Serangan Siber Hantui KPU
Serangan siber terus menghantui laman Komisi Pemilihan umum atau KPU bahkan hingga hari pelaksanaan pemilihan umum.
Context.id, JAKARTA - Serangan siber terus menghantui laman Komisi Pemilihan umum atau KPU bahkan hingga hari pelaksanaan pemilihan umum.
Laman atau website resmi KPU sempat mengalami gangguan untuk diakses publik pada Rabu (14/2/2024) pagi, atau hari pelaksanaan Pemilu 2024.
Saat itu laman masih sulit diakses hingga pukul 8.41 WIB. Dalam tampilan di website tersebut tertulis bahwa “Website Sedang Dalam Pemeliharaan”.
Alhasil, beragam informasi yang disajikan oleh KPU kepada publik di laman resmi tersebut, tidak dapat diakses oleh masyarakat.
Sementara itu, laman infopemilu.kpu.go.id juga sempat kesulitan diakses oleh publik lantaran proses muat laman tersebut berjalan sangat lambat.
BACA JUGA
Serangan siber terhadap KPU bukan baru kali ini saja terjadi. Sebelum pelaksanaan pemilu, serangan serupa juga sempat terjadi.
Ketika itu, pengamat keamanan siber menduga banyak pihak yang tidak ingin Data Pemilih Tetap (DPT) Indonesia rapih, sehingga mudah untuk melakukan manipulasi suara pemilihan.
Konsultan Keamanan Siber Teguh Aprianto mengatakan ada pihak-pihak yang sengaja menghalangi ASN dalam membuat data DPT menjadi tidak rapi.
“Ada pihak-pihak yang tidak menginginkan kita [Indonesia] punya DPT yang rapi. [Motifnya] kasus kecurangan itu selalu ada,” ujar Teguh akhir tahun lalu.
Teguh bercerita kasus pemilihan kepala daerah terakhir di Papua. Menurutnya saat itu DPT di daerah tersebut hanya 50 juta. Namun, surat suara bisa mencapai 100 juta.
Lebih lanjut, Teguh mengatakan secara keseluruhan pemerintah Indonesia memang belum siap secara digital.
Menurutnya, secara umum pegawai pemerintah belum betul-betul disiapkan secara mental terkait digital.
Kendati demikian, Teguh mengakui aparatur sipil negara (ASN) divisi teknologi sebenarnya sudah cukup canggih, terutama ASN Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), dan KPU.
Sayangnya, Teguh mengaku mereka seringkali terhambat untuk berinovasi karena atasan di lembaga tersebut.
“Cuma sering kali orang-orang jago ini kalah sama yang orang-orang tua di atasnya gitu. Jadi kayak sistem hierarkinya, memang itu yang mengganggu. Jadi kayak ketika orang-orang pintar masuk ke tempat yang jelek juga, ya sudah tidak terpakai,” ujar Teguh.
Sebagai informasi, lebih dari 204 juta data Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) diretas dan dijual di dark web seharga 2 Bitcoin atau US$74.000 (Rp1,2 miliar).
RELATED ARTICLES
Serangan Siber Hantui KPU
Serangan siber terus menghantui laman Komisi Pemilihan umum atau KPU bahkan hingga hari pelaksanaan pemilihan umum.
Context.id, JAKARTA - Serangan siber terus menghantui laman Komisi Pemilihan umum atau KPU bahkan hingga hari pelaksanaan pemilihan umum.
Laman atau website resmi KPU sempat mengalami gangguan untuk diakses publik pada Rabu (14/2/2024) pagi, atau hari pelaksanaan Pemilu 2024.
Saat itu laman masih sulit diakses hingga pukul 8.41 WIB. Dalam tampilan di website tersebut tertulis bahwa “Website Sedang Dalam Pemeliharaan”.
Alhasil, beragam informasi yang disajikan oleh KPU kepada publik di laman resmi tersebut, tidak dapat diakses oleh masyarakat.
Sementara itu, laman infopemilu.kpu.go.id juga sempat kesulitan diakses oleh publik lantaran proses muat laman tersebut berjalan sangat lambat.
BACA JUGA
Serangan siber terhadap KPU bukan baru kali ini saja terjadi. Sebelum pelaksanaan pemilu, serangan serupa juga sempat terjadi.
Ketika itu, pengamat keamanan siber menduga banyak pihak yang tidak ingin Data Pemilih Tetap (DPT) Indonesia rapih, sehingga mudah untuk melakukan manipulasi suara pemilihan.
Konsultan Keamanan Siber Teguh Aprianto mengatakan ada pihak-pihak yang sengaja menghalangi ASN dalam membuat data DPT menjadi tidak rapi.
“Ada pihak-pihak yang tidak menginginkan kita [Indonesia] punya DPT yang rapi. [Motifnya] kasus kecurangan itu selalu ada,” ujar Teguh akhir tahun lalu.
Teguh bercerita kasus pemilihan kepala daerah terakhir di Papua. Menurutnya saat itu DPT di daerah tersebut hanya 50 juta. Namun, surat suara bisa mencapai 100 juta.
Lebih lanjut, Teguh mengatakan secara keseluruhan pemerintah Indonesia memang belum siap secara digital.
Menurutnya, secara umum pegawai pemerintah belum betul-betul disiapkan secara mental terkait digital.
Kendati demikian, Teguh mengakui aparatur sipil negara (ASN) divisi teknologi sebenarnya sudah cukup canggih, terutama ASN Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN), dan KPU.
Sayangnya, Teguh mengaku mereka seringkali terhambat untuk berinovasi karena atasan di lembaga tersebut.
“Cuma sering kali orang-orang jago ini kalah sama yang orang-orang tua di atasnya gitu. Jadi kayak sistem hierarkinya, memang itu yang mengganggu. Jadi kayak ketika orang-orang pintar masuk ke tempat yang jelek juga, ya sudah tidak terpakai,” ujar Teguh.
Sebagai informasi, lebih dari 204 juta data Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) diretas dan dijual di dark web seharga 2 Bitcoin atau US$74.000 (Rp1,2 miliar).
POPULAR
RELATED ARTICLES