Stories - 30 July 2024

Kisah Atlet Pengungsi di Olimpiade Paris 2024

Olimpiade Paris 2024 kembali menampilkan satu delegasi yang dibentuk dengan tujuan kemanusiaan, yakni Tim Pengungsi Komite Olimpiade Internasional


Deretan atlet pengungsi di Olimpiade Paris 2024/ Olympic Refuge Foundation

Context.id, JAKARTA - Olimpiade, ajang olahraga bergengsi dunia yang diadakan setiap empat tahun sekali, akan kembali hadir. 

Kali ini, Kota Paris di Perancis akan menjadi tuan rumah bagi 10.500 atlet berbagai cabang olahraga dari 206 negara untuk memperebutkan medali. Olimpiade Paris 2024 berlangsung dari 26 Juli–11 Agustus 2024. 

Olimpiade Paris 2024 ini juga sekaligus akan mencatatkan sejarah baru. Untuk pertama kalinya, acara pembukaan tidak dilangsungkan di stadion, melainkan di Sungai Seine. 

Sungai di jantung Kota Paris itu akan menjadi lintasan parade perahu yang dinaiki oleh atlet, pelatih, dan staf para delegasi Olimpiade. . 

Tak hanya itu, Olimpiade Paris 2024 kali ini juga kembali menampilkan satu delegasi yang dibentuk dengan tujuan kemanusiaan. Delegasi tersebut bernama Tim Pengungsi Komite Olimpiade Internasional. 



Tim tersebut terdiri dari 37 atlet dari 15 negara yang berkompetisi di 12 cabang olahraga. 

Ini merupakan ketiga kalinya tim khusus pengungsi berkompetisi di Olimpiade, setelah sebelumnya mereka menjajal Olimpiade Rio 2016 dan Olimpiade Tokyo 2020. 

Melansir situs resmi Olimpiade, Tim Pengungsi Olimpiade ini terbentuk pada 2015. Saat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sedang melakukan sidang umum yang membahas ihwal krisis global yang menyebabkan jutaan orang di dunia mengungsi. 

Presiden International Olympic Committee (IOC) Thomas Bach lantas memerintahkan National Olympics Committee (NOC) di setiap negara untuk mencari atlet pengungsi yang mempunyai potensi. 

Alhasil, sebanyak 43 kandidat atlet berpotensi muncul dan hanya 10 dari mereka yang dipilih untuk membentuk Tim Pengungsi Olimpiade pertama. Tim ini akhirnya ikut serta dalam Olimpiade Rio 2016 di Brazil. 

10 atlet yang berasal dari Ethiopia, Suriah, Republik Demokratik Kongo, dan Sudan Selatan harus bersaing dengan 11.000 atlet lainnya. 

Keikutsertaan mereka ini juga menjadi simbol harapan bagi para pengungsi di seluruh dunia dan menarik atensi global terhadap krisis. 

Pada edisi selanjutnya, Tim Pengungsi Olimpiade kembali ambil bagian. Pada 2018, IOC mengatakan bahwa untuk Olimpiade Tokyo 2020, tim akan dipilih melalui program “Beasiswa Olimpiade untuk Atlet Pengungsi”. 

IOC memberi mandat kepada Olympics Solidarity untuk melakukan proses seleksi dan identifikasi atlet di Tokyo. 

Proses ini juga dilakukan melalui kerja sama dengan Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Komite Olimpiade Nasional, Federasi Olahraga Internasional, dan Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020.

Melalui Olympics Solidarity terjaring 56 atlet dari 21 negara – Australia, Austria, Belgia, Brasil, Kanada, Kroasia, Mesir, Prancis, Jerman, Israel, Yordania, Kenya, Luksemburg, Portugal, Belanda, Selandia Baru, Trinidad dan Tobago, Turki, Swedia, Swiss, dan Inggris. 

Mereka mewakili 12 cabang olahraga yaitu atletik, bulu tangkis, tinju, kano, bersepeda, judo, karate, taekwondo, menembak, renang, angkat beban, dan gulat. 

Tim Pengungsi Olimpiade untuk Olimpiade Tokyo 2020 akhirnya diwakili oleh 29 atlet dari 11 negara yang akan beradu ketangkasan di 12 cabang olahraga.

Salah satu atlet yang masuk Tim Pengungsi Olimpiade Paris 2024 adalah Farzad Mansouri. Melansir The Guardian, ia merupakan atlet taekwondo asal Afghanistan. 

Sebelum Paris, Mansouri sempat mencicipi Olimpiade Tokyo 2020 saat usianya masih berusia 19 tahun. Namun sepulang dari Tokyo, ia terpaksa angkat kaki dari Afghanistan setelah Taliban kembali berkuasa. 

Dari situ, Mansouri menghabiskan waktunya di kamp pengungsi di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, sebelum akhirnya menetap di Manchester, Inggris. 

Rekan tim taekwondonya bernama Mohammed Jan Sultani, tewas dalam serangan bom bunuh diri di bandara Kabul, Afghanistan. 

Banyak atlet pengungsi yang menganggap olahraga telah membantu mereka mengatasi krisis yang dialaminya dan menata kembali kehidupannya dari nol.

Kontributor: Fadlan Priatna


Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id | 29-10-2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id | 29-10-2024

Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech

Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak

Context.id | 28-10-2024

Dari Barak ke Ruang Rapat: Sepak Terjang Lulusan Akmil dan Akpol

Para perwira lulusan Akmil dan Akpol memiliki keterampilan kepemimpinan yang berharga untuk dunia bisnis dan pemerintahan.

Context.id | 28-10-2024