Share

Home Stories

Stories 28 Februari 2024

Tren dan Motif Kejahatan Siber Mulai Bergeser

Para peretas bekerja sama dalam grup untuk mencari celah keamanan sebuah sistem

Context.id, JAKARTA - Tujuan aksi kejahatan siber sudah berubah dari mencari ketenaran menjadi upaya meraup keuntungan. Hal itu diungkapkan perusahaan keamanan siber, Kaspersky.

Territory Manager Kaspersky Indonesia Dony Koesmandarin mengatakan motif inilah yang menjelaskan banyaknya pencurian data yang berakhir pada permintaan uang tebusan.

“Kalau dulu kita lihat trend-nya itu kan mereka terkenal aja udah bagus ya, saya pernah yang terkenal wah saya udah jago dan lain sebagainya. Kalau sekarang sih udah tidak peduli, yang penting saya untung,” ujarnya dikutip Bisnis, Rabu (28/2/2024).

Dia mengatakan beberapa kelompok ataupun komunitas penjahat siber sudah melakukan metode tersebut.  Biasanya, lanjut dia,  yang terjadi adalah para peretas bekerja sama dalam grup untuk mencari celah keamanan sebuah sistem.

Kemudian, saat sudah berhasil dan mendapatkan uang tebusan, nantinya uang tersebut akan dibagi-bagikan. 

Kendati demikian, Dony juga mengakui bahwa tidak jarang saat uang tebusan sudah diberikan, tetapi data-data yang dicuri tidak dikembalikan. 

“Ransomware kan ditanya, setelah itu kalau mau anda balikin datanya, kamu bayar saya ya. Nanti saya berikan sistemnya, kalau dikasih. Kadang juga udah di transfer juga gak dikasih apa-apa,” tuturnya. 

Diketahui, peretasan yang berujung pada permintaan uang tebusan pernah terjadi pada PT Kereta Api Indonesia (Persero) di pertengahan Januari 2024. 

Peretas yang diduga berasal dari grup Stormous meminta pemerintah memberikan tebusan senilai 11,59 bitcoin atau sekitar Rp7,7 miliar.

Adapun saat itu, peretas menunggu uang tebusan hingga 15 hari, sebelum data yang bocor disebarkan ke publik.

Kendati demikian, memang masih belum diketahui apakah data KAI benar-benar diretas dan apakah KAI sudah membayarkan tebusan tersebut. 

Lebih lanjut, Dony mengatakan pencurian data bermotif profit tidak hanya dilakukan dengan uang tebusan, melainkan juga melalui payment gateway. 

Menurutnya, banyak peretas yang juga sudah menggunakan file APK ataupun pesan Whatsapp untuk mendapatkan akses dari ponsel korbannya.

Kemudian, dalam waktu yang cukup sebentar, uang di rekening bisa hilang begitu saja.  Oleh karena itu, Dony meminta agar masyarakat terus berwaspada.

“Kalau kita bicara ruang dan waktu sih, tinggal kapan bisa kamu duluan atau saya duluan siapa yang kena duluan,” ujar Dony. 



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 28 Februari 2024

Tren dan Motif Kejahatan Siber Mulai Bergeser

Para peretas bekerja sama dalam grup untuk mencari celah keamanan sebuah sistem

Context.id, JAKARTA - Tujuan aksi kejahatan siber sudah berubah dari mencari ketenaran menjadi upaya meraup keuntungan. Hal itu diungkapkan perusahaan keamanan siber, Kaspersky.

Territory Manager Kaspersky Indonesia Dony Koesmandarin mengatakan motif inilah yang menjelaskan banyaknya pencurian data yang berakhir pada permintaan uang tebusan.

“Kalau dulu kita lihat trend-nya itu kan mereka terkenal aja udah bagus ya, saya pernah yang terkenal wah saya udah jago dan lain sebagainya. Kalau sekarang sih udah tidak peduli, yang penting saya untung,” ujarnya dikutip Bisnis, Rabu (28/2/2024).

Dia mengatakan beberapa kelompok ataupun komunitas penjahat siber sudah melakukan metode tersebut.  Biasanya, lanjut dia,  yang terjadi adalah para peretas bekerja sama dalam grup untuk mencari celah keamanan sebuah sistem.

Kemudian, saat sudah berhasil dan mendapatkan uang tebusan, nantinya uang tersebut akan dibagi-bagikan. 

Kendati demikian, Dony juga mengakui bahwa tidak jarang saat uang tebusan sudah diberikan, tetapi data-data yang dicuri tidak dikembalikan. 

“Ransomware kan ditanya, setelah itu kalau mau anda balikin datanya, kamu bayar saya ya. Nanti saya berikan sistemnya, kalau dikasih. Kadang juga udah di transfer juga gak dikasih apa-apa,” tuturnya. 

Diketahui, peretasan yang berujung pada permintaan uang tebusan pernah terjadi pada PT Kereta Api Indonesia (Persero) di pertengahan Januari 2024. 

Peretas yang diduga berasal dari grup Stormous meminta pemerintah memberikan tebusan senilai 11,59 bitcoin atau sekitar Rp7,7 miliar.

Adapun saat itu, peretas menunggu uang tebusan hingga 15 hari, sebelum data yang bocor disebarkan ke publik.

Kendati demikian, memang masih belum diketahui apakah data KAI benar-benar diretas dan apakah KAI sudah membayarkan tebusan tersebut. 

Lebih lanjut, Dony mengatakan pencurian data bermotif profit tidak hanya dilakukan dengan uang tebusan, melainkan juga melalui payment gateway. 

Menurutnya, banyak peretas yang juga sudah menggunakan file APK ataupun pesan Whatsapp untuk mendapatkan akses dari ponsel korbannya.

Kemudian, dalam waktu yang cukup sebentar, uang di rekening bisa hilang begitu saja.  Oleh karena itu, Dony meminta agar masyarakat terus berwaspada.

“Kalau kita bicara ruang dan waktu sih, tinggal kapan bisa kamu duluan atau saya duluan siapa yang kena duluan,” ujar Dony. 



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025