Ketika Masyarakat Sipil Gelar Mahkamah Rakyat Luar Biasa
Mahkamah Rakyat menjadi alternatif menyelesaikan masalah hukum saat negara tidak memberikan ruang demokrasi
Context.id, JAKARTA - Organisasi masyarakat sipil menggelar Mahkamah Rakyat Luar Biasa (People Tribunal) untuk mengkritisi jalannya pemerintahan yang dinilai represif.
Mahkamah ini dianggap sebagai mekanisme alternatif untuk menyelesaikan masalah hukum ketika negara tidak memberikan ruang untuk demokrasi dan penegakan konstitusi.
“Banyak pelanggaran HAM dan konstitusi terjadi selama rezim Jokowi yang menunjukkan kemunduran demokrasi dan pengingkaran prinsip hukum negara hingga melahirkan pelanggaran konstitusional," ujar Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Mahkamah Rakyat ini patut digelar karena kita dihadapkan dengan situasi kekosongan mekanisme hukum yang berpihak pada rakyat dan pelanggaran konstitusional terus terjadi.
Dia melanjutkan, sepuluh tahun lalu Presiden Jokowi menyatakan niatnya untuk menuntaskan kasus pelanggaran ham berat, namun hal itu tidak kunjung dilakukan.
BACA JUGA
Dia melihat ada beberapa keselahan yang dilakukan oleh pemerintah seperti berbagai kasus kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi terhadap masyarakat yang menuntut dan membela haknya, seperti kasus Wadas, Rempang, hingga kriminalisasi buruh.
Contoh lain yang dikemukakan adalah komersialisasi, penyeragaman, dan penundukan sistem pendidikan yang mengakibatkan carut-marutnya sistem akademik di Indonesia.
Pendidikan, lanjutnya, yang menjadi hak dasar setiap warga justru dikomersialisasi dengan biaya pendidikan yang mahal dan berbanding terbalik dengan kesejahteraan guru.
Hal lain yang disorot dalam mahkamah itu adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindakan perlindungan koruptor.
Penindakan yang lemah bagi para koruptor, pemecatan pegawai KPK yang menolak upaya penggembosan KPK, hingga perkawinan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan keluarga Jokowi menjadi bukti bobroknya sistem hukum di Indonesia.
“Pemberantasan korupsi terburuk terjadi selama sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi. Dari sekian banyak kasus korupsi yang jumlahnya triliunan rupiah kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke negara," ujar Yaser Aulia dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sayangnya, bagi para pegiat hukum dan HAM, presiden dinilai tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk memberantas kasus korupsi. Pemerintah malah memotong taring untuk dilaksanakannya pemberantasan kasus korupsi.
Selain itu, nepotisme dan politik dinasti ditunjukkan secara terang-terangan saat Pilpres tahun ini. Semangat anti-korupsi dalam UUD 45 justru digerogoti selama sepuluh tahun masa Jokowi, ujar mereka kompak.
RELATED ARTICLES
Ketika Masyarakat Sipil Gelar Mahkamah Rakyat Luar Biasa
Mahkamah Rakyat menjadi alternatif menyelesaikan masalah hukum saat negara tidak memberikan ruang demokrasi
Context.id, JAKARTA - Organisasi masyarakat sipil menggelar Mahkamah Rakyat Luar Biasa (People Tribunal) untuk mengkritisi jalannya pemerintahan yang dinilai represif.
Mahkamah ini dianggap sebagai mekanisme alternatif untuk menyelesaikan masalah hukum ketika negara tidak memberikan ruang untuk demokrasi dan penegakan konstitusi.
“Banyak pelanggaran HAM dan konstitusi terjadi selama rezim Jokowi yang menunjukkan kemunduran demokrasi dan pengingkaran prinsip hukum negara hingga melahirkan pelanggaran konstitusional," ujar Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Mahkamah Rakyat ini patut digelar karena kita dihadapkan dengan situasi kekosongan mekanisme hukum yang berpihak pada rakyat dan pelanggaran konstitusional terus terjadi.
Dia melanjutkan, sepuluh tahun lalu Presiden Jokowi menyatakan niatnya untuk menuntaskan kasus pelanggaran ham berat, namun hal itu tidak kunjung dilakukan.
BACA JUGA
Dia melihat ada beberapa keselahan yang dilakukan oleh pemerintah seperti berbagai kasus kekerasan, persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi terhadap masyarakat yang menuntut dan membela haknya, seperti kasus Wadas, Rempang, hingga kriminalisasi buruh.
Contoh lain yang dikemukakan adalah komersialisasi, penyeragaman, dan penundukan sistem pendidikan yang mengakibatkan carut-marutnya sistem akademik di Indonesia.
Pendidikan, lanjutnya, yang menjadi hak dasar setiap warga justru dikomersialisasi dengan biaya pendidikan yang mahal dan berbanding terbalik dengan kesejahteraan guru.
Hal lain yang disorot dalam mahkamah itu adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta tindakan perlindungan koruptor.
Penindakan yang lemah bagi para koruptor, pemecatan pegawai KPK yang menolak upaya penggembosan KPK, hingga perkawinan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan keluarga Jokowi menjadi bukti bobroknya sistem hukum di Indonesia.
“Pemberantasan korupsi terburuk terjadi selama sepuluh tahun masa pemerintahan Jokowi. Dari sekian banyak kasus korupsi yang jumlahnya triliunan rupiah kurang dari 10 persen yang dikembalikan ke negara," ujar Yaser Aulia dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sayangnya, bagi para pegiat hukum dan HAM, presiden dinilai tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk memberantas kasus korupsi. Pemerintah malah memotong taring untuk dilaksanakannya pemberantasan kasus korupsi.
Selain itu, nepotisme dan politik dinasti ditunjukkan secara terang-terangan saat Pilpres tahun ini. Semangat anti-korupsi dalam UUD 45 justru digerogoti selama sepuluh tahun masa Jokowi, ujar mereka kompak.
POPULAR
RELATED ARTICLES