Share

Stories 14 Mei 2024

Pabrik Sepatu Bata Legendaris Tutup, Industri Alas Kaki Diujung Tanduk?

Pemberlakuan bea masuk tambahan (safeguard) untuk bahan baku memperburuk situasi

Redaktur Bisnis Indonesia, Kahfi sedang berbincang dengan Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Aprisindo/BisnisTV

Context.id, JAKARTA -  Pabrik sepatu milik PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta yang telah beroperasi selama kurang lebih 30 tahun akhirnya harus ditutup pada April 2024 kemarin. 

Penutupan pabrik yang berdiri sejak 1994 itu terpaksa dilakukan karena perusahaan tidak dapat membiayai ongkos produksi pabrik tersebut. Pasalnya, selama 4 tahun berturut-turut, BATA terus mengalami kerugian besar seperti diungkapkan Hatta Tutuko, Director and Corporate Secretary BATA. 

Mengenai pabrik sepatu legendaris yang terpaksa tutup akibat situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menilai perusahaan alas kaki termasuk sebagai industri padat karya, yang mana memerlukan tenaga manusia lebih banyak dibandingkan tenaga mesin. 

Beban produksi terbesar industri padat karya, lanjut Firman ada di gaji pegawai, sementara bisa dibilang Purwakarta salah satu Kabupaten yang upah minimumnya cukup tinggi. 

Tapi sayangnya, kondisi ekonomi yang belum cukup baik dan juga tingkat penjualan sepatu-sepatu produksi pabrik Bata di pasaran semakin menurun semakin membebani perusahaan.   



Dirinya menyebut bahwa industri alas kaki nasional masih memiliki tantangan yang cukup berat selama beberapa tahun belakangan, salah satunya yaitu diberlakukannya bea masuk tambahan (safeguard) untuk bahan baku alas kaki. 

"Kondisi ini menimbulkan beban biaya produksi industri alas kaki semakin meningkat," jelasnya seperti dikutip dari Podcast Factory Hub Bisnis Indonesia, Selasa (14/5)

Baru-baru ini, industri alas kaki semakin terpukul akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2024, yang lagi-lagi bahan baku harus dikenakan aturan pengawasan atau larangan terbatas (lartas) secara maksimal.

Dalam kebijakan tersebut, lebih dari 100 HS yang berkaitan dengan industri alas kaki, 70%-nya harus dikenakan Lartas secara maksimal yaitu, wajib Persetujuan Impor (PI), wajib Laporan Surveyor (LS), dan wajib Persetujuan Teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian. 

Pertek pengusaha dikenakan wajib verifikasi kemampuan industri dari pihak ketiga, sedangkan untuk sejumlah HS bahan baku alas kaki berupa kain/tekstil 100% dikenakan Lartas secara Maksimal. 

Firman menyebut bahwa kebijakan Lartas akan menimbulkan beban bagi industri alas kaki nasional di antaranya, kepastian hukum terkait formula kuota izin yang diatur dalam Permenperin 5/2024 tidak transparan, berpotensi penetapan kuota diberikan secara diskresi, serta tambahan rantai birokrasi baru yang mengakibatkan permohonan izin semakin lama dan mahal.

"Dengan penambahan beban Lartas untuk bahan baku, harga produk alas kaki buatan dalam negeri menjadi lebih mahal dibandingkan produk-produk khususnya impor ilegal," papar Firman.

Tak hanya itu, dirinya juga mengatakan industri alas kaki berorientasi pasar domestik belum bisa bangkit dari keterpurukan sejak pandemi Covid-19 hingga saat.

Oleh karena itu, Aprisindo meminta pemerintah untuk dapat menyediakan bahan baku yang kompetitif untuk industri alas kaki agar dapat bertahan dan ekspansi. 

Menurutnya, tanpa dukungan bahan baku yang kompetitif, sulit bagi industri alas kaki bersaing dengan produk impor ilegal. 

Penulis: Diandra Zahra



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 14 Mei 2024

Pabrik Sepatu Bata Legendaris Tutup, Industri Alas Kaki Diujung Tanduk?

Pemberlakuan bea masuk tambahan (safeguard) untuk bahan baku memperburuk situasi

Redaktur Bisnis Indonesia, Kahfi sedang berbincang dengan Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Aprisindo/BisnisTV

Context.id, JAKARTA -  Pabrik sepatu milik PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta yang telah beroperasi selama kurang lebih 30 tahun akhirnya harus ditutup pada April 2024 kemarin. 

Penutupan pabrik yang berdiri sejak 1994 itu terpaksa dilakukan karena perusahaan tidak dapat membiayai ongkos produksi pabrik tersebut. Pasalnya, selama 4 tahun berturut-turut, BATA terus mengalami kerugian besar seperti diungkapkan Hatta Tutuko, Director and Corporate Secretary BATA. 

Mengenai pabrik sepatu legendaris yang terpaksa tutup akibat situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, Firman Bakrie, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menilai perusahaan alas kaki termasuk sebagai industri padat karya, yang mana memerlukan tenaga manusia lebih banyak dibandingkan tenaga mesin. 

Beban produksi terbesar industri padat karya, lanjut Firman ada di gaji pegawai, sementara bisa dibilang Purwakarta salah satu Kabupaten yang upah minimumnya cukup tinggi. 

Tapi sayangnya, kondisi ekonomi yang belum cukup baik dan juga tingkat penjualan sepatu-sepatu produksi pabrik Bata di pasaran semakin menurun semakin membebani perusahaan.   



Dirinya menyebut bahwa industri alas kaki nasional masih memiliki tantangan yang cukup berat selama beberapa tahun belakangan, salah satunya yaitu diberlakukannya bea masuk tambahan (safeguard) untuk bahan baku alas kaki. 

"Kondisi ini menimbulkan beban biaya produksi industri alas kaki semakin meningkat," jelasnya seperti dikutip dari Podcast Factory Hub Bisnis Indonesia, Selasa (14/5)

Baru-baru ini, industri alas kaki semakin terpukul akibat dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2024, yang lagi-lagi bahan baku harus dikenakan aturan pengawasan atau larangan terbatas (lartas) secara maksimal.

Dalam kebijakan tersebut, lebih dari 100 HS yang berkaitan dengan industri alas kaki, 70%-nya harus dikenakan Lartas secara maksimal yaitu, wajib Persetujuan Impor (PI), wajib Laporan Surveyor (LS), dan wajib Persetujuan Teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian. 

Pertek pengusaha dikenakan wajib verifikasi kemampuan industri dari pihak ketiga, sedangkan untuk sejumlah HS bahan baku alas kaki berupa kain/tekstil 100% dikenakan Lartas secara Maksimal. 

Firman menyebut bahwa kebijakan Lartas akan menimbulkan beban bagi industri alas kaki nasional di antaranya, kepastian hukum terkait formula kuota izin yang diatur dalam Permenperin 5/2024 tidak transparan, berpotensi penetapan kuota diberikan secara diskresi, serta tambahan rantai birokrasi baru yang mengakibatkan permohonan izin semakin lama dan mahal.

"Dengan penambahan beban Lartas untuk bahan baku, harga produk alas kaki buatan dalam negeri menjadi lebih mahal dibandingkan produk-produk khususnya impor ilegal," papar Firman.

Tak hanya itu, dirinya juga mengatakan industri alas kaki berorientasi pasar domestik belum bisa bangkit dari keterpurukan sejak pandemi Covid-19 hingga saat.

Oleh karena itu, Aprisindo meminta pemerintah untuk dapat menyediakan bahan baku yang kompetitif untuk industri alas kaki agar dapat bertahan dan ekspansi. 

Menurutnya, tanpa dukungan bahan baku yang kompetitif, sulit bagi industri alas kaki bersaing dengan produk impor ilegal. 

Penulis: Diandra Zahra



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024