Benarkah Klaim Deforestasi Turun?
Klaim pemerintah soal turunnya laju deforestasi selama pemerintahan Jokowi berbeda dengan temuan lembaga peneliti kehutanan internasional
Context.id, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim pemerintah Indonesia berhasil menyelamatkan hutan dari ancaman kerusakan lingkungan atau deforestasi dan menyatakan berhasil menerapkan moratorium permanen pembukaan hutan mencakup sekitar 66 juta hektare hutan primer dan lahan gambut sejak tahun 2019.
"Kami juga telah merehabilitasi 3 juta hektare lahan terdegradasi dan 3 juta Ha lahan gambut. Sekarang hasilnya mulai terasa, tingkat deforestasi Indonesia berkurang 75 persen, terendah dalam 20 tahun terakhir. Tahun depan, kami targetkan rehabilitasi 600 ribu hektare lahan mangrove," kata Jokowi dalam salah satu acara di World Climate Action Summit (WCAS) COP28, Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Sabtu, (2/12/2023).
Menurut presiden, upaya penurunan angka deforestasi ini sejalan dengan ambisi mencapai net carbon sink atau penyerapan karbon bersih sektor kehutanan dan lahan di tahun 2030.
"Sektor kehutanan dipilih karena 34 persen desa di Indonesia berada di perbatasan atau dalam hutan, dan jutaan masyarakat Indonesia bergantung dari sektor kehutanan. Untuk penuhi target tersebut, kami mengambil langkah sistematis dan inovatif," kata Jokowi.
Saat ini pemerintah membangun kerja sama dengan sesama negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia seperti Brasil, dan Republik Demokratik Kongo untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam pengelolaan hutan dan lahan.
Bukan kali ini saja Presiden Jokowi mengklaim berhasil menekan laju deforestasi, saat memberikan kuliah umum di Stanford University, San Francisco, Amerika Serikat, pada pertengahan November lalu juga dalam paparannya membahas soal ini.
"Hingga saat ini, Indonesia telah berhasil menurunkan emisi sebesar 91,5 juta ton. Hal tersebut diikuti oleh laju deforestasi Indonesia hingga tahun 2022 telah ditekan hingga 104.000 hektar. Kemudian kawasan hutan juga direhabilitasi seluas 77.000 hektar, hutan bakau direstorasi seluas 34.000 hektar hanya dalam waktu satu tahun,” ujar Jokowi, dilansir dari siaran pers Sekretariat Presiden, Kamis (16/11/2023).
Klaim presiden ini tentunya jauh berbeda dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada November 2021 lalu yang menyatakan "memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil."
Menteri Siti menegaskan bahwa Indonesia menerapkan Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink pada 2030 untuk mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (di antaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030.
Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,'' tegas Menteri Siti, sebagaimana rilis Kementerian LHK untuk media, Rabu (3/11/2021).
Menurut dia, FoLU Net Sink 2030 tidak bisa diartikan sebagai zero deforestation. Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation, lanjutnya, sama dengan melawan mandat UUD 1945 yang bertujuan menyejahterakan rakyat Indonesia dengan kekayaan alam yang dimiliki.
Selain itu, selama dekade terakhir, 4,7 juta hektare hutan masih hilang setiap tahunnya dan Indonesia bersama Brasil, dan Republik Demokratik Kongo adalah negara-negara yang terkena dampak paling parah.
Indonesia adalah salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020.
Pada tahun 2016, rekor 929.000 hektare hutan musnah, tetapi telah terjadi penurunan laju deforestasi yang stabil sejak saat itu.
Masih dari data Global Forest Watch, bahkan pada 2021, Indonesia menunjukan data kehilangan hutan sebesar 202,905 Hektar dan angka tersebut mengantarkan Indonesia berada pada urutan pertama dengan kasus kehilangan hutan tertinggi di kawasan Asia Tenggara, disusul oleh negara Laos di urutan kedua dengan kasus sebesar 80,939 Hektar.
Pada urutan ketiga ada malaysia dengan kasus sebesar 72,234 Hektar. Hutan yang hilang pada negara Indonesia, Laos dan juga Malaysia merupakan hutan primer
Hutan primer adalah hutan yang belum atau jarang sekali diganggu oleh aktivitas manusia. Hutan ini merupakan ekosistem purba dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hutan primer berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global dan memberikan berbagai manfaat lingkungan, ekonomi dan sosial.
Sayangnya, hutan purba Asia Tenggara berada di bawah tekanan besar dari aktivitas manusia. Perambahan kelapa sawit, hutan jenis konifera, hutan pertanian dan pemukiman telah mengakibatkan hilangnya hutan tua secara signifikan.
Deforestasi ini menyebabkan kerusakan ekosistem, hilangnya habitat, dan ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati.
Selain itu, Forest Watch Indonesia (FWI) menyoroti masifnya potensi deforestasi dari pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk proyek biomassa kayu. Pemerintah melalui KLHK telah menargetkan pembangunan HTE melalui perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 1,29 juta Ha untuk memenuhi kebutuhan biomassa.
Sayangnya, FWI mencatat, praktik pembangunan HTE sejauh ini sudah mengakibatkan kehilangan hutan alam sebanyak 55 ribu Ha dan sebanyak 420 ribu Ha hutan alam tersisa terancam dirusak untuk kepentingan pembangunan HTE.
Hasil analisis FWI pada 2023, proyek pembangunan HTE diproyeksikan akan merusak hutan alam seluas 4,65 juta Ha yang berasal dari konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), HTI, PS yang turut mengusahakan HTE, dalam rangka pemenuhan target pembangunan hutan tanaman agar target net sink 2030 tercapai.
Alhasil, transisi energi di sektor kehutanan ini pada akhirnya keliru karena pembangunan HTE untuk menghasilkan biomassa kayu (bioenergi) yang berasal dari deforestasi tidak bisa diklaim sebagai energi bersih dan tergolong sebagai energi terbarukan
RELATED ARTICLES
Benarkah Klaim Deforestasi Turun?
Klaim pemerintah soal turunnya laju deforestasi selama pemerintahan Jokowi berbeda dengan temuan lembaga peneliti kehutanan internasional
Context.id, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengklaim pemerintah Indonesia berhasil menyelamatkan hutan dari ancaman kerusakan lingkungan atau deforestasi dan menyatakan berhasil menerapkan moratorium permanen pembukaan hutan mencakup sekitar 66 juta hektare hutan primer dan lahan gambut sejak tahun 2019.
"Kami juga telah merehabilitasi 3 juta hektare lahan terdegradasi dan 3 juta Ha lahan gambut. Sekarang hasilnya mulai terasa, tingkat deforestasi Indonesia berkurang 75 persen, terendah dalam 20 tahun terakhir. Tahun depan, kami targetkan rehabilitasi 600 ribu hektare lahan mangrove," kata Jokowi dalam salah satu acara di World Climate Action Summit (WCAS) COP28, Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Sabtu, (2/12/2023).
Menurut presiden, upaya penurunan angka deforestasi ini sejalan dengan ambisi mencapai net carbon sink atau penyerapan karbon bersih sektor kehutanan dan lahan di tahun 2030.
"Sektor kehutanan dipilih karena 34 persen desa di Indonesia berada di perbatasan atau dalam hutan, dan jutaan masyarakat Indonesia bergantung dari sektor kehutanan. Untuk penuhi target tersebut, kami mengambil langkah sistematis dan inovatif," kata Jokowi.
Saat ini pemerintah membangun kerja sama dengan sesama negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia seperti Brasil, dan Republik Demokratik Kongo untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam pengelolaan hutan dan lahan.
Bukan kali ini saja Presiden Jokowi mengklaim berhasil menekan laju deforestasi, saat memberikan kuliah umum di Stanford University, San Francisco, Amerika Serikat, pada pertengahan November lalu juga dalam paparannya membahas soal ini.
"Hingga saat ini, Indonesia telah berhasil menurunkan emisi sebesar 91,5 juta ton. Hal tersebut diikuti oleh laju deforestasi Indonesia hingga tahun 2022 telah ditekan hingga 104.000 hektar. Kemudian kawasan hutan juga direhabilitasi seluas 77.000 hektar, hutan bakau direstorasi seluas 34.000 hektar hanya dalam waktu satu tahun,” ujar Jokowi, dilansir dari siaran pers Sekretariat Presiden, Kamis (16/11/2023).
Klaim presiden ini tentunya jauh berbeda dengan pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada November 2021 lalu yang menyatakan "memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil."
Menteri Siti menegaskan bahwa Indonesia menerapkan Forestry and Other Land Use (FoLU) Net Sink pada 2030 untuk mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (di antaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030.
Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,'' tegas Menteri Siti, sebagaimana rilis Kementerian LHK untuk media, Rabu (3/11/2021).
Menurut dia, FoLU Net Sink 2030 tidak bisa diartikan sebagai zero deforestation. Menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation, lanjutnya, sama dengan melawan mandat UUD 1945 yang bertujuan menyejahterakan rakyat Indonesia dengan kekayaan alam yang dimiliki.
Selain itu, selama dekade terakhir, 4,7 juta hektare hutan masih hilang setiap tahunnya dan Indonesia bersama Brasil, dan Republik Demokratik Kongo adalah negara-negara yang terkena dampak paling parah.
Indonesia adalah salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020.
Pada tahun 2016, rekor 929.000 hektare hutan musnah, tetapi telah terjadi penurunan laju deforestasi yang stabil sejak saat itu.
Masih dari data Global Forest Watch, bahkan pada 2021, Indonesia menunjukan data kehilangan hutan sebesar 202,905 Hektar dan angka tersebut mengantarkan Indonesia berada pada urutan pertama dengan kasus kehilangan hutan tertinggi di kawasan Asia Tenggara, disusul oleh negara Laos di urutan kedua dengan kasus sebesar 80,939 Hektar.
Pada urutan ketiga ada malaysia dengan kasus sebesar 72,234 Hektar. Hutan yang hilang pada negara Indonesia, Laos dan juga Malaysia merupakan hutan primer
Hutan primer adalah hutan yang belum atau jarang sekali diganggu oleh aktivitas manusia. Hutan ini merupakan ekosistem purba dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hutan primer berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global dan memberikan berbagai manfaat lingkungan, ekonomi dan sosial.
Sayangnya, hutan purba Asia Tenggara berada di bawah tekanan besar dari aktivitas manusia. Perambahan kelapa sawit, hutan jenis konifera, hutan pertanian dan pemukiman telah mengakibatkan hilangnya hutan tua secara signifikan.
Deforestasi ini menyebabkan kerusakan ekosistem, hilangnya habitat, dan ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati.
Selain itu, Forest Watch Indonesia (FWI) menyoroti masifnya potensi deforestasi dari pembangunan Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk proyek biomassa kayu. Pemerintah melalui KLHK telah menargetkan pembangunan HTE melalui perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 1,29 juta Ha untuk memenuhi kebutuhan biomassa.
Sayangnya, FWI mencatat, praktik pembangunan HTE sejauh ini sudah mengakibatkan kehilangan hutan alam sebanyak 55 ribu Ha dan sebanyak 420 ribu Ha hutan alam tersisa terancam dirusak untuk kepentingan pembangunan HTE.
Hasil analisis FWI pada 2023, proyek pembangunan HTE diproyeksikan akan merusak hutan alam seluas 4,65 juta Ha yang berasal dari konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), HTI, PS yang turut mengusahakan HTE, dalam rangka pemenuhan target pembangunan hutan tanaman agar target net sink 2030 tercapai.
Alhasil, transisi energi di sektor kehutanan ini pada akhirnya keliru karena pembangunan HTE untuk menghasilkan biomassa kayu (bioenergi) yang berasal dari deforestasi tidak bisa diklaim sebagai energi bersih dan tergolong sebagai energi terbarukan
POPULAR
RELATED ARTICLES