Mempertanyakan Netralitas TNI-Polri di Pemilu 2024
Netralitas TNI dan Polri kembali dipertanyakan menjelang bergulirnya Pemilihan Umum 2024.
Context.id, JAKARTA - Dalam setiap perhelatan pemilihan umum, TNI dan Polri senantiasa memberikan pernyataan bahwa kedua institusi tersebut berada pada posisi netral. Namun, belakangan ini netralitas itu diragukan oleh sejumlah pihak, salah satunya budayawan yang juga pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad atau biasa disapa GM.
Dalam postingannya di media sosial X, Goenawan Mohamad mempertanyakan tentang netralitas aparat dalam Pilpres 2024, terlebih lagi setelah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka ikut maju dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang menjadi calon presiden.
"Perwira-perwira AD ini datang ke Solo menghadap Gibran, calon wapres yg sedang disiapkan utk menang. Netralitas TNI?," tulis Goenawan Mohamad dalam postingannya di X yang disertai sebuah foto.
Dalam foto tersebut, tampak Wali Kota Solo yang menggunakan kemeja hitam berdiri di tengah puluhan perwira TNI. Jika dilihat dari gambar yang viral, foto tersebut diambil di depan kantor Wali Kota Solo.
Unggahan Goenawan Mohamad ini menambah panas isu tentang ketidaknetralan aparat belakangan ini setelah viral video Satpol PP mencopot poster Ganjar. Selain itu, muncul juga rumor bahwa polisi terlibat dalam pemasangan baliho Prabowo dan Gibran di Jawa Timur.
Sebelum isu netralitas ini mencuat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengambil inisiatif untuk melakukan pengawasan terhadap institusi TNI dengan membentuk sebuah panitia kerja yang diketuai oleh Utut Adianto, politisi PDIP.
Adapun Utut mengatakan bahwa dia tidak ragu komitmen panglima TNI beserta kepala staf-nya untuk menjaga netralitas para prajurit. Meski demikian, dia takut Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang malah akan memerintahkan petinggi TNI agar memihak ke salah satu calon tertentu dalam ajang Pemilu 2024.
"TNI selama ini netral. Panglima TNI bosnya siapa? Presiden. Presiden sebagai panglima tertinggi bilang A, sanggup enggak bapak menolak? Kalau perintah itu melawan hukum?" jelas mantan atlet catur itu.
Sejumlah tokoh bangsa yang berkumpul di kediaman K.H Mustofa Bisri atau Gus Mus pun menyatakan keprihatinan mereka terhadap netralitas aparatur negara, terutama TNI maupun Polri dalam kontestasi tahun depan.
Di lain kesempatan, mantan Menteri Agama, Lukman Hakim mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam viralnya isu netralitas aparat terkait video viral yang memperlihatkan satpol PP mencopot poster Ganjar dan memasang baliho Prabowo-Gibran.
"Pertama perlu dikonfirmasi dulu, apakah itu betul dilakukan oleh aparat negara. Yang kedua, andaipun terkonfirmasi bahwa itu dilakukan oleh aparat negara, kami masih penuh berharap bahwa itu bukan kebijakan institusional," katanya.
Lukman mengatakan bahwa dirinya masih percaya jika TNI dan Polri akan tetap menjunjung tinggi netralitas sesuai Undang-Undang. "Jadi kami masih percaya betul, bahwa TNI dan Polri tetap berpegang pada Undang-Undang. Bahwa netralitas dari kedua alat negara tersebut adalah suatu yang niscaya," ia menambahkan.
"Jikapun ada seperti yang diberitakan seperti itu, kami berharap itu hanya tindakan oknum semata, bukan kebijakan resmi institusi TNI dan Polri," tutupnya.
Sementara itu, terkait dengan adanya indikasi infiltrasi atau intervensi kekuasaan di dalam tubuh TNI, lembaga pegiat demokrasi dan HAM, SETARA Institute mencatat adanya indikasi seperti itu. Terlebih lagi dalam kerangka pemilihan Panglima TNI yang calon tunggalnya merupakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Agus Subiyanto.
Agus sendiri belum lama menjadi KSAD, tepatnya pada 25 Oktober lalu. Namun, karena dianggap orang dekat presiden yang sudah kenal sejak di Solo, Agus langsung dipromosikan menjadi Panglima TNI.
Sebagai evaluasi atas cepat kilatnya Jenderal Agus menuju jabatan Panglima TNI, Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute melihat proses kilat menuju jabatan Panglima TNI ini juga berpotensi menimbulkan aroma politis.
"Mekanisme pemilihan Panglima TNI saat ini rentan diinfiltrasi kepentingan politik kekuasaan, ketimbang demi kepentingan organisasi TNI, terutama menimbang waktu pergantian yang mendekati kontestasi Pemilihan Umum atau Pilpres 2024," tulis Halili dalam keterangan resminya, Selasa (14/11/2023).
RELATED ARTICLES
Mempertanyakan Netralitas TNI-Polri di Pemilu 2024
Netralitas TNI dan Polri kembali dipertanyakan menjelang bergulirnya Pemilihan Umum 2024.
Context.id, JAKARTA - Dalam setiap perhelatan pemilihan umum, TNI dan Polri senantiasa memberikan pernyataan bahwa kedua institusi tersebut berada pada posisi netral. Namun, belakangan ini netralitas itu diragukan oleh sejumlah pihak, salah satunya budayawan yang juga pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad atau biasa disapa GM.
Dalam postingannya di media sosial X, Goenawan Mohamad mempertanyakan tentang netralitas aparat dalam Pilpres 2024, terlebih lagi setelah putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka ikut maju dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto yang menjadi calon presiden.
"Perwira-perwira AD ini datang ke Solo menghadap Gibran, calon wapres yg sedang disiapkan utk menang. Netralitas TNI?," tulis Goenawan Mohamad dalam postingannya di X yang disertai sebuah foto.
Dalam foto tersebut, tampak Wali Kota Solo yang menggunakan kemeja hitam berdiri di tengah puluhan perwira TNI. Jika dilihat dari gambar yang viral, foto tersebut diambil di depan kantor Wali Kota Solo.
Unggahan Goenawan Mohamad ini menambah panas isu tentang ketidaknetralan aparat belakangan ini setelah viral video Satpol PP mencopot poster Ganjar. Selain itu, muncul juga rumor bahwa polisi terlibat dalam pemasangan baliho Prabowo dan Gibran di Jawa Timur.
Sebelum isu netralitas ini mencuat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengambil inisiatif untuk melakukan pengawasan terhadap institusi TNI dengan membentuk sebuah panitia kerja yang diketuai oleh Utut Adianto, politisi PDIP.
Adapun Utut mengatakan bahwa dia tidak ragu komitmen panglima TNI beserta kepala staf-nya untuk menjaga netralitas para prajurit. Meski demikian, dia takut Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang malah akan memerintahkan petinggi TNI agar memihak ke salah satu calon tertentu dalam ajang Pemilu 2024.
"TNI selama ini netral. Panglima TNI bosnya siapa? Presiden. Presiden sebagai panglima tertinggi bilang A, sanggup enggak bapak menolak? Kalau perintah itu melawan hukum?" jelas mantan atlet catur itu.
Sejumlah tokoh bangsa yang berkumpul di kediaman K.H Mustofa Bisri atau Gus Mus pun menyatakan keprihatinan mereka terhadap netralitas aparatur negara, terutama TNI maupun Polri dalam kontestasi tahun depan.
Di lain kesempatan, mantan Menteri Agama, Lukman Hakim mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam viralnya isu netralitas aparat terkait video viral yang memperlihatkan satpol PP mencopot poster Ganjar dan memasang baliho Prabowo-Gibran.
"Pertama perlu dikonfirmasi dulu, apakah itu betul dilakukan oleh aparat negara. Yang kedua, andaipun terkonfirmasi bahwa itu dilakukan oleh aparat negara, kami masih penuh berharap bahwa itu bukan kebijakan institusional," katanya.
Lukman mengatakan bahwa dirinya masih percaya jika TNI dan Polri akan tetap menjunjung tinggi netralitas sesuai Undang-Undang. "Jadi kami masih percaya betul, bahwa TNI dan Polri tetap berpegang pada Undang-Undang. Bahwa netralitas dari kedua alat negara tersebut adalah suatu yang niscaya," ia menambahkan.
"Jikapun ada seperti yang diberitakan seperti itu, kami berharap itu hanya tindakan oknum semata, bukan kebijakan resmi institusi TNI dan Polri," tutupnya.
Sementara itu, terkait dengan adanya indikasi infiltrasi atau intervensi kekuasaan di dalam tubuh TNI, lembaga pegiat demokrasi dan HAM, SETARA Institute mencatat adanya indikasi seperti itu. Terlebih lagi dalam kerangka pemilihan Panglima TNI yang calon tunggalnya merupakan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Agus Subiyanto.
Agus sendiri belum lama menjadi KSAD, tepatnya pada 25 Oktober lalu. Namun, karena dianggap orang dekat presiden yang sudah kenal sejak di Solo, Agus langsung dipromosikan menjadi Panglima TNI.
Sebagai evaluasi atas cepat kilatnya Jenderal Agus menuju jabatan Panglima TNI, Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute melihat proses kilat menuju jabatan Panglima TNI ini juga berpotensi menimbulkan aroma politis.
"Mekanisme pemilihan Panglima TNI saat ini rentan diinfiltrasi kepentingan politik kekuasaan, ketimbang demi kepentingan organisasi TNI, terutama menimbang waktu pergantian yang mendekati kontestasi Pemilihan Umum atau Pilpres 2024," tulis Halili dalam keterangan resminya, Selasa (14/11/2023).
POPULAR
RELATED ARTICLES