Share

Stories 05 Februari 2024

Mencegah Warga "Mental Bansos" di Era Pemilu

Penyaluran bansos belakangan ini menjadi perhatian publik. Selain anggarannya yang besar, dilakukan menjelang Pemilu 2024 & penyalurannya pun dilakukan langsung oleh presiden

Ilustrasi Mental Bansos - Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Efektivitas penyaluran bantuan sosial (bansos) perlu terus dibenahi, demi mengantisipasi munculnya fenomena 'mental bansos' dari sisi masyarakat, maupun sisi pemangku kebijakan.

Pasalnya, sebagai kebijakan populis, program bansos merupakan jawaban bagi masyarakat bermental bansos yang menantikan dampak instan dari suatu era kepemimpinan.

Sementara itu, dari sisi oknum pemangku kebijakan tertentu yang juga bermental bansos, program ini sangat mudah diklaim untuk mendatangkan efek elektoral.

Peneliti & Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan dan Perlindungan Sosial Pusat Riset Kependudukan BRIN Yanu Endar Prasetyo menekankan bahwa peta jalan bansos merupakan keniscayaan agar politisasi dan personalisasi bansos tak lagi jadi persoalan.

Yanu menjelaskan bahwa politisasi bansos merujuk pada penyalahgunaan bansos untuk kepentingan atau pertimbangan politik tertentu. Sementara itu, personalisasi bansos mengacu pada pengaruh individu tertentu dalam pengelolaan atau penyaluran bansos.

"Bansos dampaknya memang nyata dalam memberikan bantalan ekonomi bagi kelompok rentan dan miskin. Tapi memang kreativitas pemerintah dalam menyusun bermacam jenis bansos itu jadi soal. Seharusnya ada konsistensi, peta jalan yang jelas, supaya berbagai bansos itu terintegrasi. Harapannya, kasus politisasi bansos dan personalisasi bansos bisa ditekan," jelasnya.

Sebagai contoh, jelang Pemilu 2024 ini ada Bansos El Nino, Program Keluarga Harapan (PKH), Bansos Beras 10 kg, Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Program Indonesia Pintar, di mana semuanya rentan menjadi komoditas politik.

Oleh sebab itu, menurutnya pembuatan data masyarakat rentan dan miskin yang terintegrasi di berbagai kementerian/lembaga (K/L) merupakan kunci agar program bansos bisa kembali kepada fungsi utamanya, yakni sebagai hak masyarakat yang membutuhkan, bukan cerminan kebaikan hati pemerintah.

"Saat ini, hampir semua K/L memiliki program bansos atau program serupa pemberdayaan masyarakat. Data acuannya berbeda, kriterianya pun berbeda-beda. Jadi kalau mau perbaikan bansos, kuncinya data harus tunggal dan fragmentasi harus ditekan. Sehingga bermacam bansos itu roadmap-nya jelas dari awal. Jangan tiba-tiba besok muncul bansos baru, tapi kemudian hilang, tidak ada pemberdayaan lanjutan," tambahnya.

Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Maliki membenarkan bahwa perlu ada integrasi program bansos dengan program-program lain dengan graduasi yang berkelanjutan, sehingga para keluarga penerima manfaat bisa naik kelas dan tak lantas menjadi keluarga dengan 'mental bansos'.

Misalnya, apakah selama mendapatkan bansos bertahun-tahun, suatu keluarga telah mencapai kemajuan dari taraf miskin menjadi rentan atau menuju menengah, bagaimana kemampuan ekonominya, kepemilikan asetnya, serta apakah kualitas SDM telah meningkat.

"Jadi misalnya, pada taraf tertentu mungkin nantinya sudah tidak cocok lagi diberikan PKH, tapi tetap bisa mendapat bansos lain, seperti bantuan usaha atau bantuan lain. Ini seharusnya bisa ada kontinuitas," ungkap Maliki.

Tantangan di Lapangan

Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Pengembangan SDM dan Program Kemensos Suhadi Lili membenarkan bahwa ada saja oknum-oknum yang membuat penyaluran bansos menjadi kurang efektif.

Misalnya, mulai dari intervensi politik di lingkup kecil, orang berpengaruh di kawasan terkait, sampai upaya pencegatan dari oknum pendamping sampai aparatur desa/kabupaten yang melakukan penyalahgunaan wewenang.

"ASN itu diwajibkan netral. Kalau pun ada politisasi, memang kami ini tidak kerja di ruang steril. Jadi kesempatan itu memang ada, tapi kami terus berusaha meminimalkan," ungkapnya selepas menghadiri acara Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, Kamis (18/1/2024).

Saat ini, Kemensos memiliki platform cekbansos.kemensos.go.id dalam rangka transparansi, sekaligus memecah kebuntuan dari sisi pengajuan usulan bansos terhadap keluarga tertentu.

Platform ini pun memiliki fitur sanggah, apabila ada penyaluran bansos kepada keluarga yang sebenarnya mampu.

"Kalau suatu daerah selalu menolak sanggahan dan usulan masyarakatnya, kami akan cek langsung datanya. Kami pun menemukan, memang ada daerah-daerah yang tidak kompeten. Ada yang katanya satu pintu, harus lewat Dinas Sosial. Ini arogan sekali sebetulnya, padahal sudah ada payung hukumnya, memperbolehkan masyarakat untuk mengusulkan keluarganya sampai tetangganya," ujarnya.

Pada acara itu, Ombudsman RI menyoroti fenomena penyaluran bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) yang masih belum optimal.

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menjelaskan bahwa investigasi ini merupakan prakarsa sendiri, menitikberatkan pada dugaan maladministrasi pada tahap alokasi, distribusi, dan evaluasi bansos PKH yang ditangani langsung oleh Kementerian Sosial (Kemensos).

"Kalau sudah berkali-kali laporannya, artinya bukan lagi kasuistik, tapi sistemik. Maka, kami melakukan investigasi atau pemeriksaan atas prakarsa sendiri," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Secara umum, Ombudsman pun menyoroti agar program bansos jangan hanya berhenti pada bagi-bagi uang semata, melainkan menjalankan visi transformatif secara optimal, sehingga efektif dalam rangka mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Sebagai contoh, Robert melihat graduasi kepesertaan masih perlu lebih jelas. Integrasi progam bansos dengan program pemberdayaan lain pun masih perlu perbaikan.

"Artinya, bansos bukan eksklusif yang jalan sendiri, sehingga muncul persepsi hanya bagi-bagi uang. Bahkan, maaf, muncul persepsi Kemensos seakan hanya jadi juru bayar saja. Ini perlu dibenahi," tambahnya.

Ombudsman RI telah melakukan permintaan keterangan di 12 kota/kabupaten di 4 provinsi, yaitu Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Selain itu, keterangan juga digali dari pihak Kemensos, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), serta beberapa bank Himbara dan PT Pos Indonesia.

Temuan Ombudsman utamanya mencakup tiga hal. Pertama, penyimpangan prosedur pada tahapan pengusulan data, di mana sebagian besar tanpa melalui musyawarah desa atau musyawarah kelurahan (musdes & muskel).

Kedua, ketika masuk tahap verifikasi dan validasi data, ditemukan tindakan tidak kompeten oleh petugas Dinas Sosial kota/kabupaten karena tidak ada upaya memastikan data dikumpulkan dan diperbaiki sesuai fakta di lapangan.

"Repotnya, banyak di daerah hanya verifikasi dokumen, jarang sekali yang sampai berbasis fakta lapangan. Mayoritas alasannya karena tidak ada anggarannya, tidak disiapkan, karena dianggap ini kan program [pemerintah] pusat," ungkapnya.

Terakhir, Ombudsman merasa perlu ada upaya mengantisipasi tindakan tidak kompeten para verifikator pada setiap tingkatan penetapan graduasi, pembaruan data, dan pemadanan data.

Salah satu penyebabnya adalah proporsi jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) yang tidak sebanding dengan jangkauan tenaga pendamping di beberapa wilayah.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 05 Februari 2024

Mencegah Warga \"Mental Bansos\" di Era Pemilu

Penyaluran bansos belakangan ini menjadi perhatian publik. Selain anggarannya yang besar, dilakukan menjelang Pemilu 2024 & penyalurannya pun dilakukan langsung oleh presiden

Ilustrasi Mental Bansos - Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Efektivitas penyaluran bantuan sosial (bansos) perlu terus dibenahi, demi mengantisipasi munculnya fenomena 'mental bansos' dari sisi masyarakat, maupun sisi pemangku kebijakan.

Pasalnya, sebagai kebijakan populis, program bansos merupakan jawaban bagi masyarakat bermental bansos yang menantikan dampak instan dari suatu era kepemimpinan.

Sementara itu, dari sisi oknum pemangku kebijakan tertentu yang juga bermental bansos, program ini sangat mudah diklaim untuk mendatangkan efek elektoral.

Peneliti & Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan dan Perlindungan Sosial Pusat Riset Kependudukan BRIN Yanu Endar Prasetyo menekankan bahwa peta jalan bansos merupakan keniscayaan agar politisasi dan personalisasi bansos tak lagi jadi persoalan.

Yanu menjelaskan bahwa politisasi bansos merujuk pada penyalahgunaan bansos untuk kepentingan atau pertimbangan politik tertentu. Sementara itu, personalisasi bansos mengacu pada pengaruh individu tertentu dalam pengelolaan atau penyaluran bansos.

"Bansos dampaknya memang nyata dalam memberikan bantalan ekonomi bagi kelompok rentan dan miskin. Tapi memang kreativitas pemerintah dalam menyusun bermacam jenis bansos itu jadi soal. Seharusnya ada konsistensi, peta jalan yang jelas, supaya berbagai bansos itu terintegrasi. Harapannya, kasus politisasi bansos dan personalisasi bansos bisa ditekan," jelasnya.

Sebagai contoh, jelang Pemilu 2024 ini ada Bansos El Nino, Program Keluarga Harapan (PKH), Bansos Beras 10 kg, Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan Program Indonesia Pintar, di mana semuanya rentan menjadi komoditas politik.

Oleh sebab itu, menurutnya pembuatan data masyarakat rentan dan miskin yang terintegrasi di berbagai kementerian/lembaga (K/L) merupakan kunci agar program bansos bisa kembali kepada fungsi utamanya, yakni sebagai hak masyarakat yang membutuhkan, bukan cerminan kebaikan hati pemerintah.

"Saat ini, hampir semua K/L memiliki program bansos atau program serupa pemberdayaan masyarakat. Data acuannya berbeda, kriterianya pun berbeda-beda. Jadi kalau mau perbaikan bansos, kuncinya data harus tunggal dan fragmentasi harus ditekan. Sehingga bermacam bansos itu roadmap-nya jelas dari awal. Jangan tiba-tiba besok muncul bansos baru, tapi kemudian hilang, tidak ada pemberdayaan lanjutan," tambahnya.

Deputi Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Maliki membenarkan bahwa perlu ada integrasi program bansos dengan program-program lain dengan graduasi yang berkelanjutan, sehingga para keluarga penerima manfaat bisa naik kelas dan tak lantas menjadi keluarga dengan 'mental bansos'.

Misalnya, apakah selama mendapatkan bansos bertahun-tahun, suatu keluarga telah mencapai kemajuan dari taraf miskin menjadi rentan atau menuju menengah, bagaimana kemampuan ekonominya, kepemilikan asetnya, serta apakah kualitas SDM telah meningkat.

"Jadi misalnya, pada taraf tertentu mungkin nantinya sudah tidak cocok lagi diberikan PKH, tapi tetap bisa mendapat bansos lain, seperti bantuan usaha atau bantuan lain. Ini seharusnya bisa ada kontinuitas," ungkap Maliki.

Tantangan di Lapangan

Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Pengembangan SDM dan Program Kemensos Suhadi Lili membenarkan bahwa ada saja oknum-oknum yang membuat penyaluran bansos menjadi kurang efektif.

Misalnya, mulai dari intervensi politik di lingkup kecil, orang berpengaruh di kawasan terkait, sampai upaya pencegatan dari oknum pendamping sampai aparatur desa/kabupaten yang melakukan penyalahgunaan wewenang.

"ASN itu diwajibkan netral. Kalau pun ada politisasi, memang kami ini tidak kerja di ruang steril. Jadi kesempatan itu memang ada, tapi kami terus berusaha meminimalkan," ungkapnya selepas menghadiri acara Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, Kamis (18/1/2024).

Saat ini, Kemensos memiliki platform cekbansos.kemensos.go.id dalam rangka transparansi, sekaligus memecah kebuntuan dari sisi pengajuan usulan bansos terhadap keluarga tertentu.

Platform ini pun memiliki fitur sanggah, apabila ada penyaluran bansos kepada keluarga yang sebenarnya mampu.

"Kalau suatu daerah selalu menolak sanggahan dan usulan masyarakatnya, kami akan cek langsung datanya. Kami pun menemukan, memang ada daerah-daerah yang tidak kompeten. Ada yang katanya satu pintu, harus lewat Dinas Sosial. Ini arogan sekali sebetulnya, padahal sudah ada payung hukumnya, memperbolehkan masyarakat untuk mengusulkan keluarganya sampai tetangganya," ujarnya.

Pada acara itu, Ombudsman RI menyoroti fenomena penyaluran bantuan sosial (bansos) Program Keluarga Harapan (PKH) yang masih belum optimal.

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menjelaskan bahwa investigasi ini merupakan prakarsa sendiri, menitikberatkan pada dugaan maladministrasi pada tahap alokasi, distribusi, dan evaluasi bansos PKH yang ditangani langsung oleh Kementerian Sosial (Kemensos).

"Kalau sudah berkali-kali laporannya, artinya bukan lagi kasuistik, tapi sistemik. Maka, kami melakukan investigasi atau pemeriksaan atas prakarsa sendiri," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Secara umum, Ombudsman pun menyoroti agar program bansos jangan hanya berhenti pada bagi-bagi uang semata, melainkan menjalankan visi transformatif secara optimal, sehingga efektif dalam rangka mengentaskan kemiskinan di Indonesia.

Sebagai contoh, Robert melihat graduasi kepesertaan masih perlu lebih jelas. Integrasi progam bansos dengan program pemberdayaan lain pun masih perlu perbaikan.

"Artinya, bansos bukan eksklusif yang jalan sendiri, sehingga muncul persepsi hanya bagi-bagi uang. Bahkan, maaf, muncul persepsi Kemensos seakan hanya jadi juru bayar saja. Ini perlu dibenahi," tambahnya.

Ombudsman RI telah melakukan permintaan keterangan di 12 kota/kabupaten di 4 provinsi, yaitu Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Selain itu, keterangan juga digali dari pihak Kemensos, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), serta beberapa bank Himbara dan PT Pos Indonesia.

Temuan Ombudsman utamanya mencakup tiga hal. Pertama, penyimpangan prosedur pada tahapan pengusulan data, di mana sebagian besar tanpa melalui musyawarah desa atau musyawarah kelurahan (musdes & muskel).

Kedua, ketika masuk tahap verifikasi dan validasi data, ditemukan tindakan tidak kompeten oleh petugas Dinas Sosial kota/kabupaten karena tidak ada upaya memastikan data dikumpulkan dan diperbaiki sesuai fakta di lapangan.

"Repotnya, banyak di daerah hanya verifikasi dokumen, jarang sekali yang sampai berbasis fakta lapangan. Mayoritas alasannya karena tidak ada anggarannya, tidak disiapkan, karena dianggap ini kan program [pemerintah] pusat," ungkapnya.

Terakhir, Ombudsman merasa perlu ada upaya mengantisipasi tindakan tidak kompeten para verifikator pada setiap tingkatan penetapan graduasi, pembaruan data, dan pemadanan data.

Salah satu penyebabnya adalah proporsi jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) yang tidak sebanding dengan jangkauan tenaga pendamping di beberapa wilayah.



Penulis : Aziz Rahardyan

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024