Revisi UU TNI Ancaman bagi Demokrasi?
Apakah revisi UU TNI menjadi sinyal kembalinya Indonesia ke era Orde Baru?
Context.id, JAKARTA - Revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dianggap dapat mengancam nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Kalangan masyarakat sipil khawatir Indonesia akan kembali ke era otoriter seperti periode Orde Baru.
Kajian Setara Institute mendapati dari semula hanya dua pasal yang bermasalah, yakni Pasal 47 mengenai jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan.
Kini bertambah pasal yang dianggap renta konflik kepentingan, yaitu Pasal 39 mengenai larangan bagi prajurit TNI untuk berbisnis yang diusulkan Panglima TNI untuk masuk dalam RUU TNI.
“Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat.,” ujar Ikhsan Yosarie, peneliti HAM dan sektor keamanan Setara Institute dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/7/2024).
Menurut Ikhsan, usulan perubahan pada pasal-pasal tersebut juga kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas.
Setara Institute memberikan sejumlah catatan atas muatan-muatan usulan perubahan dalam Revisi UU TNI
Pertama, usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.
Usulan ini, menurutnya, dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara.
Kedua, argumentasi keniscayaan keterlibatan prajurit TNI berbisnis apabila anggota keluarganya berbisnis, misalnya seperti membuka warung, memperlihatkan ketidaksesuaian antara norma yang ingin dihapus dengan konteks yang diberikan.
“Keterlibatan prajurit dalam membantu anggota keluarga dalam konteks demikian tentu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut atau aspek keprajuritan lainnya, seperti kewenangan komando,” terangnya.
Hal itu, tuturnya, berbeda konteks dengan norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI sebagai dalam pasal itu berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar.
Ini sama dengan menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis.
Karena itu, katanya, yang dibutuhkan pada perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud, bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI.
Ketiga, penambahan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) meruntuhkan pembatasan kementerian atau lembaga yang sebelumnya disebutkan secara spesifik.
Perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
“Selain itu, tidak terdapat jaminan bahwa ketentuan ini hanya untuk lembaga lainnya yang berkaitan dengan pertahanan negara, mengingat tidak terdapat diksi berkaitan dengan pertahanan negara dalam ketentuan tersebut,” jelasnya.
RELATED ARTICLES
Revisi UU TNI Ancaman bagi Demokrasi?
Apakah revisi UU TNI menjadi sinyal kembalinya Indonesia ke era Orde Baru?
Context.id, JAKARTA - Revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dianggap dapat mengancam nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Kalangan masyarakat sipil khawatir Indonesia akan kembali ke era otoriter seperti periode Orde Baru.
Kajian Setara Institute mendapati dari semula hanya dua pasal yang bermasalah, yakni Pasal 47 mengenai jabatan sipil dan Pasal 53 mengenai batas usia dinas keprajuritan.
Kini bertambah pasal yang dianggap renta konflik kepentingan, yaitu Pasal 39 mengenai larangan bagi prajurit TNI untuk berbisnis yang diusulkan Panglima TNI untuk masuk dalam RUU TNI.
“Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat.,” ujar Ikhsan Yosarie, peneliti HAM dan sektor keamanan Setara Institute dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/7/2024).
Menurut Ikhsan, usulan perubahan pada pasal-pasal tersebut juga kontradiktif dan tidak relevan dengan upaya penguatan TNI dalam menghadapi perkembangan spektrum ancaman yang semakin luas.
Setara Institute memberikan sejumlah catatan atas muatan-muatan usulan perubahan dalam Revisi UU TNI
Pertama, usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara.
Usulan ini, menurutnya, dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara.
Kedua, argumentasi keniscayaan keterlibatan prajurit TNI berbisnis apabila anggota keluarganya berbisnis, misalnya seperti membuka warung, memperlihatkan ketidaksesuaian antara norma yang ingin dihapus dengan konteks yang diberikan.
“Keterlibatan prajurit dalam membantu anggota keluarga dalam konteks demikian tentu tidak berdampak terhadap penggunaan atribut atau aspek keprajuritan lainnya, seperti kewenangan komando,” terangnya.
Hal itu, tuturnya, berbeda konteks dengan norma Pasal 39. Mencabut norma larangan berbisnis bagi anggota TNI sebagai dalam pasal itu berdampak terhadap keterlibatan dalam aktivitas bisnis yang lebih besar.
Ini sama dengan menjauhkan TNI dari profesionalitas, dan potensial menjerumuskan TNI ke dalam praktik-praktik buruk kegiatan bisnis, seperti menjadi beking sebuah entitas bisnis.
Karena itu, katanya, yang dibutuhkan pada perubahan Pasal 39 adalah memberikan ketentuan lebih rinci mengenai definisi dan batasan bisnis yang dimaksud, bukan dengan menghapus larangan terlibat dalam kegiatan bisnis bagi TNI.
Ketiga, penambahan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) meruntuhkan pembatasan kementerian atau lembaga yang sebelumnya disebutkan secara spesifik.
Perubahan yang diusulkan berupa penambahan ketentuan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
“Selain itu, tidak terdapat jaminan bahwa ketentuan ini hanya untuk lembaga lainnya yang berkaitan dengan pertahanan negara, mengingat tidak terdapat diksi berkaitan dengan pertahanan negara dalam ketentuan tersebut,” jelasnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES