Share

Home Stories

Stories 15 Juli 2025

Muncul Joki dan Pemalsuan, Strava Berubah jadi Ajang Validasi?

Aktivitas olahraga lari makin diminati oleh banyak orang, begitu pun para joki yang melihat ini sebagai sebuah peluang.

Ilustrasi Joki Strava - Freepik

Context.id, JAKARTA - Lari menjadi olahraga yang diminati banyak orang karena mudah dilakukan di mana saja. Namun ada perubahan kultur dari lari yang pada awalnya hanya sebuah kegiatan yang mampu meningkatkan kemampuan fisik menjadi sebuah tren atau materi konten yang diunggah ke sosial media. 

Unggahan mengenai lari ini biasanya menampilkan rute, jarak, durasi, dan kecepatan mereka saat berlari. Adapun salah satu aplikasi bernama Strava yang merekam data rute, jarak, durasi, dan kecepatan saat berlari. Tak hanya merekamnya, Strava juga bisa membantu penggunanya membagikan kegiatan lari ke media sosial. 

Tren tersebut akhirnya memunculkan joki Strava. Solusi dari orang yang ingin mengunggah data pencapaian dari hasil lari tanpa harus berlari. Penyedia jasa joki Strava melayani pelari yang ingin memperlihatkan pencapaian jarak, durasi, dan rata-rata kecepatan yang ditempuh. 

Tak berhenti sampai di joki Strava. Baru-baru ini muncul Fake My Run. Sebuah website yang dibuat oleh Arthur Bouffard. Fake My Run melayani pengguna dengan kemampuannya yang bisa membuat aktivitas berlari palsu dengan menentukan rute, jarak, durasi, dan kecepatan rata-rata saat berlari sesuai keinginan. Data rekaman ini juga bisa disambungkan ke akun Strava. 
 

Kira-kira, mengapa orang rela membayar joki Strava atau menggunakan Fake My Run? 

Dilansir dari laman Universitas Muhammadiyah Surabaya, Nur Hidayatullah Romadhon sebagai Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Surabaya, mengungkapkan bahwa Strava menawarkan peringkat dan segmen-segmen yang memungkinkan pengguna untuk membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain dalam area tertentu atau di rute tertentu. 

“Hal ini bisa menjadi dorongan kuat bagi beberapa orang untuk mencoba mendapatkan hasil yang lebih baik  walaupun dengan cara yang tidak jujur, hanya demi mengungguli pesaing mereka dalam kompetisi virtual,” kata Dayat.

Dayat menilai dengan adanya fenomena ini banyak dampak negatif yang terjadi mulai dari turunnya nilai pengakuan sosial dalam prestasi statistik dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi reputasi mereka dalam komunitas olahraga yang seringkali sangat peduli akan fair play dan prestasi yang diperoleh secara sah. 

Menurut Dayat, meskipun terlihat sepele, penggunaan joki Strava berdampak luas dan mencerminkan bagaimana budaya digital mengubah pandangan kita terhadap prestasi olahraga.

Penulis: Syifa Khairunnisa Zahrah



Penulis : Context.id

Editor   : Fahri N. Muharom

Stories 15 Juli 2025

Muncul Joki dan Pemalsuan, Strava Berubah jadi Ajang Validasi?

Aktivitas olahraga lari makin diminati oleh banyak orang, begitu pun para joki yang melihat ini sebagai sebuah peluang.

Ilustrasi Joki Strava - Freepik

Context.id, JAKARTA - Lari menjadi olahraga yang diminati banyak orang karena mudah dilakukan di mana saja. Namun ada perubahan kultur dari lari yang pada awalnya hanya sebuah kegiatan yang mampu meningkatkan kemampuan fisik menjadi sebuah tren atau materi konten yang diunggah ke sosial media. 

Unggahan mengenai lari ini biasanya menampilkan rute, jarak, durasi, dan kecepatan mereka saat berlari. Adapun salah satu aplikasi bernama Strava yang merekam data rute, jarak, durasi, dan kecepatan saat berlari. Tak hanya merekamnya, Strava juga bisa membantu penggunanya membagikan kegiatan lari ke media sosial. 

Tren tersebut akhirnya memunculkan joki Strava. Solusi dari orang yang ingin mengunggah data pencapaian dari hasil lari tanpa harus berlari. Penyedia jasa joki Strava melayani pelari yang ingin memperlihatkan pencapaian jarak, durasi, dan rata-rata kecepatan yang ditempuh. 

Tak berhenti sampai di joki Strava. Baru-baru ini muncul Fake My Run. Sebuah website yang dibuat oleh Arthur Bouffard. Fake My Run melayani pengguna dengan kemampuannya yang bisa membuat aktivitas berlari palsu dengan menentukan rute, jarak, durasi, dan kecepatan rata-rata saat berlari sesuai keinginan. Data rekaman ini juga bisa disambungkan ke akun Strava. 
 

Kira-kira, mengapa orang rela membayar joki Strava atau menggunakan Fake My Run? 

Dilansir dari laman Universitas Muhammadiyah Surabaya, Nur Hidayatullah Romadhon sebagai Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Surabaya, mengungkapkan bahwa Strava menawarkan peringkat dan segmen-segmen yang memungkinkan pengguna untuk membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain dalam area tertentu atau di rute tertentu. 

“Hal ini bisa menjadi dorongan kuat bagi beberapa orang untuk mencoba mendapatkan hasil yang lebih baik  walaupun dengan cara yang tidak jujur, hanya demi mengungguli pesaing mereka dalam kompetisi virtual,” kata Dayat.

Dayat menilai dengan adanya fenomena ini banyak dampak negatif yang terjadi mulai dari turunnya nilai pengakuan sosial dalam prestasi statistik dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi reputasi mereka dalam komunitas olahraga yang seringkali sangat peduli akan fair play dan prestasi yang diperoleh secara sah. 

Menurut Dayat, meskipun terlihat sepele, penggunaan joki Strava berdampak luas dan mencerminkan bagaimana budaya digital mengubah pandangan kita terhadap prestasi olahraga.

Penulis: Syifa Khairunnisa Zahrah



Penulis : Context.id

Editor   : Fahri N. Muharom


RELATED ARTICLES

Sushila Karki, Perdana Menteri Perempuan Pertama di Nepal

Setelah meredanya gelombang protes di Nepal, Sushila Karki ditunjuk sebagai Perdana Menteri Sementara dan disebut menandakan tumbuhnya kepercayaan ...

Renita Sukma . 16 September 2025

Penembak Aktivis Charlie Kirk Ditangkap Setelah 33 Jam Diburu

Tyler Robinson, pria 22 tahun dari Utah, berhasil ditangkap setelah buron 33 jam atas tuduhan membunuh aktivis konservatif Charlie Kirk

Renita Sukma . 14 September 2025

Setelah Penggerebekan Imigrasi AS, Pekerja Korea Selatan Dipulangkan

Sekitar 300 pekerja Korea Selatan akhirnya kembali ke negara setelah sempat ditahan oleh imigrasi AS.

Renita Sukma . 14 September 2025

Ada Tuntutan Bubarkan DPR, Secara Hukum Indonesia Bisa?

Tuntutan pembubaran DPR menggaung saat aksi demonstrasi 25 Agustus 2025. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut hal itu secara hukum tid ...

Renita Sukma . 14 September 2025