Berapa Banyak Energi yang Sebenarnya Digunakan AI?
Model AI berbeda dengan komputer biasa karena membutuhkan daya gigantik untuk belajar dan mengolah miliaran informasi demi menghasilkan respons cerdas

Context.id, JAKARTA - Sekilas, bertanya ke Gemini seperti hal kecil tinggal ketik, tunggu jawaban, selesai. Sangat mudah dan sederhana. Tapi siapa sangka, satu pertanyaan sederhana itu bisa menyedot energi cukup besar.
Bahkan, ada yang menyebut, satu permintaan bisa menghabiskan air setara sebotol penuh untuk mendinginkan prosesor yang bekerja di balik layar. Mungkin terdengar lebai, tapi tak sepenuhnya keliru.
Di balik jawaban cepat dari chatbot seperti ini, tersembunyi kerja berat ribuan komputer dalam pusat data gedung besar berisi rak-rak penuh server yang bekerja siang malam, mengolah miliaran data.
Masalahnya, ribuan komputer itu sangat panas karena digenjot tanpa jeda dan mendinginkan dirinya sendiri dengan aliran listrik dan air yang tak sedikit.
Itulah, model AI atau super komputer, berbeda dengan komputer biasa. Mereka membutuhkan daya gigantik untuk belajar dan mengolah miliaran informasi demi menghasilkan respons cerdas dan relevan.
Teknologi AI tidak hidup di awan, meski kita sering menyebutnya cloud. Ia hidup di tempat nyata pusat data fisik yang bisa sebesar lapangan bola, dengan sistem pendingin intensif, dan daya listrik yang terus menyala.
Ketika permintaan akan layanan AI melonjak, permintaan energi pun ikut meroket. Di Amerika Serikat, seperti dilansir dari ZdNet, pusat data diperkirakan akan mengonsumsi 7,5% dari total listrik nasional pada 2030 setara dengan kebutuhan 40 juta rumah tangga.
Tapi seberapa besar jejak karbon satu permintaan kecil ke AI? Jawabannya bervariasi. Ada peneliti yang memperkirakan, satu permintaan dari chatbot AI bisa menghabiskan listrik setara menyalakan bohlam selama 20 menit.
Untuk permintaan yang lebih kompleks seperti menghasilkan gambar atau video energinya bisa melonjak hingga ratusan kali lipat. Bahkan, satu proses pembuatan gambar oleh AI bisa menyedot energi setara dengan mengisi ulang 500 ponsel.
Mengejutkannya lagi, bukan cuma listrik yang dibutuhkan, tapi juga air bersih. Banyak pusat data masih menggunakan air minum berkualitas tinggi untuk mendinginkan server mereka. Sialnya seperti dilaporkan ZdNet, tak sedikit dari pusat-pusat data ini dibangun di wilayah yang kekurangan pasokan air.
Lalu, apakah itu berarti kita harus berhenti memakai AI? Tidak sesederhana itu. AI, di satu sisi, memang menyedot energi. Tapi ia juga bisa menggantikan banyak proses yang sebelumnya jauh lebih boros.
Misalnya dipakai untuk membantu lingkungan dari pelacakan deforestasi, pemetaan polusi laut, hingga pengamatan perubahan iklim. Sebagian perusahaan teknologi juga mulai berinovasi mengembangkan model yang lebih hemat daya.
Namun tantangan terbesar tetap transparansi. Banyak perusahaan belum terbuka soal berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh sistem mereka. Tanpa data, sulit membuat keputusan bijak sebagai pengguna.
Beberapa inisiatif seperti proyek Hugging Face mulai mempublikasikan jejak energi model-model AI open-source, tapi raksasa teknologi besar masih tertutup rapat.
Jika kamu bekerja di industri kreatif, pendidikan, media, atau teknologi, yang menjadikan AI sebagai alat kerja, maka bijaklah dalam penggunaannya agar tidak menjadi penambah beban bagi planet ini.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Berapa Banyak Energi yang Sebenarnya Digunakan AI?
Model AI berbeda dengan komputer biasa karena membutuhkan daya gigantik untuk belajar dan mengolah miliaran informasi demi menghasilkan respons cerdas

Context.id, JAKARTA - Sekilas, bertanya ke Gemini seperti hal kecil tinggal ketik, tunggu jawaban, selesai. Sangat mudah dan sederhana. Tapi siapa sangka, satu pertanyaan sederhana itu bisa menyedot energi cukup besar.
Bahkan, ada yang menyebut, satu permintaan bisa menghabiskan air setara sebotol penuh untuk mendinginkan prosesor yang bekerja di balik layar. Mungkin terdengar lebai, tapi tak sepenuhnya keliru.
Di balik jawaban cepat dari chatbot seperti ini, tersembunyi kerja berat ribuan komputer dalam pusat data gedung besar berisi rak-rak penuh server yang bekerja siang malam, mengolah miliaran data.
Masalahnya, ribuan komputer itu sangat panas karena digenjot tanpa jeda dan mendinginkan dirinya sendiri dengan aliran listrik dan air yang tak sedikit.
Itulah, model AI atau super komputer, berbeda dengan komputer biasa. Mereka membutuhkan daya gigantik untuk belajar dan mengolah miliaran informasi demi menghasilkan respons cerdas dan relevan.
Teknologi AI tidak hidup di awan, meski kita sering menyebutnya cloud. Ia hidup di tempat nyata pusat data fisik yang bisa sebesar lapangan bola, dengan sistem pendingin intensif, dan daya listrik yang terus menyala.
Ketika permintaan akan layanan AI melonjak, permintaan energi pun ikut meroket. Di Amerika Serikat, seperti dilansir dari ZdNet, pusat data diperkirakan akan mengonsumsi 7,5% dari total listrik nasional pada 2030 setara dengan kebutuhan 40 juta rumah tangga.
Tapi seberapa besar jejak karbon satu permintaan kecil ke AI? Jawabannya bervariasi. Ada peneliti yang memperkirakan, satu permintaan dari chatbot AI bisa menghabiskan listrik setara menyalakan bohlam selama 20 menit.
Untuk permintaan yang lebih kompleks seperti menghasilkan gambar atau video energinya bisa melonjak hingga ratusan kali lipat. Bahkan, satu proses pembuatan gambar oleh AI bisa menyedot energi setara dengan mengisi ulang 500 ponsel.
Mengejutkannya lagi, bukan cuma listrik yang dibutuhkan, tapi juga air bersih. Banyak pusat data masih menggunakan air minum berkualitas tinggi untuk mendinginkan server mereka. Sialnya seperti dilaporkan ZdNet, tak sedikit dari pusat-pusat data ini dibangun di wilayah yang kekurangan pasokan air.
Lalu, apakah itu berarti kita harus berhenti memakai AI? Tidak sesederhana itu. AI, di satu sisi, memang menyedot energi. Tapi ia juga bisa menggantikan banyak proses yang sebelumnya jauh lebih boros.
Misalnya dipakai untuk membantu lingkungan dari pelacakan deforestasi, pemetaan polusi laut, hingga pengamatan perubahan iklim. Sebagian perusahaan teknologi juga mulai berinovasi mengembangkan model yang lebih hemat daya.
Namun tantangan terbesar tetap transparansi. Banyak perusahaan belum terbuka soal berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh sistem mereka. Tanpa data, sulit membuat keputusan bijak sebagai pengguna.
Beberapa inisiatif seperti proyek Hugging Face mulai mempublikasikan jejak energi model-model AI open-source, tapi raksasa teknologi besar masih tertutup rapat.
Jika kamu bekerja di industri kreatif, pendidikan, media, atau teknologi, yang menjadikan AI sebagai alat kerja, maka bijaklah dalam penggunaannya agar tidak menjadi penambah beban bagi planet ini.
POPULAR
RELATED ARTICLES