Pekerja Migran, antara Sumbangan Devisa dan Hak Politik
Pekerja migran menyumbang devisa yang besar bagi negara namun hak-hak politiknya dalam pemilihan umum tidak terakomodasi dengan baik.
Context.id,JAKARTA - Pekerja migran menyumbang devisa yang besar bagi negara namun hak-hak politiknya dalam pemilihan umum tidak terakomodasi dengan baik.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa secara keseluruhan, kontribusi Pekerja Migran Indonesia (PMI) setiap tahun berkisar antara Rp160 triliun hingga Rp170 triliun.
"Itu sumbangan yang luar biasa, mulai dari membantu perekonomian keluarga dan pada akhirnya membantu perekonomian nasional Indonesia," ucapnya, dikutip dari bisnis.com, Selasa (5/2/2024).
Meski menyumbang devisa yang jumbo, hak-hak pekerja migran sering terlupakan, termasuk hak beerpartisipasi dalam pemilihan umum.
Trisna Dwi Yuni, Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data dan Publikasi Migrant Care mengatakan dalam konteks pemilihan umum, hak politik para migran masih jauh dari memadai.
Contohnya, daerah pemilihan luar negeri adalah Jakarta II yang meliputi Jakarta Pusat, Selatan dan Luar Negeri. Padahal mayoritas pekerja migran tidak berasal dari daerah tersebut.
Menurutnya, terkait daerah pemilihan, ada beberapa prinsip yang dilanggar yaitu asas proporsionalitas, integrasi wilayah, berada di daerah wilayah yang sama, konsep kohesivitas, dan konsep penambungan.
Nyatanya semuanya itu tidak tercapai mengenai ketetapan daerah pemilihan luar negeri. Namun hingga kini permasalahan tentang DPT luar negeri tidak diindahkan oleh KPU.
“Alasannya konyol. Karena kantor Kemenlu dan perwakilan negara asing adanya di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Hal ini yang harusnya direvisi oleh KPU tapi tidak dijalankan,” ujarnya, di sela kegiatan Festival Kelas Pekerja, Minggu (4/2/2024).
Hal lainnya adalah jumlah daftar pemiliha tetap yang menurutnya tidak memadai yakni hanya 1,7 juta pemilih.
Padahal jumlah pekerja migran jauh di atas DPT. Bank Dunia menyatakan ada 9 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Sementara itu, data Bank Indonesia yang bersumber dari lalu lintas remitensi, menyatakan jumlah pekerja migran mencapai 4,7 juta.
Adapun data Badan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyebut angka 5 juta pekerja.
“Datanya tidak tahu mana yang benar. Mungkin Cuma Tuhan saja yang tahu. Tapi DPT-nya hanya 1,7 juta saja,” ungkapnya.
Dia melihat isu tentang pekerja migran dinomorduakan oleh pemerintah, termasuk dalam kontestasi politik. Jumlah DPT luar negeri kian tahun kian menurun dan berbanding terbalik dengan data pengiriman pekerja migran ke luar negeri.
Jika dibandingkan dengan jumlah data pemilih tetap pada Pemilu 2019 yang berjumlah 2.086 juta orang, jumlah ini menurun drastis pada jumlah DPT Pemilu 2024 hanya 1,750 juta orang.
Jumlah ini, terangnya mengancam mengancam hak politik pekerja migran yang berpotensi kehilangan hak pilihnya di luar negeri.
Belum lama ini Migrant Care menemukan sejumlah permasalahan signifikan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 dengan fokus pada proses distribusi surat suara pada pekerja migran.
Pemantauan ini dilakukan di empat negara dengan jumlah populasi pekerja migran terbanyak, antara lain Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia.
Pekerja migran Indonesia di negara-negara tersebut berhak mendapatkan surat suara dan terdaftar sebagai DPT LN.
Namun dalam kenyataannya mayoritas pekerja migran dipersulit untuk mendapatkan hak untuk memilih dalam kontestasi Pemilu 2024.
Dalam pemantauan di media sosial, mayoritas aduan datang dari pekerja migran yang belum kunjung mendapatkan suara menjelang hari pemilihan berlangsung.
”Dalam empat wilayah ini, kesemuanya di dalam komentarnya mengeluhkan hal yang sama, terkait bagaimana suaranya belum terdistribusikan dengan baik ataupun DPT LN-nya juga bermasalah padahal ia sudah mendaftar lebih dahulu,” ujar Trisna.
Pada 2024, KPU memutuskan untuk menyelenggarakan proses pemungutan suara dengan tiga metode, yaitu TPS, Pos, dan Kotak Suara Keliling.
Namun jadwal pemungutan suara yang ditetapkan oleh KPU dinilai tidak tepat oleh sebagian pihak. Pasalnya, dari keempat negara tersebut menjadwalkan proses pemungutan suara berdekatan dengan perayaan hari besar Imlek.
Mayoritas pekerja domestik akan kesulitan untuk berkontribusi langsung untuk memilih di lokasi TPS yang disediakan karena pekerjaan di hari libur tersebut akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan izin dari majikan.
RELATED ARTICLES
Pekerja Migran, antara Sumbangan Devisa dan Hak Politik
Pekerja migran menyumbang devisa yang besar bagi negara namun hak-hak politiknya dalam pemilihan umum tidak terakomodasi dengan baik.
Context.id,JAKARTA - Pekerja migran menyumbang devisa yang besar bagi negara namun hak-hak politiknya dalam pemilihan umum tidak terakomodasi dengan baik.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan bahwa secara keseluruhan, kontribusi Pekerja Migran Indonesia (PMI) setiap tahun berkisar antara Rp160 triliun hingga Rp170 triliun.
"Itu sumbangan yang luar biasa, mulai dari membantu perekonomian keluarga dan pada akhirnya membantu perekonomian nasional Indonesia," ucapnya, dikutip dari bisnis.com, Selasa (5/2/2024).
Meski menyumbang devisa yang jumbo, hak-hak pekerja migran sering terlupakan, termasuk hak beerpartisipasi dalam pemilihan umum.
Trisna Dwi Yuni, Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data dan Publikasi Migrant Care mengatakan dalam konteks pemilihan umum, hak politik para migran masih jauh dari memadai.
Contohnya, daerah pemilihan luar negeri adalah Jakarta II yang meliputi Jakarta Pusat, Selatan dan Luar Negeri. Padahal mayoritas pekerja migran tidak berasal dari daerah tersebut.
Menurutnya, terkait daerah pemilihan, ada beberapa prinsip yang dilanggar yaitu asas proporsionalitas, integrasi wilayah, berada di daerah wilayah yang sama, konsep kohesivitas, dan konsep penambungan.
Nyatanya semuanya itu tidak tercapai mengenai ketetapan daerah pemilihan luar negeri. Namun hingga kini permasalahan tentang DPT luar negeri tidak diindahkan oleh KPU.
“Alasannya konyol. Karena kantor Kemenlu dan perwakilan negara asing adanya di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Hal ini yang harusnya direvisi oleh KPU tapi tidak dijalankan,” ujarnya, di sela kegiatan Festival Kelas Pekerja, Minggu (4/2/2024).
Hal lainnya adalah jumlah daftar pemiliha tetap yang menurutnya tidak memadai yakni hanya 1,7 juta pemilih.
Padahal jumlah pekerja migran jauh di atas DPT. Bank Dunia menyatakan ada 9 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Sementara itu, data Bank Indonesia yang bersumber dari lalu lintas remitensi, menyatakan jumlah pekerja migran mencapai 4,7 juta.
Adapun data Badan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyebut angka 5 juta pekerja.
“Datanya tidak tahu mana yang benar. Mungkin Cuma Tuhan saja yang tahu. Tapi DPT-nya hanya 1,7 juta saja,” ungkapnya.
Dia melihat isu tentang pekerja migran dinomorduakan oleh pemerintah, termasuk dalam kontestasi politik. Jumlah DPT luar negeri kian tahun kian menurun dan berbanding terbalik dengan data pengiriman pekerja migran ke luar negeri.
Jika dibandingkan dengan jumlah data pemilih tetap pada Pemilu 2019 yang berjumlah 2.086 juta orang, jumlah ini menurun drastis pada jumlah DPT Pemilu 2024 hanya 1,750 juta orang.
Jumlah ini, terangnya mengancam mengancam hak politik pekerja migran yang berpotensi kehilangan hak pilihnya di luar negeri.
Belum lama ini Migrant Care menemukan sejumlah permasalahan signifikan dalam pelaksanaan Pemilu 2024 dengan fokus pada proses distribusi surat suara pada pekerja migran.
Pemantauan ini dilakukan di empat negara dengan jumlah populasi pekerja migran terbanyak, antara lain Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia.
Pekerja migran Indonesia di negara-negara tersebut berhak mendapatkan surat suara dan terdaftar sebagai DPT LN.
Namun dalam kenyataannya mayoritas pekerja migran dipersulit untuk mendapatkan hak untuk memilih dalam kontestasi Pemilu 2024.
Dalam pemantauan di media sosial, mayoritas aduan datang dari pekerja migran yang belum kunjung mendapatkan suara menjelang hari pemilihan berlangsung.
”Dalam empat wilayah ini, kesemuanya di dalam komentarnya mengeluhkan hal yang sama, terkait bagaimana suaranya belum terdistribusikan dengan baik ataupun DPT LN-nya juga bermasalah padahal ia sudah mendaftar lebih dahulu,” ujar Trisna.
Pada 2024, KPU memutuskan untuk menyelenggarakan proses pemungutan suara dengan tiga metode, yaitu TPS, Pos, dan Kotak Suara Keliling.
Namun jadwal pemungutan suara yang ditetapkan oleh KPU dinilai tidak tepat oleh sebagian pihak. Pasalnya, dari keempat negara tersebut menjadwalkan proses pemungutan suara berdekatan dengan perayaan hari besar Imlek.
Mayoritas pekerja domestik akan kesulitan untuk berkontribusi langsung untuk memilih di lokasi TPS yang disediakan karena pekerjaan di hari libur tersebut akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan izin dari majikan.
POPULAR
RELATED ARTICLES