Astronaut, Popok dan Martabat Manusia di Antariksa
Mengapa mengompol di luar angkasa bukanlah aib, tapi keharusan profesional
.jpg)
Context.id, JAKARTA - Di bumi, mengompol adalah perkara yang umumnya dihindari terkait dengan usia dini, kesalahan kontrol tubuh, atau sekadar kelucuan yang canggung. Namun di orbit rendah bumi, mengompol adalah bagian dari pekerjaan. Bahkan, itu dilatih.
Sebelum astronaut NASA Scott Kelly melakukan misinya ke luar angkasa pada 1999, ia menerima instruksi yang tidak tertulis dalam buku manual teknologi roket, pulanglah, kenakan popok, lalu belajar mengompol di kamar mandi rumahmu.
Perintah itu bukan lelucon. Ia benar-benar berlatih duduk di bak mandi, kaki disangga, meniru posisi peluncuran, mencoba melakukan sesuatu yang selama puluhan tahun telah dilatih untuk tidak dilakukan.
Ia seorang perwira militer terlatih dan calon penjelajah antariksa, harus menemukan kembali cara membiarkan tubuhnya menyerah pada kebutuhan alamiah, dalam diam dan isolasi, tanpa toilet, 400 kilometer di atas tanah.
“Saya harus belajar cara rileks. Membuka gerbang air itu ternyata lebih sulit daripada yang saya bayangkan,” kenangnya seperti dituliskan Mashable
Instruksi yang sama kemudian ia teruskan kepada rekan-rekannya saat menjadi komandan misi meski tak semua menerima nasihat itu dengan lapang dada. Salah satu astronaut bahkan menolak berlatih, dan hampir harus dipasangi kateter di luar angkasa.
Sebuah pengingat di ruang hampa tanpa toilet, tidak semua hal bisa ditunda.
Dunia mungkin pertama kali menyadari fakta astronaut memakai popok ketika Lisa Nowak, dalam satu kisah yang lebih cocok difilmkan daripada dibahas di jurnal sains, menempuh perjalanan 1.500 kilometer tanpa henti dengan popok.
Tapi di luar sensasi media, kenyataannya lebih teknis. Pakaian luar angkasa NASA, yang dikenal sebagai EMU, dirancang untuk melindungi tubuh dari suhu ekstrem, radiasi matahari, dan kekosongan ruang.
Tapi satu hal yang tak bisa dilakukan baju luar angkasa? Membuka resleting.
Maka sejak 1980-an, NASA menciptakan Maximum Absorbency Garments (MAG) popok antariksa dengan teknologi polimer penyerap yang bisa mengubah cairan menjadi gel padat, menjaga astronaut tetap kering selama delapan jam berjalan di luar angkasa.
Itu tidak main-main. Dalam lingkungan di mana tekanan darah, suhu tubuh, dan ritme sirkadian sudah tak lagi normal, kebutuhan dasar manusia tetap hadir.
Persoalannya bukan hanya teknis, tapi juga psikologis bisakah Anda tetap merasa bermartabat saat berdiri di atas permukaan Bulan, mengetahui Anda tengah buang air kecil?
Buzz Aldrin, astronaut kedua yang menginjak Bulan, tidak ragu menjawabnya. Ia mengakui detik-detik pertama di permukaan bulan juga merupakan momen ia mengosongkan kandung kemihnya 100 persen.
Bagi Kelly, pengalaman ini bukan sekadar bagian dari profesi. Anak-anak seharusnya tidak merasa malu mengompol kalau astronaut saja melakukannya.
Humor? Ya. Tapi juga kelembutan, kejujuran, dan pernyataan kuat tubuh manusia tetap tubuh manusia, bahkan ketika dibalut kevlar dan aluminium.
Sains dan teknologi mungkin telah membawa kita keluar dari gravitasi bumi, tapi tidak membebaskan kita dari kebutuhan paling dasar.
Dalam laporan Mashable dituliskan desain baju antariksa mungkin terus diperbarui seperti rancangan baru dari Axiom Space untuk misi Artemis yang dijadwalkan membawa manusia kembali ke Bulan dengan kamera HD, sistem penyangga debu, dan sokongan kehidupan yang lebih ramping.
Namun satu elemen tetap tak berubah, popok antariksa masih dibutuhkan. Di dunia yang penuh pencapaian ilmiah dan keangkuhan teknologi, ada sesuatu yang menenangkan dari kenyataan ini.
Dalam kesunyian antariksa, jauh dari planet biru, bahkan para pionir peradaban tetap bergantung pada sepotong popok alias kain penyerap cairan.
Mengompol mungkin tidak terlihat heroik. Tapi di ruang angkasa, itu bukan hanya soal kenyamanan tapi juga demi kesehatan tubuh. Ini juga bentuk penerimaan dirinya ini hanyalah makhluk biologis yang mencoba bertahan dalam kehampaan bintang.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Astronaut, Popok dan Martabat Manusia di Antariksa
Mengapa mengompol di luar angkasa bukanlah aib, tapi keharusan profesional
.jpg)
Context.id, JAKARTA - Di bumi, mengompol adalah perkara yang umumnya dihindari terkait dengan usia dini, kesalahan kontrol tubuh, atau sekadar kelucuan yang canggung. Namun di orbit rendah bumi, mengompol adalah bagian dari pekerjaan. Bahkan, itu dilatih.
Sebelum astronaut NASA Scott Kelly melakukan misinya ke luar angkasa pada 1999, ia menerima instruksi yang tidak tertulis dalam buku manual teknologi roket, pulanglah, kenakan popok, lalu belajar mengompol di kamar mandi rumahmu.
Perintah itu bukan lelucon. Ia benar-benar berlatih duduk di bak mandi, kaki disangga, meniru posisi peluncuran, mencoba melakukan sesuatu yang selama puluhan tahun telah dilatih untuk tidak dilakukan.
Ia seorang perwira militer terlatih dan calon penjelajah antariksa, harus menemukan kembali cara membiarkan tubuhnya menyerah pada kebutuhan alamiah, dalam diam dan isolasi, tanpa toilet, 400 kilometer di atas tanah.
“Saya harus belajar cara rileks. Membuka gerbang air itu ternyata lebih sulit daripada yang saya bayangkan,” kenangnya seperti dituliskan Mashable
Instruksi yang sama kemudian ia teruskan kepada rekan-rekannya saat menjadi komandan misi meski tak semua menerima nasihat itu dengan lapang dada. Salah satu astronaut bahkan menolak berlatih, dan hampir harus dipasangi kateter di luar angkasa.
Sebuah pengingat di ruang hampa tanpa toilet, tidak semua hal bisa ditunda.
Dunia mungkin pertama kali menyadari fakta astronaut memakai popok ketika Lisa Nowak, dalam satu kisah yang lebih cocok difilmkan daripada dibahas di jurnal sains, menempuh perjalanan 1.500 kilometer tanpa henti dengan popok.
Tapi di luar sensasi media, kenyataannya lebih teknis. Pakaian luar angkasa NASA, yang dikenal sebagai EMU, dirancang untuk melindungi tubuh dari suhu ekstrem, radiasi matahari, dan kekosongan ruang.
Tapi satu hal yang tak bisa dilakukan baju luar angkasa? Membuka resleting.
Maka sejak 1980-an, NASA menciptakan Maximum Absorbency Garments (MAG) popok antariksa dengan teknologi polimer penyerap yang bisa mengubah cairan menjadi gel padat, menjaga astronaut tetap kering selama delapan jam berjalan di luar angkasa.
Itu tidak main-main. Dalam lingkungan di mana tekanan darah, suhu tubuh, dan ritme sirkadian sudah tak lagi normal, kebutuhan dasar manusia tetap hadir.
Persoalannya bukan hanya teknis, tapi juga psikologis bisakah Anda tetap merasa bermartabat saat berdiri di atas permukaan Bulan, mengetahui Anda tengah buang air kecil?
Buzz Aldrin, astronaut kedua yang menginjak Bulan, tidak ragu menjawabnya. Ia mengakui detik-detik pertama di permukaan bulan juga merupakan momen ia mengosongkan kandung kemihnya 100 persen.
Bagi Kelly, pengalaman ini bukan sekadar bagian dari profesi. Anak-anak seharusnya tidak merasa malu mengompol kalau astronaut saja melakukannya.
Humor? Ya. Tapi juga kelembutan, kejujuran, dan pernyataan kuat tubuh manusia tetap tubuh manusia, bahkan ketika dibalut kevlar dan aluminium.
Sains dan teknologi mungkin telah membawa kita keluar dari gravitasi bumi, tapi tidak membebaskan kita dari kebutuhan paling dasar.
Dalam laporan Mashable dituliskan desain baju antariksa mungkin terus diperbarui seperti rancangan baru dari Axiom Space untuk misi Artemis yang dijadwalkan membawa manusia kembali ke Bulan dengan kamera HD, sistem penyangga debu, dan sokongan kehidupan yang lebih ramping.
Namun satu elemen tetap tak berubah, popok antariksa masih dibutuhkan. Di dunia yang penuh pencapaian ilmiah dan keangkuhan teknologi, ada sesuatu yang menenangkan dari kenyataan ini.
Dalam kesunyian antariksa, jauh dari planet biru, bahkan para pionir peradaban tetap bergantung pada sepotong popok alias kain penyerap cairan.
Mengompol mungkin tidak terlihat heroik. Tapi di ruang angkasa, itu bukan hanya soal kenyamanan tapi juga demi kesehatan tubuh. Ini juga bentuk penerimaan dirinya ini hanyalah makhluk biologis yang mencoba bertahan dalam kehampaan bintang.
POPULAR
RELATED ARTICLES