Share

Home Stories

Stories 18 April 2024

Tren Properti Indonesia, China dan Hongkong dari Selangit hingga Diobral

Harga properti Indonesia, China, dan Hongkong mengalami berbagai sentimen di tengah gejolak ekonomi global

Ilustrasi rumah/DJKN Kemenkeu

Context.id, JAKARTA  – Harga properti Indonesia, China, dan Hongkong mengalami berbagai sentimen di tengah gejolak ekonomi global.

Sejauh ini, kondisi sektor properti global yang kurang baik tersebut tidak memengaruhi kinerja sektor properti di Indonesia. 

Harga rumah di Indonesia masih terus mengalami peningkatan. Hal ini antara lain disebabkan pasar properti kita belum terkoneksi dengan pasar properti global.

Berdasarkan laporan indeks harga properti residensial (IHPR) pada kuartal IV/2023, harga properti Tanah Air masih melonjak 1,74% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). 

Kendati demikian, Bank Indonesia melaporkan bahwa lonjakan harga rumah tersebut membaik bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang tercatat sempat meningkat sebesar 1,96% pada kuartal III/2023. 



"Peningkatan IHPR tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga properti tipe kecil yang meningkat sebesar 2,15% yoy, melanjutkan kenaikan pada kuartal III/2023 yang sebesar 2,11% yoy," tulis laporan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia.

Bank Indonesia bahkan meramalkan sektor properti Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang tahun ini sejalan dengan prospek ekonomi dalam negeri serta kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan.

Di saat harga properti Indonesia terus merangkak naik, pasar properti di China justru terancam runtuh.

Bayang-bayang keterpurukan real estate di Negeri Tirai Bambu itu makin nyata usai sejumlah pengembang dikabarkan defisit atau kekurangan dana hingga US$553 miliar atau mencapai Rp8.889 triliun. 

Melansir Bloomberg, kesenjangan pendanaan yang menjegal sejumlah perusahaan properti asal China tersebut dilaporkan pertama kali oleh Goldman Sachs Group Inc. 

Bahkan, dukungan kredit yang sebelumnya telah dikucurkan oleh lembaga keuangan China mencapai 469 miliar yuan atau Rp1.041 triliun pada akhir Maret 2024 tampaknya tak mampu menyambung napas panjang pasar properti China. 

Hal tersebut diperparah dengan kebijakan pemerintah setempat yang seakan-akan tak mampu berbuat banyak.

Lantaran kebijakan relaksasi yang diberikan pada tahun ini dinilai jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

"Tampaknya [bantuan kredit yang diberikan] jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan untuk mengamankan penyelesaian rumah," tulis para analis Goldman Sachs yang dipimpin oleh Lisheng Wang.

Situasi di China tersebut memiliki imbas terhadap rendahnya penjualan dan semakin ketatnya persaingan pasar properti di Hong Kong. 

Salah satu penyebabnya yakni perusahaan properti asal China selaku pengembang The Corniche di Hong Kong memangkas harga jual apartemen mewah miliknya hingga 40%.

Penawaran tersebut dilakukan di tengah meningkatnya tekanan pembayaran utang perusahaan.

Bloomberg melaporkan, harga beberapa unit di menara pertama The Corniche telah diturunkan menjadi sekitar HK$25.000 atau setara Rp51,7 juta ($3.200) per kaki persegi.

Itu mewakili diskon lebih dari 40% dari harga awal yang diminta sebesar HK$45.000 atau setara Rp93,1 juta. 

Untuk diketahui proyek enam menara ini dikembangkan oleh Logan Group Co. dan KWG Group Holdings Ltd.

Kendati begitu, pengembang hanya berhasil menjual lima dari 295 apartemen sejak pemasaran dimulai pada Januari 2023.



Penulis : Ririn oktaviani

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 18 April 2024

Tren Properti Indonesia, China dan Hongkong dari Selangit hingga Diobral

Harga properti Indonesia, China, dan Hongkong mengalami berbagai sentimen di tengah gejolak ekonomi global

Ilustrasi rumah/DJKN Kemenkeu

Context.id, JAKARTA  – Harga properti Indonesia, China, dan Hongkong mengalami berbagai sentimen di tengah gejolak ekonomi global.

Sejauh ini, kondisi sektor properti global yang kurang baik tersebut tidak memengaruhi kinerja sektor properti di Indonesia. 

Harga rumah di Indonesia masih terus mengalami peningkatan. Hal ini antara lain disebabkan pasar properti kita belum terkoneksi dengan pasar properti global.

Berdasarkan laporan indeks harga properti residensial (IHPR) pada kuartal IV/2023, harga properti Tanah Air masih melonjak 1,74% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). 

Kendati demikian, Bank Indonesia melaporkan bahwa lonjakan harga rumah tersebut membaik bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang tercatat sempat meningkat sebesar 1,96% pada kuartal III/2023. 



"Peningkatan IHPR tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga properti tipe kecil yang meningkat sebesar 2,15% yoy, melanjutkan kenaikan pada kuartal III/2023 yang sebesar 2,11% yoy," tulis laporan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia.

Bank Indonesia bahkan meramalkan sektor properti Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang tahun ini sejalan dengan prospek ekonomi dalam negeri serta kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan.

Di saat harga properti Indonesia terus merangkak naik, pasar properti di China justru terancam runtuh.

Bayang-bayang keterpurukan real estate di Negeri Tirai Bambu itu makin nyata usai sejumlah pengembang dikabarkan defisit atau kekurangan dana hingga US$553 miliar atau mencapai Rp8.889 triliun. 

Melansir Bloomberg, kesenjangan pendanaan yang menjegal sejumlah perusahaan properti asal China tersebut dilaporkan pertama kali oleh Goldman Sachs Group Inc. 

Bahkan, dukungan kredit yang sebelumnya telah dikucurkan oleh lembaga keuangan China mencapai 469 miliar yuan atau Rp1.041 triliun pada akhir Maret 2024 tampaknya tak mampu menyambung napas panjang pasar properti China. 

Hal tersebut diperparah dengan kebijakan pemerintah setempat yang seakan-akan tak mampu berbuat banyak.

Lantaran kebijakan relaksasi yang diberikan pada tahun ini dinilai jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

"Tampaknya [bantuan kredit yang diberikan] jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan untuk mengamankan penyelesaian rumah," tulis para analis Goldman Sachs yang dipimpin oleh Lisheng Wang.

Situasi di China tersebut memiliki imbas terhadap rendahnya penjualan dan semakin ketatnya persaingan pasar properti di Hong Kong. 

Salah satu penyebabnya yakni perusahaan properti asal China selaku pengembang The Corniche di Hong Kong memangkas harga jual apartemen mewah miliknya hingga 40%.

Penawaran tersebut dilakukan di tengah meningkatnya tekanan pembayaran utang perusahaan.

Bloomberg melaporkan, harga beberapa unit di menara pertama The Corniche telah diturunkan menjadi sekitar HK$25.000 atau setara Rp51,7 juta ($3.200) per kaki persegi.

Itu mewakili diskon lebih dari 40% dari harga awal yang diminta sebesar HK$45.000 atau setara Rp93,1 juta. 

Untuk diketahui proyek enam menara ini dikembangkan oleh Logan Group Co. dan KWG Group Holdings Ltd.

Kendati begitu, pengembang hanya berhasil menjual lima dari 295 apartemen sejak pemasaran dimulai pada Januari 2023.



Penulis : Ririn oktaviani

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Manggarai Jaksel, Nama dari Tangisan Budak yang Rindu Pulang

Manggarai bukan hanya soal transit dan padatnya penumpang, tapi juga tentang memori perbudakan dan akar budaya dari Timur Indonesia

Renita Sukma . 31 July 2025

Pasar Jatinegara atau Pasar Mester? Ini Asal-Usul Nama Jatinegara

Nama Jatinegara menyimpan jejak panjang dari masa kolonial, ketika wilayah ini masih disebut Meester Cornelis

Renita Sukma . 31 July 2025

Onomatoplay Retail: Pengalaman Belanja yang ‘Disajikan’ Bak Hidangan

Pernahkah kamu melihat toko/merek non-makanan menyajikan produk bak hidangan? Mereka tak sekadar menjual, tapi menawarkan pengalaman personal yang ...

Context.id . 30 July 2025

Beras Bisa Bikin Bir Non-Alkohol Lebih Enak?

Bir yang dibuat dengan beras memiliki rasa worty yang lebih rendah, karena kadar aldehida yang lebih sedikit

Renita Sukma . 25 July 2025