Temu, E-Commerce China yang Ditakuti Menteri Teten
Popularitas Temu di Amerika bisa mengalahkan Amazon, Target sampai Walmarta karena harga barang yang dijual sangat jauh lebih murah.
Context.id, JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat memberikan arahan dalam Rapat Koordinasi Nasional KUMK, di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (21/11) kemarin sempat mengkhawatirkan aplikasi atau platform e-commerce dari China yang mulai merambah ke pasar Asia.
Aplikasi yang dimaksud bernama Temu yang cara kerjanya dianggap mirip seperti TikTok Shop. Menurut Sensor Tower, popularitas aplikasi ini bahkan telah mengalahkan sejumlah situs belanja online terbesar di Amerika seperti Amazon, Target sampai Walmart, lantaran harga yang ditawarkan sangat terjangkau.
Kekhawatiran Menteri Teten beralasan, pasalnya platform Temu ini menawarkan berbagai kebutuhan lengkap di aplikasinya mulai dari barang rumah tangga, pakaian jadi, hingga elektronik. Jadi memang menjual berbagai barang seperti yang ditemukan di e-commerce lokal seperti Shopee, Tokopedia dan Bukalapak.
Tagline-nya pun sangat menarik yaitu ‘bisa berbelanja layaknya miliarder.’
"Ini sudah masuk ke beberapa negara Asia, tapi saya sudah bilang ke Bapak Presiden. Pak ini jangan sampai masuk ke Indonesia, kalau masuk, UMKM saya tidak bisa bersaing kalau produksi kita lumpuh. Jadi platform Temu asal China ini memang terafiliasi dengan 25 pabrik dan factory direct atau pabrik langsung ke konsumen," jelasnya di acara Rapat Koordinasi Nasional KUMK, di Nusa Dua, Bali.
Menurut Teten, platform ini jika benar-benar masuk dan beroperasi secara resmi di Indonesia akan menghantam rantai distribusi dalam negeri dan ujungnya akan membuat pengangguran meningkat serta daya beli turun.
"Karena produknya akan lebih efesien sehingga juga produk-produk consumer goods kita tidak mungkin bisa bersaing. Nah ini, kan kita harus lindungi, karena kita sebelum bisa melahirkan ekonomi baru orang yang bekerja di sektor consumer goods kita harus proteksi. Jangan sampai mereka menjadi pengangguran, sebelum kita bisa menggantikan lapangan kerja baru," ujarnya.
Teten menyampaikan di era digital seperti sekarang ini setiap orang yang memiliki UMKM di pelosok desa bisa jualan secara online bahkan dalam skala pasar yang besar baik di level nasional dan bahkan global.
Tapi, lanjut Teten, banyak juga yang harus diwaspadai, terlebih jika kita belum memiliki produk yang benar-benar unggul dan sistem logistik yang bersaing sehingga mampu membuat biaya lebih murah.
"Kejadiannya kemarin, ketika kasus TikTok itu kebetulan China ekonominya sedang menurun. Mereka terus memproduksi untuk menciptakannya lapangan kerja, barang-barang konsumsi akhirnya dijual ke Indonesia sudah didumping harganya murah lalu oleh platform digital mereka TikTok, disubsidi kembali," tambah Teten.
Persoalannya, jika pemerintah ingin melarang aplikasi ini seperti yang diharapkan Menteri Teten, di App Store dan Play Store aplikasi ini bisa kita temukan. Itu artinya, pengguna Android dan Apple sudah bisa mendownload dan menggunakan aplikasi Temu ini di ponsel mereka. Begitu juga saat kita browsing langsung di mesin pencari bisa langsung menuju platform ini.
Jika dilihat, Temu menggunakan bahasa Inggris dan juga menggunakan mata uang asing seperti dolar Amerika atau poundsterling. Dugaannya seperti yang dikatakan Menteri Teten, Temu memang belum berizin atau beroperasi secara resmi di Indonesia.
Sebagai informasi, aplikasi Temu merupakan marketplace yang berbasis di Boston, Massachusetts dan dioperasikan oleh perusahaan e-commerce Tiongkok yang berbasis di Irlandia, PDD Holdings.
Melansir dari Forbes, PDD Holdings yang terdaftar di AS (sebelumnya Pinduoduo) telah memelopori perdagangan sosial di Tiongkok Aplikasi andalannya, Pinduoduo didirikan pada tahun 2015 dan berkembang pesat menjadi pemain e-commerce terbesar ketiga di negara itu berdasarkan penjualan, setelah Alibaba dan JD.com.
Berkat strategi pemasarannya yang agresif. Temu adalah terobosan pertama PDD ke e-commerce lintas batas dan menargetkan pasar AS terlebih dahulu, kemudian Kanada dan kini merambah pasar Asia.
RELATED ARTICLES
Temu, E-Commerce China yang Ditakuti Menteri Teten
Popularitas Temu di Amerika bisa mengalahkan Amazon, Target sampai Walmarta karena harga barang yang dijual sangat jauh lebih murah.
Context.id, JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki saat memberikan arahan dalam Rapat Koordinasi Nasional KUMK, di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (21/11) kemarin sempat mengkhawatirkan aplikasi atau platform e-commerce dari China yang mulai merambah ke pasar Asia.
Aplikasi yang dimaksud bernama Temu yang cara kerjanya dianggap mirip seperti TikTok Shop. Menurut Sensor Tower, popularitas aplikasi ini bahkan telah mengalahkan sejumlah situs belanja online terbesar di Amerika seperti Amazon, Target sampai Walmart, lantaran harga yang ditawarkan sangat terjangkau.
Kekhawatiran Menteri Teten beralasan, pasalnya platform Temu ini menawarkan berbagai kebutuhan lengkap di aplikasinya mulai dari barang rumah tangga, pakaian jadi, hingga elektronik. Jadi memang menjual berbagai barang seperti yang ditemukan di e-commerce lokal seperti Shopee, Tokopedia dan Bukalapak.
Tagline-nya pun sangat menarik yaitu ‘bisa berbelanja layaknya miliarder.’
"Ini sudah masuk ke beberapa negara Asia, tapi saya sudah bilang ke Bapak Presiden. Pak ini jangan sampai masuk ke Indonesia, kalau masuk, UMKM saya tidak bisa bersaing kalau produksi kita lumpuh. Jadi platform Temu asal China ini memang terafiliasi dengan 25 pabrik dan factory direct atau pabrik langsung ke konsumen," jelasnya di acara Rapat Koordinasi Nasional KUMK, di Nusa Dua, Bali.
Menurut Teten, platform ini jika benar-benar masuk dan beroperasi secara resmi di Indonesia akan menghantam rantai distribusi dalam negeri dan ujungnya akan membuat pengangguran meningkat serta daya beli turun.
"Karena produknya akan lebih efesien sehingga juga produk-produk consumer goods kita tidak mungkin bisa bersaing. Nah ini, kan kita harus lindungi, karena kita sebelum bisa melahirkan ekonomi baru orang yang bekerja di sektor consumer goods kita harus proteksi. Jangan sampai mereka menjadi pengangguran, sebelum kita bisa menggantikan lapangan kerja baru," ujarnya.
Teten menyampaikan di era digital seperti sekarang ini setiap orang yang memiliki UMKM di pelosok desa bisa jualan secara online bahkan dalam skala pasar yang besar baik di level nasional dan bahkan global.
Tapi, lanjut Teten, banyak juga yang harus diwaspadai, terlebih jika kita belum memiliki produk yang benar-benar unggul dan sistem logistik yang bersaing sehingga mampu membuat biaya lebih murah.
"Kejadiannya kemarin, ketika kasus TikTok itu kebetulan China ekonominya sedang menurun. Mereka terus memproduksi untuk menciptakannya lapangan kerja, barang-barang konsumsi akhirnya dijual ke Indonesia sudah didumping harganya murah lalu oleh platform digital mereka TikTok, disubsidi kembali," tambah Teten.
Persoalannya, jika pemerintah ingin melarang aplikasi ini seperti yang diharapkan Menteri Teten, di App Store dan Play Store aplikasi ini bisa kita temukan. Itu artinya, pengguna Android dan Apple sudah bisa mendownload dan menggunakan aplikasi Temu ini di ponsel mereka. Begitu juga saat kita browsing langsung di mesin pencari bisa langsung menuju platform ini.
Jika dilihat, Temu menggunakan bahasa Inggris dan juga menggunakan mata uang asing seperti dolar Amerika atau poundsterling. Dugaannya seperti yang dikatakan Menteri Teten, Temu memang belum berizin atau beroperasi secara resmi di Indonesia.
Sebagai informasi, aplikasi Temu merupakan marketplace yang berbasis di Boston, Massachusetts dan dioperasikan oleh perusahaan e-commerce Tiongkok yang berbasis di Irlandia, PDD Holdings.
Melansir dari Forbes, PDD Holdings yang terdaftar di AS (sebelumnya Pinduoduo) telah memelopori perdagangan sosial di Tiongkok Aplikasi andalannya, Pinduoduo didirikan pada tahun 2015 dan berkembang pesat menjadi pemain e-commerce terbesar ketiga di negara itu berdasarkan penjualan, setelah Alibaba dan JD.com.
Berkat strategi pemasarannya yang agresif. Temu adalah terobosan pertama PDD ke e-commerce lintas batas dan menargetkan pasar AS terlebih dahulu, kemudian Kanada dan kini merambah pasar Asia.
POPULAR
RELATED ARTICLES