Dilema Pendidikan Tinggi Indonesia, Public Goods atau Private Goods?
Polemik biaya pendidikan lahir dari belum jelasnya status pendidikan tinggi di Indonesia
Context.id, JAKARTA - Mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia merupakan tantangan terbesar dalam upaya pemerataan akses pendidikan. Akses pendidikan tinggi pun kini semakin eksklusif dan sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Perdebatan kian mencuat, mencari kepastian apakah pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya merupakan public goods alias barang publik atau private goods alias barang privat.
Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, Fajri Siregar mengungkapkan polemik biaya pendidikan lahir dari belum jelasnya status pendidikan tinggi di Indonesia, apakah termasuk public goods atau private goods.
Fajri menyebutkan, apabila pendidikan tinggi dikategorikan sebagai barang publik, maka pemerintah memiliki kewajiban secara penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat secara merata.
Sementara, pandangan yang menyebut pendidikan tinggi adalah private goods didasari alasan bahwa lulusan universitas nantinya akan masuk ke pasar kerja.
Di pasar kerja, lulusan universitas tersebut akan mendapat keuntungan finansial pribadi sesuai dengan ilmu dan keahlian yang diperoleh dari perguruan tinggi.
Langkah Pemerintah
Pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi sebagai barang publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara merata.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam Pasal 74 menyebut bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) wajib menjaring dan memenuhi akses pendidikan tinggi bagi calon mahasiswa dengan latar belakang ekonomi kurang mampu.
Namun, kewajiban pemenuhan akses pendidikan tinggi tersebut hanya sebesar 20% dari total jumlah mahasiswa yang diterima di universitas tersebut.
Pemerintah juga mengupayakan berbagai bantuan subsidi pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) atau bantuan setingkat daerah seperti Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
Sayangnya, kemampuan pemerintah dalam mengakomodir bantuan pendidikan masih terbatas. KIP-K sendiri hanya mampu memberikan bantuan pendidikan kepada 9 juta mahasiswa per tahunnya.
Perlahan Menjadi Eksklusif
Penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Moderat Universitas Indonesia mengungkap bahwa pendidikan tinggi di Indonesia kini mengalami fenomena pergeseran dari public goods menjadi private goods.
Jurnal berjudul “Kebijakan Privatisasi Pendidikan sebagai Dampak dari Globalisasi” yang ditulis Aris Maulana dan Fibria Indriati ini menyebut bahwa pendidikan kini telah banyak diprivatisasi oleh pemerintah dan cenderung berorientasi untuk mencari keuntungan dan menjadi lebih eksklusif.
Sejalan dengan temuan tersebut, Fajri Siregar menyebut biaya pendidikan tinggi semakin melonjak dengan adanya kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).
Universitas dengan status PTN-BH memiliki otonomi untuk mengatur kebijakan keuangannya sendiri, termasuk mencari sumber pendanaan lewat Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga biaya seleksi jalur mandiri.
“Otonomi PTN-BH juga mencakup pengelolaan keuangan dan berakibat pada kebijakan berbagai PTN dari tahun ke tahun membuka jalur baru, menentukan biaya secara mandiri dan itu yang secara langsung menyebabkan biaya di masing-masing PTN-BH ini terus meningkat,” ujar Fajri kepada Context.
Di sisi lain, Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbudristek, Nizam membantah pernyataan bahwa biaya perguruan tinggi menjadi mahal akibat penerapan PTN-BH.
Nizam menilai standar biaya pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
“Mahalnya biaya pendidikan tidak ada hubungannya dengan PTN-BH. PTN-BH sebagai penyelenggara layanan pendidikan tinggi masih mendapat pendanaan dari pemerintah,” ucap Nizam.
Adapun, pendanaan yang masih diberikan pemerintah kepada PTN-BH meliputi bantuan biaya operasional, pendanaan penelitian dan pengabdian, gaji dan tunjangan dosen, hingga investasi pembangunan infrastruktur.
Namun, data di lapangan mengungkap biaya pendidikan tinggi Indonesia terus melonjak tinggi dari ratusan ribu, hingga belasan hingga puluhan juta rupiah.
Data yang dirilis oleh Data Indonesia juga mengungkapkan bahwa biaya pendidikan meningkat secara signifikan sejak periode 2016 hingga 2021.
Rata-rata biaya pendidikan di jenjang perguruan tinggi pada tahun 2016 berada di angka Rp 4,75 juta dan melonjak ke angka Rp14,47 juta pada 2021.
Survei HSBC pada 2017 lalu bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-15 sebagai negara dengan biaya pendidikan tinggi termahal di dunia.
Akses pendidikan tinggi yang tidak merata dan biaya yang terus meroket membuat pendidikan tinggi kian menjadi barang yang eksklusif.
Kebijakan pemerintah terkait penerapan PTN-BH yang berorientasi pada keuntungan usaha juga membuat pendidikan tinggi bergerak dalam mekanisme pasar dan beralih menyerupai barang privat, bukan lagi barang publik.
Penulis: Ridho Danu
RELATED ARTICLES
Dilema Pendidikan Tinggi Indonesia, Public Goods atau Private Goods?
Polemik biaya pendidikan lahir dari belum jelasnya status pendidikan tinggi di Indonesia
Context.id, JAKARTA - Mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia merupakan tantangan terbesar dalam upaya pemerataan akses pendidikan. Akses pendidikan tinggi pun kini semakin eksklusif dan sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Perdebatan kian mencuat, mencari kepastian apakah pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya merupakan public goods alias barang publik atau private goods alias barang privat.
Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, Fajri Siregar mengungkapkan polemik biaya pendidikan lahir dari belum jelasnya status pendidikan tinggi di Indonesia, apakah termasuk public goods atau private goods.
Fajri menyebutkan, apabila pendidikan tinggi dikategorikan sebagai barang publik, maka pemerintah memiliki kewajiban secara penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi bagi seluruh masyarakat secara merata.
Sementara, pandangan yang menyebut pendidikan tinggi adalah private goods didasari alasan bahwa lulusan universitas nantinya akan masuk ke pasar kerja.
Di pasar kerja, lulusan universitas tersebut akan mendapat keuntungan finansial pribadi sesuai dengan ilmu dan keahlian yang diperoleh dari perguruan tinggi.
Langkah Pemerintah
Pemerintah sebenarnya telah melakukan upaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi sebagai barang publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara merata.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam Pasal 74 menyebut bahwa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) wajib menjaring dan memenuhi akses pendidikan tinggi bagi calon mahasiswa dengan latar belakang ekonomi kurang mampu.
Namun, kewajiban pemenuhan akses pendidikan tinggi tersebut hanya sebesar 20% dari total jumlah mahasiswa yang diterima di universitas tersebut.
Pemerintah juga mengupayakan berbagai bantuan subsidi pendidikan seperti Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) atau bantuan setingkat daerah seperti Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
Sayangnya, kemampuan pemerintah dalam mengakomodir bantuan pendidikan masih terbatas. KIP-K sendiri hanya mampu memberikan bantuan pendidikan kepada 9 juta mahasiswa per tahunnya.
Perlahan Menjadi Eksklusif
Penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Moderat Universitas Indonesia mengungkap bahwa pendidikan tinggi di Indonesia kini mengalami fenomena pergeseran dari public goods menjadi private goods.
Jurnal berjudul “Kebijakan Privatisasi Pendidikan sebagai Dampak dari Globalisasi” yang ditulis Aris Maulana dan Fibria Indriati ini menyebut bahwa pendidikan kini telah banyak diprivatisasi oleh pemerintah dan cenderung berorientasi untuk mencari keuntungan dan menjadi lebih eksklusif.
Sejalan dengan temuan tersebut, Fajri Siregar menyebut biaya pendidikan tinggi semakin melonjak dengan adanya kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH).
Universitas dengan status PTN-BH memiliki otonomi untuk mengatur kebijakan keuangannya sendiri, termasuk mencari sumber pendanaan lewat Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga biaya seleksi jalur mandiri.
“Otonomi PTN-BH juga mencakup pengelolaan keuangan dan berakibat pada kebijakan berbagai PTN dari tahun ke tahun membuka jalur baru, menentukan biaya secara mandiri dan itu yang secara langsung menyebabkan biaya di masing-masing PTN-BH ini terus meningkat,” ujar Fajri kepada Context.
Di sisi lain, Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdikbudristek, Nizam membantah pernyataan bahwa biaya perguruan tinggi menjadi mahal akibat penerapan PTN-BH.
Nizam menilai standar biaya pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
“Mahalnya biaya pendidikan tidak ada hubungannya dengan PTN-BH. PTN-BH sebagai penyelenggara layanan pendidikan tinggi masih mendapat pendanaan dari pemerintah,” ucap Nizam.
Adapun, pendanaan yang masih diberikan pemerintah kepada PTN-BH meliputi bantuan biaya operasional, pendanaan penelitian dan pengabdian, gaji dan tunjangan dosen, hingga investasi pembangunan infrastruktur.
Namun, data di lapangan mengungkap biaya pendidikan tinggi Indonesia terus melonjak tinggi dari ratusan ribu, hingga belasan hingga puluhan juta rupiah.
Data yang dirilis oleh Data Indonesia juga mengungkapkan bahwa biaya pendidikan meningkat secara signifikan sejak periode 2016 hingga 2021.
Rata-rata biaya pendidikan di jenjang perguruan tinggi pada tahun 2016 berada di angka Rp 4,75 juta dan melonjak ke angka Rp14,47 juta pada 2021.
Survei HSBC pada 2017 lalu bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat ke-15 sebagai negara dengan biaya pendidikan tinggi termahal di dunia.
Akses pendidikan tinggi yang tidak merata dan biaya yang terus meroket membuat pendidikan tinggi kian menjadi barang yang eksklusif.
Kebijakan pemerintah terkait penerapan PTN-BH yang berorientasi pada keuntungan usaha juga membuat pendidikan tinggi bergerak dalam mekanisme pasar dan beralih menyerupai barang privat, bukan lagi barang publik.
Penulis: Ridho Danu
POPULAR
RELATED ARTICLES