Konten TikTok Picu Self Diagnosis dan Misinformasi soal Kesehatan Mental
Pengguna TikTok perlu hati-hati dalam menerima informasi soal konten bertema kesehatan mental.

Context.id, JAKARTA - TikTok pertama kali muncul pada tahun 2016 dan kini menjadi salah satu platform media sosial favorit yang berbasis audio visual. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Statista, Indonesia, Amerika Serikat, dan Brazil menjadi tiga negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia dengan jumlah pengguna masing-masing di atas 100 juta pengguna.
Data tahun 2024 menunjukan bahwa terdapat lebih dari 157,6 juta pengguna TikTok di Indonesia, melebihi pengguna TikTok di AS, yakni sebesar 120,5 juta pengguna. Sedangkan Brazil memiliki 105,2 juta pengguna.
TikTok menghadirkan konten yang menjadi hiburan dan informasi bagi penggunanya. Berbagai informasi mulai dari olahraga, ekonomi, politik, gaya hidup, rekomendasi barang atau tips and trick dapat ditemukan dengan mudah. Begitupun konten bertemakan kesehatan mental yang kerap muncul di kolom FYP dengan durasi video yang cukup singkat.
Lewat cuplikan konten yang berdurasi singkat dan kemudahan mendapatkan informasinya, ternyata dapat berdampak pada timbulnya fenomena ‘self diagnosis’ atau diagnosis mandiri terhadap kesehatan mental si pengguna.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Di TikTok, kreator konten memiliki kebebasan untuk berbicara berbagai topik, termasuk aspek pribadi kehidupan mereka. Lewat konten-konten yang menjelaskan soal kondisi kesehatan mental lewat pengalaman hidup mereka, biasanya hal ini berkontribusi pada penghilangan stigma kondisi dan akhirnya dapat membentuk sebuah komunitas yang mendukung bagi mereka yang memiliki kondisi serupa.
Contohnya konten autisme. Konten ini di TikTok memiliki masalah misinformasi. Faktanya, sebuah studi oleh Aragon, Guevara, pada 2023 menemukan bahwa lebih dari 70% video #Autism paling populer tidak akurat atau digeneralisasi secara berlebihan (Aragon-Guevara dkk., 2023). Jika media sosial adalah satu-satunya sumber yang dimiliki seseorang, mereka kemungkinan besar memulai dengan informasi yang tidak mencerminkan pengetahuan ilmiah yang tepat.
Algoritma TikTok dirancang untuk menampilkan konten yang relevan dengan interaksi pengguna. Ini bisa menciptakan "gelembung informasi" (echo chambers) di mana pengguna terus-menerus melihat konten yang mendukung pandangan atau keyakinan mereka yang sudah ada. Dalam konteks self diagnosis, jika seseorang sudah menduga dirinya memiliki Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), algoritma akan lebih banyak menampilkan video tentang ADHD.
Sebuah studi oleh Karasavva pada 2025 bahkan menunjukkan bahwa setelah menonton video-video tersebut, orang yang sudah mendiagnosis diri dengan ADHD menjadi lebih yakin akan diagnosisnya. Ironisnya, orang yang awalnya tidak yakin memiliki ADHD pun menjadi kurang yakin bahwa mereka tidak mengidapnya setelah terpapar konten yang sama. Ini menunjukkan bahwa algoritma TikTok dapat memperkuat bias dan keyakinan, yang berpotensi mendorong diagnosis mandiri yang tidak akurat.
Hal ini juga disebabkan karena kreator konten kesehatan mental tidak harus memiliki latar belakang di bidang kesehatan mental/psikologi. Penelitian pada tahun 2022 juga menunjukkan bahwa mayoritas pembuat konten bukanlah profesional, melainkan banyak kreator konten mengutip pengalaman hidup mereka dalam memiliki gangguan atau kondisi tertentu.
Meskipun ini bisa memberdayakan dan membantu menumbuhkan komunitas, hal ini juga membuka pintu bagi misinformasi melalui generalisasi gejala atau sifat yang berlebihan.
Menurut Mara Whiteside, seorang ahli neuropsikologi pediatri dan asisten profesor di University of Arkansas, self diagnosis memiliki risiko salah mengidentifikasi gejala mereka dan menerima perawatan yang tidak tepat.
Jika kamu merasa tidak baik-baik saja, jangan self diagnosis ya. Lebih baik pergi dan percayakan pada profesional.
Penulis: Syifa Khairunnisa Zahrah
POPULAR
RELATED ARTICLES
Konten TikTok Picu Self Diagnosis dan Misinformasi soal Kesehatan Mental
Pengguna TikTok perlu hati-hati dalam menerima informasi soal konten bertema kesehatan mental.

Context.id, JAKARTA - TikTok pertama kali muncul pada tahun 2016 dan kini menjadi salah satu platform media sosial favorit yang berbasis audio visual. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Statista, Indonesia, Amerika Serikat, dan Brazil menjadi tiga negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia dengan jumlah pengguna masing-masing di atas 100 juta pengguna.
Data tahun 2024 menunjukan bahwa terdapat lebih dari 157,6 juta pengguna TikTok di Indonesia, melebihi pengguna TikTok di AS, yakni sebesar 120,5 juta pengguna. Sedangkan Brazil memiliki 105,2 juta pengguna.
TikTok menghadirkan konten yang menjadi hiburan dan informasi bagi penggunanya. Berbagai informasi mulai dari olahraga, ekonomi, politik, gaya hidup, rekomendasi barang atau tips and trick dapat ditemukan dengan mudah. Begitupun konten bertemakan kesehatan mental yang kerap muncul di kolom FYP dengan durasi video yang cukup singkat.
Lewat cuplikan konten yang berdurasi singkat dan kemudahan mendapatkan informasinya, ternyata dapat berdampak pada timbulnya fenomena ‘self diagnosis’ atau diagnosis mandiri terhadap kesehatan mental si pengguna.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Di TikTok, kreator konten memiliki kebebasan untuk berbicara berbagai topik, termasuk aspek pribadi kehidupan mereka. Lewat konten-konten yang menjelaskan soal kondisi kesehatan mental lewat pengalaman hidup mereka, biasanya hal ini berkontribusi pada penghilangan stigma kondisi dan akhirnya dapat membentuk sebuah komunitas yang mendukung bagi mereka yang memiliki kondisi serupa.
Contohnya konten autisme. Konten ini di TikTok memiliki masalah misinformasi. Faktanya, sebuah studi oleh Aragon, Guevara, pada 2023 menemukan bahwa lebih dari 70% video #Autism paling populer tidak akurat atau digeneralisasi secara berlebihan (Aragon-Guevara dkk., 2023). Jika media sosial adalah satu-satunya sumber yang dimiliki seseorang, mereka kemungkinan besar memulai dengan informasi yang tidak mencerminkan pengetahuan ilmiah yang tepat.
Algoritma TikTok dirancang untuk menampilkan konten yang relevan dengan interaksi pengguna. Ini bisa menciptakan "gelembung informasi" (echo chambers) di mana pengguna terus-menerus melihat konten yang mendukung pandangan atau keyakinan mereka yang sudah ada. Dalam konteks self diagnosis, jika seseorang sudah menduga dirinya memiliki Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), algoritma akan lebih banyak menampilkan video tentang ADHD.
Sebuah studi oleh Karasavva pada 2025 bahkan menunjukkan bahwa setelah menonton video-video tersebut, orang yang sudah mendiagnosis diri dengan ADHD menjadi lebih yakin akan diagnosisnya. Ironisnya, orang yang awalnya tidak yakin memiliki ADHD pun menjadi kurang yakin bahwa mereka tidak mengidapnya setelah terpapar konten yang sama. Ini menunjukkan bahwa algoritma TikTok dapat memperkuat bias dan keyakinan, yang berpotensi mendorong diagnosis mandiri yang tidak akurat.
Hal ini juga disebabkan karena kreator konten kesehatan mental tidak harus memiliki latar belakang di bidang kesehatan mental/psikologi. Penelitian pada tahun 2022 juga menunjukkan bahwa mayoritas pembuat konten bukanlah profesional, melainkan banyak kreator konten mengutip pengalaman hidup mereka dalam memiliki gangguan atau kondisi tertentu.
Meskipun ini bisa memberdayakan dan membantu menumbuhkan komunitas, hal ini juga membuka pintu bagi misinformasi melalui generalisasi gejala atau sifat yang berlebihan.
Menurut Mara Whiteside, seorang ahli neuropsikologi pediatri dan asisten profesor di University of Arkansas, self diagnosis memiliki risiko salah mengidentifikasi gejala mereka dan menerima perawatan yang tidak tepat.
Jika kamu merasa tidak baik-baik saja, jangan self diagnosis ya. Lebih baik pergi dan percayakan pada profesional.
Penulis: Syifa Khairunnisa Zahrah
POPULAR
RELATED ARTICLES