Alasan Masyarakat hingga Pejabat Indonesia Gemar Berobat ke Luar Negeri
Pengobatan ke rumah sakit di luar negeri sejak lama menjadi tren yang berkembang di Indonesia
Context.id, JAKARTA - Pengobatan ke rumah sakit dan dokter di luar negeri telah sejak lama menjadi tren yang berkembang di Indonesia, mulai dari masyarakat biasa hingga para pejabat negara.
Rumah sakit luar negeri kerap menjadi pilihan karena disebut memiliki fasilitas dan pelayanan yang lebih baik dibanding rumah sakit di Indonesia.
Presiden Jokowi menyangkan banyaknya masyarakat dan pejabat yang memilih berobat ke luar negeri. Padahal itu salah satu bentuk pemborosan devisa negara.
Dia mengatakan 1 juta orang warga Indonesia masih berobat ke luar negeri di antaranya negeri seberang seperti Malaysia, Singapura, hingga ke Amerika.
BACA JUGA
"Ada 1 juta lebih warga negara kita Indonesia berobat keluar negeri. Malaysia, Singapura, Jepang, Korea, Amerika, Eropa," ungkap Jokowi dalam Rakerkernas Kesehatan 2024, di ICE BSD, Tangerang, Rabu (24/4/2024).
Lebih lanjut Jokowi menjelaskan jika 1 juta lebih orang ini berobat ke luar negeri, Indonesia jadi kehilangan Rp 180 triliun karena ada uang keluar dan tidak terdistribusi di dalam negeri.
"Kita kehilangan US$ 11,5 miliar, kalau dirupiahkan Rp 180 triliun. Itu hilang," papar Jokowi.
Menurutnya banyak masyarakat yang tak mau berobat di dalam negeri. Jokowi enggan bicara apa sebabnya. Namun, menurutnya masalah ini harus diselesaikan.
"Karena warga kita tidak mau berobat dalam negeri. Ada sebabnya pasti kenapa nggak mau di dalam negeri. Persoalan ini harus selesai," beber Jokowi.
Namun, Jokowi mengakui bahwa pemerintah memang masih minim membuka kran investasi bagi institusi kesehatan.
Jokowi pun berharap instansi swasta dari dalam maupun luar negeri dapat memainkan perannya untuk ikut mengembangkan fasilitas kesehatan Indonesia agar lebih banyak lagi rumah sakit yang berstandar internasional.
Eks Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Muhammad Faqih pernah mengungkap alasan masyarakat Indonesia seringkali memilih berobat ke luar negeri, utamanya negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Menurut Daeng, faktor pembeda paling besar antara rumah sakit di Indonesia dengan rumah sakit di luar negeri adalah teknologi dan pelayanan yang jauh lebih baik.
Rumah sakit Indonesia disebut seringkali tak memiliki alat-alat berteknologi canggih yang khusus untuk bisa melakukan pemindaian atau penindakan penyakit-penyakit tertentu yang bisa memberikan hasil lebih maksimal.
Padahal, menurutnya kualitas tenaga medis di Indonesia tak kalah jika dibandingkan dengan para dokter di luar negeri.
“Ya kalau keahlian dan kemampuan dokternya, sama saja antara dokter Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Cuma yang membedakan itu teknologi dan pelayanan RS nya mereka yang sudah jauh lebih baik,” ucap Daeng.
Hanya saja, menurut Daeng perbedaan layanan yang diberikan oleh rumah sakit luar negeri disebut dapat lebih maksimal karena jumlah tenaga medis yang lebih memadai.
"Di sana, satu perawat hanya mengurusi 2 pasien paling banyak. Nah kita? Indonesia satu suster itu bisa mengurus pasien sampai dengan 10. Akibatnya pelayanan jadi kurang maksimal dan efektif. Dan kalau bisa kita buat satu suster satu pasien. Supaya dapat meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat,” lanjutnya.
Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, dr. Effiana juga menyebut kualitas pelayanan di Indonesia adalah salah satu faktor beralihnya masyarakat untuk berobat di luar negeri.
Menurutnya, tidak lengkapnya fasilitas kesehatan di rumah sakit Indonesia membuat masyarakat memiliki kekhawatiran atas hasil dari pengobatan yang dijalani.
dr. Effiana pun menyampaikan saran agar pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada instansi kesehatan agar bisa meningkatkan pelayanannya bagi masyarakat.
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah RS aktif yang beroperasi di seluruh Indonesia sejauh ini mencapai sekitar 3 ribu rumah sakit pada 2023 lalu, atau tempat tidur untuk tiap 1.000 penduduk Indonesia adalah 1,4.
Angka tersebut telah melewati rasio ideal dari World Health Organization (WHO) dengan minimal 1 tempat tidur untuk tiap 1.000 penduduk Indonesia.
Namun, Kemenkes juga menyebut hanya sekitar 83% dari seluruh rumah sakit yang telah terakreditasi oleh pemerintah operasionalnya.
Sementara, standar akreditasi pemerintah Indonesia juga disebut masih kalah dan belum bisa dibandingkan dengan standar internasional milik WHO atau negara-negara seperti Singapura.
Penulis: Ridho Danu
RELATED ARTICLES
Alasan Masyarakat hingga Pejabat Indonesia Gemar Berobat ke Luar Negeri
Pengobatan ke rumah sakit di luar negeri sejak lama menjadi tren yang berkembang di Indonesia
Context.id, JAKARTA - Pengobatan ke rumah sakit dan dokter di luar negeri telah sejak lama menjadi tren yang berkembang di Indonesia, mulai dari masyarakat biasa hingga para pejabat negara.
Rumah sakit luar negeri kerap menjadi pilihan karena disebut memiliki fasilitas dan pelayanan yang lebih baik dibanding rumah sakit di Indonesia.
Presiden Jokowi menyangkan banyaknya masyarakat dan pejabat yang memilih berobat ke luar negeri. Padahal itu salah satu bentuk pemborosan devisa negara.
Dia mengatakan 1 juta orang warga Indonesia masih berobat ke luar negeri di antaranya negeri seberang seperti Malaysia, Singapura, hingga ke Amerika.
BACA JUGA
"Ada 1 juta lebih warga negara kita Indonesia berobat keluar negeri. Malaysia, Singapura, Jepang, Korea, Amerika, Eropa," ungkap Jokowi dalam Rakerkernas Kesehatan 2024, di ICE BSD, Tangerang, Rabu (24/4/2024).
Lebih lanjut Jokowi menjelaskan jika 1 juta lebih orang ini berobat ke luar negeri, Indonesia jadi kehilangan Rp 180 triliun karena ada uang keluar dan tidak terdistribusi di dalam negeri.
"Kita kehilangan US$ 11,5 miliar, kalau dirupiahkan Rp 180 triliun. Itu hilang," papar Jokowi.
Menurutnya banyak masyarakat yang tak mau berobat di dalam negeri. Jokowi enggan bicara apa sebabnya. Namun, menurutnya masalah ini harus diselesaikan.
"Karena warga kita tidak mau berobat dalam negeri. Ada sebabnya pasti kenapa nggak mau di dalam negeri. Persoalan ini harus selesai," beber Jokowi.
Namun, Jokowi mengakui bahwa pemerintah memang masih minim membuka kran investasi bagi institusi kesehatan.
Jokowi pun berharap instansi swasta dari dalam maupun luar negeri dapat memainkan perannya untuk ikut mengembangkan fasilitas kesehatan Indonesia agar lebih banyak lagi rumah sakit yang berstandar internasional.
Eks Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Muhammad Faqih pernah mengungkap alasan masyarakat Indonesia seringkali memilih berobat ke luar negeri, utamanya negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Menurut Daeng, faktor pembeda paling besar antara rumah sakit di Indonesia dengan rumah sakit di luar negeri adalah teknologi dan pelayanan yang jauh lebih baik.
Rumah sakit Indonesia disebut seringkali tak memiliki alat-alat berteknologi canggih yang khusus untuk bisa melakukan pemindaian atau penindakan penyakit-penyakit tertentu yang bisa memberikan hasil lebih maksimal.
Padahal, menurutnya kualitas tenaga medis di Indonesia tak kalah jika dibandingkan dengan para dokter di luar negeri.
“Ya kalau keahlian dan kemampuan dokternya, sama saja antara dokter Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Cuma yang membedakan itu teknologi dan pelayanan RS nya mereka yang sudah jauh lebih baik,” ucap Daeng.
Hanya saja, menurut Daeng perbedaan layanan yang diberikan oleh rumah sakit luar negeri disebut dapat lebih maksimal karena jumlah tenaga medis yang lebih memadai.
"Di sana, satu perawat hanya mengurusi 2 pasien paling banyak. Nah kita? Indonesia satu suster itu bisa mengurus pasien sampai dengan 10. Akibatnya pelayanan jadi kurang maksimal dan efektif. Dan kalau bisa kita buat satu suster satu pasien. Supaya dapat meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat,” lanjutnya.
Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, dr. Effiana juga menyebut kualitas pelayanan di Indonesia adalah salah satu faktor beralihnya masyarakat untuk berobat di luar negeri.
Menurutnya, tidak lengkapnya fasilitas kesehatan di rumah sakit Indonesia membuat masyarakat memiliki kekhawatiran atas hasil dari pengobatan yang dijalani.
dr. Effiana pun menyampaikan saran agar pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada instansi kesehatan agar bisa meningkatkan pelayanannya bagi masyarakat.
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), jumlah RS aktif yang beroperasi di seluruh Indonesia sejauh ini mencapai sekitar 3 ribu rumah sakit pada 2023 lalu, atau tempat tidur untuk tiap 1.000 penduduk Indonesia adalah 1,4.
Angka tersebut telah melewati rasio ideal dari World Health Organization (WHO) dengan minimal 1 tempat tidur untuk tiap 1.000 penduduk Indonesia.
Namun, Kemenkes juga menyebut hanya sekitar 83% dari seluruh rumah sakit yang telah terakreditasi oleh pemerintah operasionalnya.
Sementara, standar akreditasi pemerintah Indonesia juga disebut masih kalah dan belum bisa dibandingkan dengan standar internasional milik WHO atau negara-negara seperti Singapura.
Penulis: Ridho Danu
POPULAR
RELATED ARTICLES