Subsidi Transportasi Jabodetabek Tak Tepat Sasaran?
Tarif KRL Jabodetabek tidak mengalami penyesuaian atau kenaikan sejak 2016.
Context.id, JAKARTA - Siap-siap! Rombongan kereta alias roker yang merupakan pengguna transportasi KRL Jabodetabek sebentar lagi dipastikan merogoh kocek lebih dalam sehubungan dengan rencana kenaikan tarif moda transportasi ini.
Kenaikan tarif KRL Commuter Line sedang diusulkan PT KAI kepada pemerintah. Pasalnya, sejak 2016 KRL Commuter Line tidak pernah melakukan penyesuaian tarif sementara biaya operasional terus meningkat.
Menanggapi isu kenaikan tarif itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan untuk melihat daya beli tariff penumpang transportasi umum perlu melihat beberapa hasil survei.
Salah satu survei terhadap pengguna KRL Jabodetabek dilakukan sebuah lembaga di lingkungan Universitas Indonesia. Hasilnya menyebutkan penumpang yang memiliki penghasilan Rp3 juta – Rp7 juta per bulan sebanyak 63,78 persen.
Kemudian hasil survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) – Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan pada 2021, menyatakan penumpang yang memiliki penghasilan kurang dari Rp4 juta sebulan sebanyak 56,06 persen.
Sedangkan yang memiliki penghasilan lebih dari Rp4 juta sebanyak 43,94 persen. Artinya, pengguna KRL Jabodetabek mayoritas bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan paling tinggi Rp4 juta.
Menurut analisanya, pemberian public service obligation (PSO) atau subsidi KRL Jabodetabek tidak tepat sasaran karena sekitar 60 persen pengguna adalah kelompok mampu.
Volume penumpang KRL Jabodetabek tidak terpengaruh terhadap penyesuaian tarif terutama pada kelompok masyarakat mampu.
“Karakteristik penumpang didominasi oleh kelompok berpenghasilan tinggi dan jenis perjalanan komuter yang bersifat inelastis. Nilai elastisitas terhadap tarif KRL Jabodetabek tergantung pada karakter perjalanan, karakter penumpang, karakter dan layanan kota, dan besaran dan arah perubahan tarif,” ucapnya.
Data Kemenko Maritim dan Investasi menyebut sebanyak 6,704 juta penduduk di Jabodetabek membutuhkan penyediaan layanan angkutan umum setiap hari.
Jumlah penumpang angkutan umum commuting (penumpang per hari) untuk Transjakarta sebanyak 1,17 juta penumpang pada 2023.
KRL Jabodetabek 952 .000 penumpang, MRT Jakarta 278.955 penumpang, LRT Jabodebek 54.117 penumpang dan LRT Jakarta 2.800 penumpang.
Sementara Trans Jabodetabek 55.442 penumpang pada 2022, JR Connection 6.948 penumpang pada 2022 dan Trans Pakuan di Bogor 11.317 penumpang pada 2023.
Sementara potensi penduduk dilayani angkutan umum dalam radius 500 meter dari simpul sebesar 7,97 juta orang. Total dalam sehari 2,532 juta penumpang per hari.
Pada 2023, pemerintah melalui DIPA Kemenkeu menganggarkan PSO untuk Perkeretaapian sebesar Rp3,5 triliun. Sebanyak Rp1,6 triliun (0,48 persen) diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.
Sementara di tahun yang sama anggaran untuk bus perintis di 36 provinsi hanya diberikan Rp177 miliar, 11 persen dari PSO KRL Jabodetabek.
Anggaran ini dinilai tidak berimbang dan kepentingan layanan transportasi umum daerah tertinggal se-Indonesia kalah jauh ketimbang warga Jabodetabek.
“Jika ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek, maka anggaran PSO Perkeretaapian dapat dialihkan untuk menambah anggaran bus perintis yang dioperasikan di seantero Nusantara supaya tidak ada ketimpangan anggaran,” ucapnya.
Lebih lanjutnya, Djoko menyarankan agar antar moda transportasi Jabodetabek dilakukan integrasi pembayaran selain integrasi fisik, jaringan dan informasi.
"Pembayaran tiket terpadu untuk perjalanan single moda ataupun multimoda. Integrasi semua moda transportasi dalam platform yang terhubung dan personal sebagai layanan first mile last mile,” ujarnya.
Selain itu, agar masyarakat lemah tidak terbebani dengan kenaikan tarif Transjakarta dan KRL Jaabodetabek, Pemprov DKI dan PT KCI bisa menerapkan cara yang diberlakukan Pemprov Jawa Tengah (Trans Jateng) dan Pemkot. Semarang (Trans Semarang) dalam memberikan subsidi penumpang bus.
Tarif Trans Semarang yang dikelola Pemerintah Kota Semarang Rp4.000, ada tarif khusus Rp1.000 yang diberikan pelajar atau mahasiswa, pemegang kartu identitas anak (KIA), anak balita, disabilitas, lansia dan veteran.
Sementara Trans Jateng yang dikelola Pemprov Jawa Tengah bertarif Rp4 ribu, diberikan tarif separuh untuk pelajar, mahasiswa dan buruh.
Karena itu, menurutnya, pengelola Transjakarta dan PT KCI bisa membuka pendaftaran bagi warga yang mau mendapatkan tarif khusus itu.
Jika buruh, selain menunjukkan KTP, mereka juga bisa menunjukkan surat keterangan dari tempat bekerja atau RT setempat
“Jika ketahuan berbohong, mungkin ada yang melapor atau ada petugas yang bisa memverifikasi, bisa dicabut dan bisa juga untuk sementara waktu tidak boleh menggunakan bus Transjakarta atau KRL,” ucapnya.
RELATED ARTICLES
Subsidi Transportasi Jabodetabek Tak Tepat Sasaran?
Tarif KRL Jabodetabek tidak mengalami penyesuaian atau kenaikan sejak 2016.
Context.id, JAKARTA - Siap-siap! Rombongan kereta alias roker yang merupakan pengguna transportasi KRL Jabodetabek sebentar lagi dipastikan merogoh kocek lebih dalam sehubungan dengan rencana kenaikan tarif moda transportasi ini.
Kenaikan tarif KRL Commuter Line sedang diusulkan PT KAI kepada pemerintah. Pasalnya, sejak 2016 KRL Commuter Line tidak pernah melakukan penyesuaian tarif sementara biaya operasional terus meningkat.
Menanggapi isu kenaikan tarif itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan untuk melihat daya beli tariff penumpang transportasi umum perlu melihat beberapa hasil survei.
Salah satu survei terhadap pengguna KRL Jabodetabek dilakukan sebuah lembaga di lingkungan Universitas Indonesia. Hasilnya menyebutkan penumpang yang memiliki penghasilan Rp3 juta – Rp7 juta per bulan sebanyak 63,78 persen.
Kemudian hasil survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) – Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan pada 2021, menyatakan penumpang yang memiliki penghasilan kurang dari Rp4 juta sebulan sebanyak 56,06 persen.
Sedangkan yang memiliki penghasilan lebih dari Rp4 juta sebanyak 43,94 persen. Artinya, pengguna KRL Jabodetabek mayoritas bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan paling tinggi Rp4 juta.
Menurut analisanya, pemberian public service obligation (PSO) atau subsidi KRL Jabodetabek tidak tepat sasaran karena sekitar 60 persen pengguna adalah kelompok mampu.
Volume penumpang KRL Jabodetabek tidak terpengaruh terhadap penyesuaian tarif terutama pada kelompok masyarakat mampu.
“Karakteristik penumpang didominasi oleh kelompok berpenghasilan tinggi dan jenis perjalanan komuter yang bersifat inelastis. Nilai elastisitas terhadap tarif KRL Jabodetabek tergantung pada karakter perjalanan, karakter penumpang, karakter dan layanan kota, dan besaran dan arah perubahan tarif,” ucapnya.
Data Kemenko Maritim dan Investasi menyebut sebanyak 6,704 juta penduduk di Jabodetabek membutuhkan penyediaan layanan angkutan umum setiap hari.
Jumlah penumpang angkutan umum commuting (penumpang per hari) untuk Transjakarta sebanyak 1,17 juta penumpang pada 2023.
KRL Jabodetabek 952 .000 penumpang, MRT Jakarta 278.955 penumpang, LRT Jabodebek 54.117 penumpang dan LRT Jakarta 2.800 penumpang.
Sementara Trans Jabodetabek 55.442 penumpang pada 2022, JR Connection 6.948 penumpang pada 2022 dan Trans Pakuan di Bogor 11.317 penumpang pada 2023.
Sementara potensi penduduk dilayani angkutan umum dalam radius 500 meter dari simpul sebesar 7,97 juta orang. Total dalam sehari 2,532 juta penumpang per hari.
Pada 2023, pemerintah melalui DIPA Kemenkeu menganggarkan PSO untuk Perkeretaapian sebesar Rp3,5 triliun. Sebanyak Rp1,6 triliun (0,48 persen) diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.
Sementara di tahun yang sama anggaran untuk bus perintis di 36 provinsi hanya diberikan Rp177 miliar, 11 persen dari PSO KRL Jabodetabek.
Anggaran ini dinilai tidak berimbang dan kepentingan layanan transportasi umum daerah tertinggal se-Indonesia kalah jauh ketimbang warga Jabodetabek.
“Jika ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek, maka anggaran PSO Perkeretaapian dapat dialihkan untuk menambah anggaran bus perintis yang dioperasikan di seantero Nusantara supaya tidak ada ketimpangan anggaran,” ucapnya.
Lebih lanjutnya, Djoko menyarankan agar antar moda transportasi Jabodetabek dilakukan integrasi pembayaran selain integrasi fisik, jaringan dan informasi.
"Pembayaran tiket terpadu untuk perjalanan single moda ataupun multimoda. Integrasi semua moda transportasi dalam platform yang terhubung dan personal sebagai layanan first mile last mile,” ujarnya.
Selain itu, agar masyarakat lemah tidak terbebani dengan kenaikan tarif Transjakarta dan KRL Jaabodetabek, Pemprov DKI dan PT KCI bisa menerapkan cara yang diberlakukan Pemprov Jawa Tengah (Trans Jateng) dan Pemkot. Semarang (Trans Semarang) dalam memberikan subsidi penumpang bus.
Tarif Trans Semarang yang dikelola Pemerintah Kota Semarang Rp4.000, ada tarif khusus Rp1.000 yang diberikan pelajar atau mahasiswa, pemegang kartu identitas anak (KIA), anak balita, disabilitas, lansia dan veteran.
Sementara Trans Jateng yang dikelola Pemprov Jawa Tengah bertarif Rp4 ribu, diberikan tarif separuh untuk pelajar, mahasiswa dan buruh.
Karena itu, menurutnya, pengelola Transjakarta dan PT KCI bisa membuka pendaftaran bagi warga yang mau mendapatkan tarif khusus itu.
Jika buruh, selain menunjukkan KTP, mereka juga bisa menunjukkan surat keterangan dari tempat bekerja atau RT setempat
“Jika ketahuan berbohong, mungkin ada yang melapor atau ada petugas yang bisa memverifikasi, bisa dicabut dan bisa juga untuk sementara waktu tidak boleh menggunakan bus Transjakarta atau KRL,” ucapnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES