Share

Home Stories

Stories 03 Juni 2025

Vietnam Blokir Telegram, Antara Keamanan Negara dan Sensor Digital

Pemerintah Vietnam kembali menjadi sorotan setelah memerintahkan pemblokiran Telegram yang sangat populer di negara komunis itu

Ilustrasi ikon Telegram/Telegram

Context.id, JAKARTA - Telegram, aplikasi pesan asal Rusia dengan hampir satu miliar pengguna global, kini menghadapi tekanan baru. Kali ini datang dari pemerintah Vietnam, yang memerintahkan penyedia layanan internet di negara tersebut untuk memblokir akses terhadap aplikasi itu.

Alasannya? Dugaan penyebaran konten berbahaya dan penolakan kerja sama dengan otoritas dalam investigasi kejahatan. Langkah ini diumumkan pada Jumat, 24 Mei 2025, melalui surat resmi dari Kementerian Sains dan Teknologi Vietnam. 

Pemerintah menuding Telegram gagal bekerja sama dalam menangani dugaan kejahatan yang dilakukan penggunanya di dalam negeri.

Menurut laporan dari media pemerintah, terdapat  tanda-tanda pelanggaran hukum di platform Telegram. Pemerintah bahkan menuduh 70 persen dari sekitar 9.600 saluran Telegram di Vietnam memuat informasi “beracun dan merusak”.

Dari propaganda hingga penjualan data
Tuduhan yang dilayangkan ke Telegram sangat serius. Pemerintah Vietnam menyebut beberapa grup di aplikasi tersebut melakukan kejahatan yang sangat berbahaya. 

Mulai dari menyebarkan dokumen anti-negara, menyuarakan narasi reaksioner, dan bahkan diduga terlibat dalam perdagangan narkoba, penjualan data pribadi, serta berhubungan dengan tindakan terorisme.

Pemerintah juga mengklaim Telegram digunakan sebagai saluran untuk aktivitas kriminal dan anti-pemerintah yang sulit dilacak karena fitur enkripsi yang kuat dan server yang berada di luar yurisdiksi Vietnam.

Surat tertanggal 21 Mei dari kementerian itu meminta semua penyedia internet untuk segera mengambil tindakan terhadap aplikasi Telegram dan memberikan laporan kepatuhan paling lambat 2 Juni.

Respons Telegram
Pihak Telegram mengaku terkejut atas keputusan sepihak Vietnam. Dalam pernyataan kepada kantor berita Reuters, Telegram menyebut mereka sebenarnya sedang dalam proses merespons permintaan hukum dari pemerintah Vietnam.

“Batas waktu untuk memberikan tanggapan adalah 27 Mei. Kami sedang memproses permintaan tersebut,” ujar perwakilan Telegram.

Namun, seorang pejabat dari Kementerian Sains dan Teknologi menyatakan keputusan ini diambil karena Telegram dianggap gagal memenuhi permintaan data pengguna yang dibutuhkan untuk penyelidikan kriminal.

Langkah ini bukan yang pertama bagi pemerintah komunis Vietnam dalam mengontrol lalu lintas digital di negaranya. 

Tahun lalu, Hanoi mengesahkan aturan baru yang mewajibkan platform digital seperti Facebook dan TikTok untuk memverifikasi identitas pengguna dan menyerahkan data mereka kepada pihak berwenang.

Kritikus menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur terhadap kebebasan berekspresi. Vietnam dikenal sebagai negara yang cepat membungkam perbedaan pendapat, terutama di ranah digital. 

Aktivis, jurnalis, dan pembangkang kerap menjadi target penangkapan setelah menyuarakan kritik di media sosial.

Hingga akhir Mei, Telegram masih bisa diakses di Vietnam. Namun, larangan resmi diperkirakan akan segera diberlakukan, tergantung respons para penyedia layanan internet terhadap instruksi pemerintah.

Data dari DataReport mencatat Vietnam memiliki lebih dari 79 juta pengguna internet aktif, dan Telegram digunakan oleh hampir 12 juta di antaranya.

Aplikasi ini menjadi alat komunikasi utama di berbagai komunitas, termasuk aktivis, pelaku bisnis digital, dan kelompok oposisi.

Telegram dan jejak kontroversialnya
Ini bukan kali pertama Telegram berada dalam sorotan internasional. Pendiri dan CEO-nya, Pavel Durov, masih menjadi tahanan kota di Prancis dan dilarang bepergian tanpa izin otoritas karena dianggap gagal membendung penyebaran konten ekstremis di aplikasinya. 

Kasus Vietnam membuat sorotan kepada Telegram antara simbol kebebasan digital dan alat komunikasi yang berpotensi disalahgunakan. Pemblokiran Telegram bisa jadi hanya permulaan dari kontrol lebih ketat terhadap ruang digital di Asia Tenggara.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 03 Juni 2025

Vietnam Blokir Telegram, Antara Keamanan Negara dan Sensor Digital

Pemerintah Vietnam kembali menjadi sorotan setelah memerintahkan pemblokiran Telegram yang sangat populer di negara komunis itu

Ilustrasi ikon Telegram/Telegram

Context.id, JAKARTA - Telegram, aplikasi pesan asal Rusia dengan hampir satu miliar pengguna global, kini menghadapi tekanan baru. Kali ini datang dari pemerintah Vietnam, yang memerintahkan penyedia layanan internet di negara tersebut untuk memblokir akses terhadap aplikasi itu.

Alasannya? Dugaan penyebaran konten berbahaya dan penolakan kerja sama dengan otoritas dalam investigasi kejahatan. Langkah ini diumumkan pada Jumat, 24 Mei 2025, melalui surat resmi dari Kementerian Sains dan Teknologi Vietnam. 

Pemerintah menuding Telegram gagal bekerja sama dalam menangani dugaan kejahatan yang dilakukan penggunanya di dalam negeri.

Menurut laporan dari media pemerintah, terdapat  tanda-tanda pelanggaran hukum di platform Telegram. Pemerintah bahkan menuduh 70 persen dari sekitar 9.600 saluran Telegram di Vietnam memuat informasi “beracun dan merusak”.

Dari propaganda hingga penjualan data
Tuduhan yang dilayangkan ke Telegram sangat serius. Pemerintah Vietnam menyebut beberapa grup di aplikasi tersebut melakukan kejahatan yang sangat berbahaya. 

Mulai dari menyebarkan dokumen anti-negara, menyuarakan narasi reaksioner, dan bahkan diduga terlibat dalam perdagangan narkoba, penjualan data pribadi, serta berhubungan dengan tindakan terorisme.

Pemerintah juga mengklaim Telegram digunakan sebagai saluran untuk aktivitas kriminal dan anti-pemerintah yang sulit dilacak karena fitur enkripsi yang kuat dan server yang berada di luar yurisdiksi Vietnam.

Surat tertanggal 21 Mei dari kementerian itu meminta semua penyedia internet untuk segera mengambil tindakan terhadap aplikasi Telegram dan memberikan laporan kepatuhan paling lambat 2 Juni.

Respons Telegram
Pihak Telegram mengaku terkejut atas keputusan sepihak Vietnam. Dalam pernyataan kepada kantor berita Reuters, Telegram menyebut mereka sebenarnya sedang dalam proses merespons permintaan hukum dari pemerintah Vietnam.

“Batas waktu untuk memberikan tanggapan adalah 27 Mei. Kami sedang memproses permintaan tersebut,” ujar perwakilan Telegram.

Namun, seorang pejabat dari Kementerian Sains dan Teknologi menyatakan keputusan ini diambil karena Telegram dianggap gagal memenuhi permintaan data pengguna yang dibutuhkan untuk penyelidikan kriminal.

Langkah ini bukan yang pertama bagi pemerintah komunis Vietnam dalam mengontrol lalu lintas digital di negaranya. 

Tahun lalu, Hanoi mengesahkan aturan baru yang mewajibkan platform digital seperti Facebook dan TikTok untuk memverifikasi identitas pengguna dan menyerahkan data mereka kepada pihak berwenang.

Kritikus menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur terhadap kebebasan berekspresi. Vietnam dikenal sebagai negara yang cepat membungkam perbedaan pendapat, terutama di ranah digital. 

Aktivis, jurnalis, dan pembangkang kerap menjadi target penangkapan setelah menyuarakan kritik di media sosial.

Hingga akhir Mei, Telegram masih bisa diakses di Vietnam. Namun, larangan resmi diperkirakan akan segera diberlakukan, tergantung respons para penyedia layanan internet terhadap instruksi pemerintah.

Data dari DataReport mencatat Vietnam memiliki lebih dari 79 juta pengguna internet aktif, dan Telegram digunakan oleh hampir 12 juta di antaranya.

Aplikasi ini menjadi alat komunikasi utama di berbagai komunitas, termasuk aktivis, pelaku bisnis digital, dan kelompok oposisi.

Telegram dan jejak kontroversialnya
Ini bukan kali pertama Telegram berada dalam sorotan internasional. Pendiri dan CEO-nya, Pavel Durov, masih menjadi tahanan kota di Prancis dan dilarang bepergian tanpa izin otoritas karena dianggap gagal membendung penyebaran konten ekstremis di aplikasinya. 

Kasus Vietnam membuat sorotan kepada Telegram antara simbol kebebasan digital dan alat komunikasi yang berpotensi disalahgunakan. Pemblokiran Telegram bisa jadi hanya permulaan dari kontrol lebih ketat terhadap ruang digital di Asia Tenggara.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Onomatoplay Retail: Pengalaman Belanja yang ‘Disajikan’ Bak Hidangan

Pernahkah kamu melihat toko/merek non-makanan menyajikan produk bak hidangan? Mereka tak sekadar menjual, tapi menawarkan pengalaman personal yang ...

Context.id . 30 July 2025

Beras Bisa Bikin Bir Non-Alkohol Lebih Enak?

Bir yang dibuat dengan beras memiliki rasa worty yang lebih rendah, karena kadar aldehida yang lebih sedikit

Renita Sukma . 25 July 2025

Konten TikTok Picu Self Diagnosis dan Misinformasi soal Kesehatan Mental

Pengguna TikTok perlu hati-hati dalam menerima informasi soal konten bertema kesehatan mental.

Context.id . 25 July 2025

The Devil Wears Prada 2: Andy Sachs Ikuti Jejak Karir Miranda?

Dari asisten Miranda ke jurnalis surat kabar, kini Andy Sachs kembali tampil mewah. Apa yang terjadi di \"The Devil Wears Prada 2 \"?

Context.id . 25 July 2025