguhan, tetapi lowongan kerja itu sebenarnya tidak ada," kata Geofrey Scott, manajer konten senior dan manajer perekrutan di Resume Genius.
"Mereka mungkin tertarik untuk merekrut untuk suatu posisi di masa mendatang, atau mungkin mereka sedang merekrut untuk posisi itu, tetapi karena pemotongan anggaran, posisi itu ditutup atau ditunda."
Tujuh dari 10 manajer perekrutan mengatakan bahwa mereka percaya praktik 'ghost jobs' dapat diterima secara moral dan bermanfaat bagi bisnis. Tetapi, hal itu malah mempersulit pencarian pekerjaan bagi para pencari kerja, dan juga dapat mengikis kepercayaan mereka terhadap perusahaan.
Dari perusahaan yang terlibat dalam praktik tersebut, sebanyak 45% perusahaan memposting antara satu hingga lima lowongan pekerjaan palsu; 19% memposting 10 pekerjaan palsu; 11% memposting 50; 10% memposting 24 pekerjaan palsu; dan 13% memposting 75 atau lebih lowongan palsu.
Jabatan tersebut mencakup semua tingkat senioritas, dari lowongan tingkat pemula hingga pekerjaan tingkat eksekutif.
Jika memang merugikan kedua belah pihak, sebenarnya apa tujuan dari 'ghost jobs' ini? Dan mengapa masih banyak perusahaan yang melakukannya?
Mengutip Insider, ada banyak alasan perusahaan menayangkan iklan yang menipu tersebut. Pertama, mereka ingin memberikan impresi bahwa perusahaan masih berkembang. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan citra juga nilai perusahaan di mata publik maupun investor.
Kedua, 'evergreen requisitions'. Perusahaan membuka lowongan pekerjaan yang benar-benar mereka butuhkan, tetapi belum memiliki anggaran pada saat ini.
Ketiga, mengumpulkan resume untuk disimpan dalam arsip untuk kemudian hari, tanpa ada niat untuk segera mempekerjakan seseorang.
"Mereka mungkin melakukannya untuk menunjukkan bahwa mereka sedang merekrut, jadi jika Anda seorang karyawan, Anda akan berpikir, 'Kami akan meringankan beban kerja Anda,' kata Stacie Haller, kepala penasihat karier Resume Builder.
"Mungkin juga untuk mengatakan, 'Kami adalah perusahaan yang sedang berkembang.' Di sisi yang lebih gelap, mungkin untuk mengatakan, 'Kami ingin menggantikan Anda, jadi Anda harus bekerja lebih keras'."
Terkait dengan manajer perekrutan, hampir 70% dari mereka mengatakan bahwa memasang iklan lowongan kerja palsu meningkatkan pendapatan. 65% mengatakan iklan lowongan kerja berdampak positif pada moral, dan 77% melaporkan peningkatan produktivitas di antara para pekerja.
Hal seperti ini yang mengakibatkan mengapa begitu banyak pencari kerja tidak pernah mendapat kabar dari perekrut setelah mengirimkan resume mereka.
Lalu, bagaimana cara mengetahui kita telah melamar kepada 'ghost jobs' dan apa solusinya?
Melansir Work Link Employment Society, biasanya pekerjaan yang aktif selama lebih dari 30 hari dan seterusnya merupakan tanda bahaya. Dalam kebanyakan kasus, jika pemberi kerja tidak dapat mengisi posisi tersebut dan masih aktif mencari kandidat, mereka akan memperbarui lowongan pekerjaan terus-menerus agar berada di bagian atas situs pencarian kerja.
Jika kamu tertarik dengan posisi yang telah aktif selama lebih dari 30 hari, lihat kembali situs web perusahaan apakah posisi tersebut masih tercantum di sana.
Jika masih, kirimkan follow up ke tim SDM atau kirim pesan kepada tim di situs pekerjaan untuk menanyakan tentang posisi tersebut. Cara lain untuk menyederhanakan pencarian kerja adalah dengan menggunakan filter tanggal untuk mencari pekerjaan.
Terakhir, selain melamar di situs pekerjaan seperti LinkedIn, Job Street, dan lain-lain, kamu juga bisa mengunjungi pusat ketenagakerjaan negara seperti Kemnaker ataupun Badan Kepegawaian Negara untuk kamu yang ingin menjadi CPNS ataupun ASN.
Pusat ketenagakerjaan biasanya memiliki kontak langsung dengan pemberi kerja lokal dan dapat membantu menemukan pekerjaan baru dan aktif. Apalagi, kamu bisa mengaksesnya dengan gratis!
Apapun rute yang kamu pilih untuk pencarian kerja, ingatlah untuk mempersiapkan diri dengan baik, disiplin, teratur, tetap positif, dan mintalah bantuan jika kamu membutuhkannya!
Penulis : Helen Angelia
Editor : Hendri T Asworo
MORE STORIES
Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman
Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...
Context.id | 29-10-2024
Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih
Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung
Context.id | 29-10-2024
Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech
Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak
Context.id | 28-10-2024
Dari Barak ke Ruang Rapat: Sepak Terjang Lulusan Akmil dan Akpol
Para perwira lulusan Akmil dan Akpol memiliki keterampilan kepemimpinan yang berharga untuk dunia bisnis dan pemerintahan.
Context.id | 28-10-2024
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2024 - Context
Copyright © 2024 - Context