Share

Stories 15 Maret 2024

Warisan Utang Jumbo Era Jokowi, Eko Indef: Ini Sudah Sangat Berisiko

Pemerintahan Joko Widodo diakhir masa jabatnya meninggalkan beban utang besar yang sangat besar kepada penerusnya

Ilustrasi Utang Jumbo Jokowi - Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo diakhir masa jabatnya meninggalkan beban utang besar yang sangat besar kepada penerusnya. Beban utang ini dianggap menjadi sejarah karena melebihi para presiden sebelumnya.

Jumlah utang pemerintah hingga akhir Desember 2023 diperkirakan mencapai Rp 8.144,6 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 38,59 persen. 

Selama dua periode memimpin, utang pemerintah bertambah Rp 5.535,6 triliun atau naik tiga kali lipat (212 persen). Bandingkan dengan warisan utang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar Rp 2.608 triliun.

Eko Listianto, Vice Director Executive Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan suatu negara berutang atau mendesain defisit anggaran bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memicu peningkatan pajak. 

Melalui pertumbuhan ekonomi tersebut terdapat keuntungan yang digunakan untuk membayar pajak dunia usaha. Hal tersebut juga berpengaruh pada para pelaku ekonomi sehingga penerimaan negara menjadi lebih banyak. 



“Utang negara ini juga bertujuan untuk mendorong ekonomi dengan menjaga daya beli dalam bentuk bantuan-bantuan sosial, sehingga ekonomi tetap berputar. Kurang dari 10% negara yang tidak memiliki utang dan juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda yang disebut produktivitas utang. Ada utang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ada juga yang tidak berpengaruh ke ekonominya,” ujar Eko kepada Bisnis, Jumat (15/3)

Eko mengamini jika ukuran untuk menilai utang itu aman atau tidak dapat dilihat dari dua indikator, yaitu secara PDB dan umum. Pada aspek PDB utang tidak boleh melebihi 60% dari PDB. Sedangkan secara umum tidak boleh melebihi 3% terhadap APBN. 

Menanggapi utang pemerintah era Jokowi yang mencapai Rp8.41 triliun atau sudah mencapai 38% terhadap PDB dan dianggap masih jauh dari batas tidak aman, Eko punya pendapat lain. Menurutnya, indikator ini kurang sesuai untuk dikatakan bahwa utang Indonesia masih dalam kategori aman. 

Indonesia, sambungnya, tidak pernah menghindari dan menunda keharusannya membayar hutang karena desain dari utang tersebut bersifat jangka panjang dan rata-rata di atas 5 tahun. Namun, utang besar jangka panjang ini bisa jadi riskan apabila tidak mempunyai efek besar terhadap pertumbuhan ekonomi. 

“Utang rezim Jokowi untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan logistik.  Dari tingkat produktivitasnya pemanfaatannya dari infrastruktur tersebut dikatakan tidak sebanding, walaupun pembangunan infrastruktur sangatlah penting,” jelasnya.   

Dia mengakui, pembangunan infrastruktur yang masif memberikan penyediaan dan pelayanan yang lebih berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Hanya saja, kapasitas infrastruktur utilitas dari infrastruktur itu sendiri belum maksimal untuk mendorong perekonomian.  

Eko khawatir, warisan utang sekian ribu triliun tersebut tidak dapat dibayar dan akan membebani pertumbuhan ekonomi pemerintahan selanjutnya serta berdampak pada generasi ke depan 10 hingga 15 tahun mendatang.

Penulis: Diandra Zahra



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 15 Maret 2024

Warisan Utang Jumbo Era Jokowi, Eko Indef: Ini Sudah Sangat Berisiko

Pemerintahan Joko Widodo diakhir masa jabatnya meninggalkan beban utang besar yang sangat besar kepada penerusnya

Ilustrasi Utang Jumbo Jokowi - Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Pemerintahan Joko Widodo diakhir masa jabatnya meninggalkan beban utang besar yang sangat besar kepada penerusnya. Beban utang ini dianggap menjadi sejarah karena melebihi para presiden sebelumnya.

Jumlah utang pemerintah hingga akhir Desember 2023 diperkirakan mencapai Rp 8.144,6 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 38,59 persen. 

Selama dua periode memimpin, utang pemerintah bertambah Rp 5.535,6 triliun atau naik tiga kali lipat (212 persen). Bandingkan dengan warisan utang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebesar Rp 2.608 triliun.

Eko Listianto, Vice Director Executive Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan suatu negara berutang atau mendesain defisit anggaran bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memicu peningkatan pajak. 

Melalui pertumbuhan ekonomi tersebut terdapat keuntungan yang digunakan untuk membayar pajak dunia usaha. Hal tersebut juga berpengaruh pada para pelaku ekonomi sehingga penerimaan negara menjadi lebih banyak. 



“Utang negara ini juga bertujuan untuk mendorong ekonomi dengan menjaga daya beli dalam bentuk bantuan-bantuan sosial, sehingga ekonomi tetap berputar. Kurang dari 10% negara yang tidak memiliki utang dan juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda yang disebut produktivitas utang. Ada utang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ada juga yang tidak berpengaruh ke ekonominya,” ujar Eko kepada Bisnis, Jumat (15/3)

Eko mengamini jika ukuran untuk menilai utang itu aman atau tidak dapat dilihat dari dua indikator, yaitu secara PDB dan umum. Pada aspek PDB utang tidak boleh melebihi 60% dari PDB. Sedangkan secara umum tidak boleh melebihi 3% terhadap APBN. 

Menanggapi utang pemerintah era Jokowi yang mencapai Rp8.41 triliun atau sudah mencapai 38% terhadap PDB dan dianggap masih jauh dari batas tidak aman, Eko punya pendapat lain. Menurutnya, indikator ini kurang sesuai untuk dikatakan bahwa utang Indonesia masih dalam kategori aman. 

Indonesia, sambungnya, tidak pernah menghindari dan menunda keharusannya membayar hutang karena desain dari utang tersebut bersifat jangka panjang dan rata-rata di atas 5 tahun. Namun, utang besar jangka panjang ini bisa jadi riskan apabila tidak mempunyai efek besar terhadap pertumbuhan ekonomi. 

“Utang rezim Jokowi untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan logistik.  Dari tingkat produktivitasnya pemanfaatannya dari infrastruktur tersebut dikatakan tidak sebanding, walaupun pembangunan infrastruktur sangatlah penting,” jelasnya.   

Dia mengakui, pembangunan infrastruktur yang masif memberikan penyediaan dan pelayanan yang lebih berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Hanya saja, kapasitas infrastruktur utilitas dari infrastruktur itu sendiri belum maksimal untuk mendorong perekonomian.  

Eko khawatir, warisan utang sekian ribu triliun tersebut tidak dapat dibayar dan akan membebani pertumbuhan ekonomi pemerintahan selanjutnya serta berdampak pada generasi ke depan 10 hingga 15 tahun mendatang.

Penulis: Diandra Zahra



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024