Share

Home Stories

Stories 19 Maret 2024

Pengamat Pendidikan: Data Keluarga Miskin Jadi Instrumen Politisasi

Pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.

Context.id, JAKARTA - Baru-baru ini masyarakat DKI Jakarta tengah digegerkan oleh kebijakan pencabutan bantuan sejumlah penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).

Kebijakan baru in diterapkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono yang mengklaim bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah melakukan sinkronisasi data penerima KJP dan KJMU.

Melansir Bisnis, Pelaksana tugas (Plt) Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Purwosusilo menyebut pemerintah mencabut bantuan KJMU dari 771 orang.

Dirinya mengklaim, pengurangan bantuan tersebut merupakan hasil dari penyesuaian data agar bantuan pendidikan tepat sasaran.

“Penerima KJMU tahap 2 tahun 2023 itu sebanyak 19.042 mahasiswa. Dari data itu dilakukan pemadanan dengan tujuan untuk ketepatan sasaran, supaya tepat sasaran,” jelasnya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (14/3/2024).



Dirinya menambahkan, pemerintah kini melakukan sinkronisasi data yang dimiliki Pemprov dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) milik Kementerian Sosial.

Pengamat pendidikan dari Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema mengatakan pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.

Alasannya, data-data keluarga miskin yang dimiliki pemerintah dinilai tak bisa menjadi acuan karena banyak kesalahan pendataan dan seringkali hanya dijadikan alat politik oleh pejabat.

“Data-data keluarga miskin ini selama ini kan selama ini jadi instrumen politisasi. Kalau lagi ada bantuan langsung, data keluarga miskinnya dinaikkan, nanti kalau ada penilaian mengatasi keluarga miskin, datanya dikecilkan. Ini kan memanfaatkan data untuk kepentingan kelompok tertentu,” ucap Doni kepada Bisniscom

Rekam jejak data keluarga miskin di Indonesia juga disebut seringkali keliru. Di berbagai daerah, manipulasi data untuk mendapat bantuan masih banyak ditemukan dengan modus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Oleh karena itu, Doni menilai DTKS dan data Regsosek tak bisa serta-merta digunakan sebagai acuan untuk mencabut bantuan pendidikan bagi masyarakat yang membutuhkan.

Sebelumnya, Komisi X DPR RI mendesak Heru Budi untuk meninjau kembali kebijakan sinkronisasi data tersebut.

Alasannya, DTKS memiliki periode verifikasi dan validasi data yang bisa menyebabkan perubahan status penerima manfaat secara sementara.

Pemerintah juga disebut seharusnya tak mencabut bantuan secara tiba-tiba tak menimbulkan potensi putus sekolah bagi warga yang bantuannya dicabut.

Doni juga menyoroti anggaran pendidikan DKI Jakarta yang sebenarnya tiap tahun selalu meningkat. Bahkan, tahun 2024 anggaran pendidikan naik sebesar Rp17 triliun.

“Harusnya, dengan anggaran sebesar itu, pemerintah DKI bisa memberikan akses pendidikan dari dasar sampai tinggi gratis loh bagi warga kota Jakarta,” ucapnya.

Menurutnya, pemerintah saat ini masih belum punya ketegasan dan komitmen yang jelas untuk mengedepankan pendidikan bagi masyarakat sehingga kebijakan terkait pendidikan masih sangat minimalis.

“Pemerintah DKI harusnya lebih clear, lebih jelas komitmennya karena punya sumber daya dan sumber dana yang lebih dibanding daerah lain,” ujar Doni.

Sampai saat ini, polemik pencabutan KJP dan KJMU masih terus berlanjut. DPR RI dan DPRD DKI Jakarta masih melayangkan permintaan peninjauan kembali kebijakan oleh Pj Heru.

Sementara, beredar pula kabar yang menduga pencabutan bantuan sebagai langkah untuk menutupi kekurangan anggaran di DKI Jakarta

 

Penulis: Ridho Danu



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 19 Maret 2024

Pengamat Pendidikan: Data Keluarga Miskin Jadi Instrumen Politisasi

Pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.

Context.id, JAKARTA - Baru-baru ini masyarakat DKI Jakarta tengah digegerkan oleh kebijakan pencabutan bantuan sejumlah penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).

Kebijakan baru in diterapkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono yang mengklaim bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah melakukan sinkronisasi data penerima KJP dan KJMU.

Melansir Bisnis, Pelaksana tugas (Plt) Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Purwosusilo menyebut pemerintah mencabut bantuan KJMU dari 771 orang.

Dirinya mengklaim, pengurangan bantuan tersebut merupakan hasil dari penyesuaian data agar bantuan pendidikan tepat sasaran.

“Penerima KJMU tahap 2 tahun 2023 itu sebanyak 19.042 mahasiswa. Dari data itu dilakukan pemadanan dengan tujuan untuk ketepatan sasaran, supaya tepat sasaran,” jelasnya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (14/3/2024).



Dirinya menambahkan, pemerintah kini melakukan sinkronisasi data yang dimiliki Pemprov dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) milik Kementerian Sosial.

Pengamat pendidikan dari Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema mengatakan pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.

Alasannya, data-data keluarga miskin yang dimiliki pemerintah dinilai tak bisa menjadi acuan karena banyak kesalahan pendataan dan seringkali hanya dijadikan alat politik oleh pejabat.

“Data-data keluarga miskin ini selama ini kan selama ini jadi instrumen politisasi. Kalau lagi ada bantuan langsung, data keluarga miskinnya dinaikkan, nanti kalau ada penilaian mengatasi keluarga miskin, datanya dikecilkan. Ini kan memanfaatkan data untuk kepentingan kelompok tertentu,” ucap Doni kepada Bisniscom

Rekam jejak data keluarga miskin di Indonesia juga disebut seringkali keliru. Di berbagai daerah, manipulasi data untuk mendapat bantuan masih banyak ditemukan dengan modus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Oleh karena itu, Doni menilai DTKS dan data Regsosek tak bisa serta-merta digunakan sebagai acuan untuk mencabut bantuan pendidikan bagi masyarakat yang membutuhkan.

Sebelumnya, Komisi X DPR RI mendesak Heru Budi untuk meninjau kembali kebijakan sinkronisasi data tersebut.

Alasannya, DTKS memiliki periode verifikasi dan validasi data yang bisa menyebabkan perubahan status penerima manfaat secara sementara.

Pemerintah juga disebut seharusnya tak mencabut bantuan secara tiba-tiba tak menimbulkan potensi putus sekolah bagi warga yang bantuannya dicabut.

Doni juga menyoroti anggaran pendidikan DKI Jakarta yang sebenarnya tiap tahun selalu meningkat. Bahkan, tahun 2024 anggaran pendidikan naik sebesar Rp17 triliun.

“Harusnya, dengan anggaran sebesar itu, pemerintah DKI bisa memberikan akses pendidikan dari dasar sampai tinggi gratis loh bagi warga kota Jakarta,” ucapnya.

Menurutnya, pemerintah saat ini masih belum punya ketegasan dan komitmen yang jelas untuk mengedepankan pendidikan bagi masyarakat sehingga kebijakan terkait pendidikan masih sangat minimalis.

“Pemerintah DKI harusnya lebih clear, lebih jelas komitmennya karena punya sumber daya dan sumber dana yang lebih dibanding daerah lain,” ujar Doni.

Sampai saat ini, polemik pencabutan KJP dan KJMU masih terus berlanjut. DPR RI dan DPRD DKI Jakarta masih melayangkan permintaan peninjauan kembali kebijakan oleh Pj Heru.

Sementara, beredar pula kabar yang menduga pencabutan bantuan sebagai langkah untuk menutupi kekurangan anggaran di DKI Jakarta

 

Penulis: Ridho Danu



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Pasar Jatinegara atau Pasar Mester? Ini Asal-Usul Nama Jatinegara

Nama Jatinegara menyimpan jejak panjang dari masa kolonial, ketika wilayah ini masih disebut Meester Cornelis

Renita Sukma . 31 July 2025

Onomatoplay Retail: Pengalaman Belanja yang ‘Disajikan’ Bak Hidangan

Pernahkah kamu melihat toko/merek non-makanan menyajikan produk bak hidangan? Mereka tak sekadar menjual, tapi menawarkan pengalaman personal yang ...

Context.id . 30 July 2025

Beras Bisa Bikin Bir Non-Alkohol Lebih Enak?

Bir yang dibuat dengan beras memiliki rasa worty yang lebih rendah, karena kadar aldehida yang lebih sedikit

Renita Sukma . 25 July 2025

Konten TikTok Picu Self Diagnosis dan Misinformasi soal Kesehatan Mental

Pengguna TikTok perlu hati-hati dalam menerima informasi soal konten bertema kesehatan mental.

Context.id . 25 July 2025