Rencana Revisi UU Polri, Berikut Ini Poin-Poin Kontroversialnya
Terdapat 5 poin yang dinilai tidak dapat menyelesaikan permasalahan di internal kepolisian RI dan justru membahayakan
Context.id, JAKARTA - Setelah sebelumnya direncanakan akan merevisi UU TNI dan UU Kejaksaan, DPR dikabarkan mulai menggodok UU Kepolisian Negara.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membenarkan adanya usulan revisi UU Kepolisian Negara seperti halnya UU Kejaksaan yang membahas masa pensiun dan berakhirnya jabatan.
DPR berencana menuntaskan revisi UU Kepolisian dan UU TNI ini sesegera mungkin. Menanggapi rencana DPR merevisi UU Kepolisian, sejumlah lembaga masyarakat mengkritik proses tersebut.
Bagi masyarakat sipil, proses revisi ini sangat minim partisipasi dan substansinya tidak akan menyelesaikan masalah institusional kepolisian.
Melansir Kontras, revisi tersebut sangat berbahaya karena cenderung menunjukkan disfungsi kerja Polri yang sebenarnya.
BACA JUGA
Adapun berdasarkan catatan komisi tersebut, terdapat 5 poin yang dinilai tidak dapat menyelesaikan permasalahan di internal kepolisian RI dan justru membahayakan.
Pertama, draf menunjukkan RUU akan memperluas kewenangan pihak kepolisian untuk turut melakukan pengamanan dan pengawasan ruang siber, seperti serangkaian pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses.
Komisi menilai bahwa kewenangan itu sangat rentan untuk disalahgunakan, mengingat penggunaan alat sadap, intersepsi komunikasi dan intersepsi digital yang lemah menjadikannya rentan terhadap kesewenang-wenangan dalam implementasinya.
Tak hanya itu, komisi juga menilai bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Kedua, revisi UU juga menambahkan kewenangan baru Polri untuk melakukan penyadapan, dan perluasan bidang intelijen dan keamanan Polri untuk melakukan penggalangan intelijen yang menurut Kontras menyebabkan rentannya tindak penyalahgunaan.
Pasalnya Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan.
Tak hanya itu, Komisi juga menilai bahwa kewenangan penggalangan intelijen berpotensi tumpang tindih atau ‘Overlapping of authority’ dengan kewenangan lembaga khusus Badan Intelijen Negara (BIN).
Penambahan kewenangan pada kepolisian dalam bidang intelijen negara dapat menimbulkan kekaburan atau (obscuur) karena memberikan kewenangan serupa kepada dua lembaga berbeda.
Ketiga, berdasarkan draf revisi UU Kepolisian itu tidak memperkuat posisi serta kewenangan lembaga pengawas terhadap Polri, bahkan menurut pemantauan Kontras selama ini lembaga pengawas Polri cenderung menunjukan disfungsi dalam kerjanya.
Institusi Kepolisian tidak memiliki mekanisme pengawasan yang ketat dan signifikan untuk mengontrol angka pelanggaran, mengingat RUU Kepolisian ingin menambah dan memperluas kewenangan Kepolisian
Oleh karena itu, Kontras mengusulkan jika perluasan kewenangan tersebut harus disertai dengan penguatan ‘oversight mechanism’ atau pengawasan yang ketat untuk meminimalisasi angka penyelewengan.
Keempat, draf revisi UU Kepolisian juga tetap mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa, yang justru dapat memunculkan potensi pelanggaran HAM.
Kelima, adanya perubahan batas usia pensiun anggota Polri menjadi 60-62 tahun dan 65 tahun bagi para pejabat fungsional Polri, menjadi poin yang dikhawatirkan oleh lembaga.
Pasalnya usia pensiun yang dinaikan ini ditakutkan akan berpengaruh pada proses regenerasi internal Kepolisian yang tidak akan menyelesaikan permasalahan penumpukan jumlah perwira tinggi dalam tubuh Polri.
Penulis: Candra Soemirat
RELATED ARTICLES
Rencana Revisi UU Polri, Berikut Ini Poin-Poin Kontroversialnya
Terdapat 5 poin yang dinilai tidak dapat menyelesaikan permasalahan di internal kepolisian RI dan justru membahayakan
Context.id, JAKARTA - Setelah sebelumnya direncanakan akan merevisi UU TNI dan UU Kejaksaan, DPR dikabarkan mulai menggodok UU Kepolisian Negara.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membenarkan adanya usulan revisi UU Kepolisian Negara seperti halnya UU Kejaksaan yang membahas masa pensiun dan berakhirnya jabatan.
DPR berencana menuntaskan revisi UU Kepolisian dan UU TNI ini sesegera mungkin. Menanggapi rencana DPR merevisi UU Kepolisian, sejumlah lembaga masyarakat mengkritik proses tersebut.
Bagi masyarakat sipil, proses revisi ini sangat minim partisipasi dan substansinya tidak akan menyelesaikan masalah institusional kepolisian.
Melansir Kontras, revisi tersebut sangat berbahaya karena cenderung menunjukkan disfungsi kerja Polri yang sebenarnya.
BACA JUGA
Adapun berdasarkan catatan komisi tersebut, terdapat 5 poin yang dinilai tidak dapat menyelesaikan permasalahan di internal kepolisian RI dan justru membahayakan.
Pertama, draf menunjukkan RUU akan memperluas kewenangan pihak kepolisian untuk turut melakukan pengamanan dan pengawasan ruang siber, seperti serangkaian pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses.
Komisi menilai bahwa kewenangan itu sangat rentan untuk disalahgunakan, mengingat penggunaan alat sadap, intersepsi komunikasi dan intersepsi digital yang lemah menjadikannya rentan terhadap kesewenang-wenangan dalam implementasinya.
Tak hanya itu, komisi juga menilai bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan UU No. 27 Tahun 2022 Tentang Perlindungan Data Pribadi dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Kedua, revisi UU juga menambahkan kewenangan baru Polri untuk melakukan penyadapan, dan perluasan bidang intelijen dan keamanan Polri untuk melakukan penggalangan intelijen yang menurut Kontras menyebabkan rentannya tindak penyalahgunaan.
Pasalnya Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan.
Tak hanya itu, Komisi juga menilai bahwa kewenangan penggalangan intelijen berpotensi tumpang tindih atau ‘Overlapping of authority’ dengan kewenangan lembaga khusus Badan Intelijen Negara (BIN).
Penambahan kewenangan pada kepolisian dalam bidang intelijen negara dapat menimbulkan kekaburan atau (obscuur) karena memberikan kewenangan serupa kepada dua lembaga berbeda.
Ketiga, berdasarkan draf revisi UU Kepolisian itu tidak memperkuat posisi serta kewenangan lembaga pengawas terhadap Polri, bahkan menurut pemantauan Kontras selama ini lembaga pengawas Polri cenderung menunjukan disfungsi dalam kerjanya.
Institusi Kepolisian tidak memiliki mekanisme pengawasan yang ketat dan signifikan untuk mengontrol angka pelanggaran, mengingat RUU Kepolisian ingin menambah dan memperluas kewenangan Kepolisian
Oleh karena itu, Kontras mengusulkan jika perluasan kewenangan tersebut harus disertai dengan penguatan ‘oversight mechanism’ atau pengawasan yang ketat untuk meminimalisasi angka penyelewengan.
Keempat, draf revisi UU Kepolisian juga tetap mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa, yang justru dapat memunculkan potensi pelanggaran HAM.
Kelima, adanya perubahan batas usia pensiun anggota Polri menjadi 60-62 tahun dan 65 tahun bagi para pejabat fungsional Polri, menjadi poin yang dikhawatirkan oleh lembaga.
Pasalnya usia pensiun yang dinaikan ini ditakutkan akan berpengaruh pada proses regenerasi internal Kepolisian yang tidak akan menyelesaikan permasalahan penumpukan jumlah perwira tinggi dalam tubuh Polri.
Penulis: Candra Soemirat
POPULAR
RELATED ARTICLES